Sekretaris Jenderal Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Kalbar, Yakobus Kumis mengatakan, ketidakadilan yang dialami peladang dan masyarakat adat yang dihukum karena membakar lahan perlu diperjuangkan karena apa yang dilakukan sesuai dengan tradisi leluhur.
"Dari pembebasan peladang di Pengadilan Negeri Sintang setahun lalu, karena membuka lahan dengan membakar tanah itu sudah diakui sebagai berladang dengan kearifan lokal dalam Peraturan Gubernur Nomor 103 yahun 2020 dan sudah dijalani masyarakat adat Dayak bahkan ribuan tahun yang lalu. Maka kejadian karhutla yang terjadi di Kalbar bukan dari peladang dan hal ini patut diperjuangkan," kata Yakobus Kumis di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan perjuangan tersebut dilakukan dengan menetapkan 9 Maret sebagai Hari Peladang Nasional dan memberikan pernyataan sikap terhadap perjuangan hak masyarakat adat.
“Agenda Hari Peladang Nasional ini akan kami sampaikan dalam Musyawarah 5 MADN dan dalam musyawarah tersebut kami akan menyampaikan pernyataan sikap mendukung rekan-rekan Walhi, Aman, serta kelompok-kelompok lainnya yang peduli dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat,” kata Yakobus.
Yakobus menyebutkan, peladang pun sudah menjalani pembukaan lahan dengan membakar sesuai dengan UU Nomor 32 tahun 2009.
“Masyarakat Dayak sendiri sudah melaksanakan berladang dengan kearifan lokal, seperti memberitahu masyarakat atau ketua adat setempat sebelum membakar, membersihkan area sekitar lahan, menyiapkan tempat mengambil air, membakar di atas pukul 13.00 WIB atau pukul 14.00 WIB, dan membakar harus melawan arah angin agar api tidak merambat ke daerah lainnya,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa masyarakat adat pun tidak pernah menggunakan lahan gambut dan lahan basah lainnya.
“Masyarakat Dayak tidak pernah membakar lahan yang tidak menguntungkan seperti lahan berair atau lahan gambut. Kami membakar di tanah mineral sehingga api tidak menjalar,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa masyarakat Dayak didominasi dengan profesi berladang ditambah situasi pandemi COVID-19 saat ini.
“Dalam situasi pandemi COVID-19 ini harga karet dan sawit itu anjlok. Jadi masyarakat Dayak yang bekerja di sektor tersebut lebih memilih berladang. Dan secara umum 70 persen masyarakat Dayak juga berladang dan membuka lahan dengan cara membakar,” katanya.
Dia menginginkan agar membuka lahan yang sudah menjadi tradisi tersebut dilindungi dalam RUU Masyarakat Hukum Adat agar tidak ada lagi peladang yang dikriminalisasi karena mengikuti tradisi leluhur dalam berladang.
“Kami meminta keadilan kepada pemerintah untuk menetapkan RUU Masyarakat Hukum Adat yang masuk di dalamnya pasal berladang. Namun RUU ini sudah belasan tahun diperjuangkan namun belum juga ditetapkan dengan salah satu alasannya ada fraksi di DPR yang tidak menyetujui. Karena berladang ini juga membantu pemerintah mengurangi ekspor pangan dan memperkuat ketahanan pangan,” kata Yakobus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021
"Dari pembebasan peladang di Pengadilan Negeri Sintang setahun lalu, karena membuka lahan dengan membakar tanah itu sudah diakui sebagai berladang dengan kearifan lokal dalam Peraturan Gubernur Nomor 103 yahun 2020 dan sudah dijalani masyarakat adat Dayak bahkan ribuan tahun yang lalu. Maka kejadian karhutla yang terjadi di Kalbar bukan dari peladang dan hal ini patut diperjuangkan," kata Yakobus Kumis di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan perjuangan tersebut dilakukan dengan menetapkan 9 Maret sebagai Hari Peladang Nasional dan memberikan pernyataan sikap terhadap perjuangan hak masyarakat adat.
“Agenda Hari Peladang Nasional ini akan kami sampaikan dalam Musyawarah 5 MADN dan dalam musyawarah tersebut kami akan menyampaikan pernyataan sikap mendukung rekan-rekan Walhi, Aman, serta kelompok-kelompok lainnya yang peduli dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat,” kata Yakobus.
Yakobus menyebutkan, peladang pun sudah menjalani pembukaan lahan dengan membakar sesuai dengan UU Nomor 32 tahun 2009.
“Masyarakat Dayak sendiri sudah melaksanakan berladang dengan kearifan lokal, seperti memberitahu masyarakat atau ketua adat setempat sebelum membakar, membersihkan area sekitar lahan, menyiapkan tempat mengambil air, membakar di atas pukul 13.00 WIB atau pukul 14.00 WIB, dan membakar harus melawan arah angin agar api tidak merambat ke daerah lainnya,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa masyarakat adat pun tidak pernah menggunakan lahan gambut dan lahan basah lainnya.
“Masyarakat Dayak tidak pernah membakar lahan yang tidak menguntungkan seperti lahan berair atau lahan gambut. Kami membakar di tanah mineral sehingga api tidak menjalar,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa masyarakat Dayak didominasi dengan profesi berladang ditambah situasi pandemi COVID-19 saat ini.
“Dalam situasi pandemi COVID-19 ini harga karet dan sawit itu anjlok. Jadi masyarakat Dayak yang bekerja di sektor tersebut lebih memilih berladang. Dan secara umum 70 persen masyarakat Dayak juga berladang dan membuka lahan dengan cara membakar,” katanya.
Dia menginginkan agar membuka lahan yang sudah menjadi tradisi tersebut dilindungi dalam RUU Masyarakat Hukum Adat agar tidak ada lagi peladang yang dikriminalisasi karena mengikuti tradisi leluhur dalam berladang.
“Kami meminta keadilan kepada pemerintah untuk menetapkan RUU Masyarakat Hukum Adat yang masuk di dalamnya pasal berladang. Namun RUU ini sudah belasan tahun diperjuangkan namun belum juga ditetapkan dengan salah satu alasannya ada fraksi di DPR yang tidak menyetujui. Karena berladang ini juga membantu pemerintah mengurangi ekspor pangan dan memperkuat ketahanan pangan,” kata Yakobus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021