Seberapa berat stres termasuk kesehatan mental orang yang mengalami depresi dan cemas bisa dianalisis melalui kotoran telinga mereka, ungkap sebuah studi dalam jurnal Heliyon pada 2 November lalu.

Dalam studi percontohan dengan 37 orang partisipan itu, para peneliti yakni Andrés Herane-Vives dan koleganya di University College London's Institute of Cognitive Neuroscience and Institute of Psychiatry menemukan, kortisol lebih terkonsentrasi di kotoran telinga daripada di rambut, sehingga lebih mudah untuk dianalisis.

Kortisol adalah hormon penting yang melonjak saat seseorang stres dan menurun saat mereka rileks. Hormon itu sering kali meningkat secara konsisten pada orang dengan depresi dan kecemasan.



Menurut peneliti, seperti dilansir dari Livescience, Minggu, kotoran telinga stabil dan tahan terhadap kontaminasi bakteri, sehingga dapat dikirim ke laboratorium dengan mudah untuk dianalisis. Selain itu, kotoran telinga juga dapat menyimpan catatan tingkat kortisol selama berminggu-minggu.

Di sisi lain, teknik usap atau swab yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan kotoran telinga menurut para partisipan jauh lebih nyaman dari metode lain.

Sebenarnya, selain kotoran telinga, metode pemeriksaan kortisol bisa juga melalui air liur, darah dan rambut.

Namun, sampel air liur dan darah hanya menangkap sesaat, dan kortisol berfluktuasi secara signifikan sepanjang hari.

Bahkan pengalaman berhadapan dengan jarum suntik untuk mengambil darah dapat meningkatkan stres, dan dengan demikian meningkatkan kadar kortisol.

Sementara jika menggunakan sampel rambut, memang dapat memberikan gambaran singkat tentang kortisol selama beberapa bulan tetapi analisis rambut tergolong mahal.

Pemeriksaan melalui kotoran telinga sendiri sebelumnya juga menyakitkan karena melibatkan jarum suntik. Untuk itulah, Herane-Vives dan rekan-rekannya mengembangkan swab yang, jika digunakan, tidak akan lebih membuat stres.

"Setelah studi percontohan yang berhasil ini, jika perangkat kami dapat diteliti lebih lanjut dalam uji coba yang lebih besar, kami berharap dapat mengubah diagnosis dan perawatan bagi jutaan orang dengan depresi atau kondisi terkait kortisol seperti penyakit Addison dan sindrom Cushing, dan kemungkinan banyak kondisi lainnya," kata peneliti dalam sebuah pernyataan.

Ke depannya, mereka berharap kotoran telinga juga bisa digunakan untuk memantau hormon lain.

Para peneliti juga perlu menindaklanjuti penelitian terhadap orang-orang Asia, yang tidak disertakan dalam studi percontohan ini karena sebagian mereka menghasilkan kotoran telinga yang kering, bukan kotoran telinga yang basah dan berlilin.
 

 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020