Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak, Novantar Ramses Negara meminta jurnalis membangun empati pada penyintas COVID-19 dengan memilih kata dan kalimat yang sesuai untuk menghindari stigma negatif dari sumber yang diberitakan. 

"Pemilihan diksi yang dipakai jurnalis sangat mempengaruhi stigma terhadap orang terkait COVID-19. Baik itu Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), pasien positif dan keluarga pasien. Di sisi lain, stigma tersebut sangat berdampak terhadap imunitas pasien, yang merupakan hal penting dalam penyembuhan Corona," kata Ramses, dalam diskusi online dengan tema Memberitakan COVID-19 Tanpa Memberi Stigma yang dilaksanakan AJI Pontianak, Selasa.

Menurutnya, media wajib memberi edukasi perihal penyakit. Pasalnya, tidak sedikit masyarakat yang bahkan tidak mengetahui bagaimana virus ini menular dan hal ini turut melanggengkan stigma tersebut.

"Selain pemilihan diksi, banyak informasi soal penularan virus yang tidak sampai ke masyarakat. Semestinya media berperan dalam pemberian informasi yang utuh," tuturnya.

Dia pun meminta media tidak hanya fokus pada pertumbuhan kasus, namun juga mendorong keterbukaan informasi perihal penanganan COVID-19. Akan tetapi dia mengingatkan, pentingnya menjaga identitas pasien. Sekaligus, membangun pandangan positif dan harapan bahwa pandemi bisa dilewati bersama dengan memaparkan data yang jelas.

"Bagaimana berita bukan hanya mencari klik share, tapi memberikan informasi yang utuh dan menjernihkan. Menjadi penjernih informasi, ketika ada berita miring tersebar," katanya.

Dalam diskusi tersebut, Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Kalbar, Dian Lestari memberikan tanggapan dengan mencontohkan penggunaan kalimat yang memancing stigma. Misalnya "warga nekat keluar rumah demi cari nafkah", padahal, faktanya, mereka terpaksa keluar rumah karena keadaan memaksakan demikian.

Atau contoh lain kata menulari dan ditulari. Kata itu mengandung makna sengaja dilakukan. Akan berbeda artinya, jika menggunakan diksi tertular atau tidak sengaja. 

"Ada juga kalimat sengaja pulang atau salah sendiri pulang. Pada konteks ini banyak sekali yang terpaksa pulang misalnya karena tidak mampu bayar kos dan kebutuhan hidup di rantau. Jadi tidak tepat jika jurnalis hanya mengutip pernyataan salah sendiri mengapa pulang," kata Dian.

Dalam pemberitaan COVID-19, jurnalis pun semestinya memperkaya sudut pandang. Misalnya dengan membuat liputan tentang orang yang terpaksa pulang ke daerahnya.

Sementara itu, Kadis Kesehatan Kalbar, Harrison mengatakan stigma muncul karena pengetahuan yang kurang dan masih adanya mitos atau anggapan yang kurang benar terhadap suatu penyakit. Akibatnya, bagi korban, muncul perasaan dijauhi, diskriminasi, merasa tidak berguna, sedih, tertekan, marah, takut terhadap adanya penularan, dan sampai kehilangan pekerjaan.

"Pasien juga merasa segan untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan, akibatnya penularan menjadi meningkat," katanya.

Selain itu, pasien pun datang berobat dalam keadaan terlambat. Penyembuhan juga makan waktu lebih lama karena pasien merasa tertekan.

"Dalam COVID-19 sebenarnya sangat bergantung pada imunitas. Kalau bagus, maka akan sembuh dengan sendirinya. Imunitas ini salah satunya dipengaruhi stres. Stres itu bisa muncul dari stigma masyarakat," katanya.

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020