Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia kembali melepasliarkan satu orang utan dewasa (20), di kawasan Taman Nasional Gunung Palung, Kabupaten Ketapang, Kalbar.
"Orang utan tersebut dilepasliarkan setelah sebulan menjalani masa pemulihan dengan kondisi mata kiri mengalami kebutaan, dan orangutan tersebut merupakan korban Karhutla tahun 2019," kata Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez dalam keterangan tertulisnya di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, kegiatan pelepasan ini menempuh waktu sekitar 12 jam menggunakan kendaraan darat dan menempuh perjalanan kaki menuju titik pelepasan.
"Hingga saat ini tercatat sudah sebanyak 15 orang utan dilepasliarkan di Gunung Tarak sejak tahun 2014," katanya.
Ia menambahkan, guna memastikan kondisi orang utan itu selamat dan mampu melanjutkan hidupnya, pihaknya menempatkan tim patroli dan monitoring yang telah berada di sana sebagai bagian dari prosedur yang ditetapkan IAR Indonesia dalam program pelepasliaran orang utan.
"Meskipun salah satu matanya mengalami kebutaan, kami yakin bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi kemampuannya untuk bertahan hidup, karena orang utan dikenal sebagai satwa cerdas dengan tingkat kemampuan adaptasi yang tinggi," katanya.
Sementara itu, Manager Survey, Release, dan Monitoring IAR Indonesia, Argitoe Ranting menyatakan, sebelumnya pihaknya juga pernah melepaskan orang utan yang satu kakinya lumpuh akibat peluru pada tahun 2016 di kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak.
"Setelah dipantau beberapa bulan, terbukti orang utan itu mampu bertahan hidup dengan normal walaupun salah satu kakinya lumpuh akibat ada belasan peluru yang beberapa di antaranya mengenai saraf tulang belakangnya," ujar .
Karena itu, kata dia, dengan satu matanya tidak akan berpengaruh banyak dalam kemampuan bertahan hidupnya karena kemampuan adaptasi orang utan cukup bagus di alam liar. "Kami yakin Junai (orangutan itu) akan baik-baik saja dan senang dengan rumah barunya ini," katanya.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor menyatakan, sebagai penggiat konservasi, maka mempunyai satu pekerjaan rumah, yakni membangun pola pikir masyarakat untuk lebih peduli pada hutan, ekosistem dan satwa liar.
"Kerja-kerja konservasi sudah banyak dilakukan, tapi penganiayaan terhadap satwa liar masih saja terus berlangsung. Penyelamatan satwa liar sudah sering dilakukan, namun itu tidak akan pernah cukup selama kita tidak mampu mengubah pola pikir masyarakat dan generasi muda untuk lebih ramah pada satwa liar," katanya.
Hal senada juga diakui oleh, Plt Kepala Dinas Kehutanan Kalbar, Untad Dharmawan. "Pelepasliaran satwa liar ke habitat aslinya pada dasarnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekologis pada suatu ekosistem dalam hal ini adalah ekosistem hutan," katanya.
Orang utan sebagai salah satu dari satwa langka yang dilindungi merupakan satwa khas bumi Kalimantan yang saat ini kehidupannya "terancam punah" akibat berbagai macam tekanan terhadap keberadaan hutan sebagai habitat kehidupan orang utan.
"Tekanan berupa deforestasi, desertifikasi, overeksploitasi hutan, kebakaran hutan dan ditambah lagi perburuan liar semakin mengancam keberadaan orangutan itu sendiri," ujarnya.
Dia mengapresiasi terhadap IAR Indonesia yang terus berupaya menyelamatkan, merawat, merehabilitasi dan melepasliarkan orangutan ke habitatnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
"Orang utan tersebut dilepasliarkan setelah sebulan menjalani masa pemulihan dengan kondisi mata kiri mengalami kebutaan, dan orangutan tersebut merupakan korban Karhutla tahun 2019," kata Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez dalam keterangan tertulisnya di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, kegiatan pelepasan ini menempuh waktu sekitar 12 jam menggunakan kendaraan darat dan menempuh perjalanan kaki menuju titik pelepasan.
"Hingga saat ini tercatat sudah sebanyak 15 orang utan dilepasliarkan di Gunung Tarak sejak tahun 2014," katanya.
Ia menambahkan, guna memastikan kondisi orang utan itu selamat dan mampu melanjutkan hidupnya, pihaknya menempatkan tim patroli dan monitoring yang telah berada di sana sebagai bagian dari prosedur yang ditetapkan IAR Indonesia dalam program pelepasliaran orang utan.
"Meskipun salah satu matanya mengalami kebutaan, kami yakin bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi kemampuannya untuk bertahan hidup, karena orang utan dikenal sebagai satwa cerdas dengan tingkat kemampuan adaptasi yang tinggi," katanya.
Sementara itu, Manager Survey, Release, dan Monitoring IAR Indonesia, Argitoe Ranting menyatakan, sebelumnya pihaknya juga pernah melepaskan orang utan yang satu kakinya lumpuh akibat peluru pada tahun 2016 di kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak.
"Setelah dipantau beberapa bulan, terbukti orang utan itu mampu bertahan hidup dengan normal walaupun salah satu kakinya lumpuh akibat ada belasan peluru yang beberapa di antaranya mengenai saraf tulang belakangnya," ujar .
Karena itu, kata dia, dengan satu matanya tidak akan berpengaruh banyak dalam kemampuan bertahan hidupnya karena kemampuan adaptasi orang utan cukup bagus di alam liar. "Kami yakin Junai (orangutan itu) akan baik-baik saja dan senang dengan rumah barunya ini," katanya.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor menyatakan, sebagai penggiat konservasi, maka mempunyai satu pekerjaan rumah, yakni membangun pola pikir masyarakat untuk lebih peduli pada hutan, ekosistem dan satwa liar.
"Kerja-kerja konservasi sudah banyak dilakukan, tapi penganiayaan terhadap satwa liar masih saja terus berlangsung. Penyelamatan satwa liar sudah sering dilakukan, namun itu tidak akan pernah cukup selama kita tidak mampu mengubah pola pikir masyarakat dan generasi muda untuk lebih ramah pada satwa liar," katanya.
Hal senada juga diakui oleh, Plt Kepala Dinas Kehutanan Kalbar, Untad Dharmawan. "Pelepasliaran satwa liar ke habitat aslinya pada dasarnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekologis pada suatu ekosistem dalam hal ini adalah ekosistem hutan," katanya.
Orang utan sebagai salah satu dari satwa langka yang dilindungi merupakan satwa khas bumi Kalimantan yang saat ini kehidupannya "terancam punah" akibat berbagai macam tekanan terhadap keberadaan hutan sebagai habitat kehidupan orang utan.
"Tekanan berupa deforestasi, desertifikasi, overeksploitasi hutan, kebakaran hutan dan ditambah lagi perburuan liar semakin mengancam keberadaan orangutan itu sendiri," ujarnya.
Dia mengapresiasi terhadap IAR Indonesia yang terus berupaya menyelamatkan, merawat, merehabilitasi dan melepasliarkan orangutan ke habitatnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019