Pontianak (ANTARA) - Bagi warga pedalaman Kalimantan Barat, ladang adalah simbol penghidupan. Ini bukan cerita tentang pemenuhan kebutuhan pangan semata, karena lebih dari itu, ladang adalah manifestasi budaya leluhur dan sumber ketahanan pangan bagi masyarakat.
Dalam hal ini, dalam kehidupan sehari-hari, berladang tak hanya dilakoni kalangan lelaki, tapi juga kaum perempuan. Berdasarkan data hasil survey pertanian antar sensus (Sutas) 2018, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kalimantan Barat sebanyak 2.580.585 jiwa, yang dibagi menjadi 1.319.864 laki-laki dan 1.260.721 perempuan.
Kondisi yang ada di lapangan, keterlibatan perempuan sebagai peladang tidak kalah penting dibanding laki-laki. Mereka terlibat dalam aktivitas berladang, mulai dari saat pembersihan dan penyiapan lahan, pembenihan, penyemaian, perawatan, sampai pada proses pemanenan dan penggilingan padi. Tak hanya itu, kaum perempuan juga menjadi manajer bagi keluarga dalam mengalokasikan kebutuhan pangan, agar keluarga mereka bisa tercukupi hingga masa panen mendatang.
Sebaliknya perempuan tidak hanya berperan memenuhi kebutuhan pangan. Mereka juga berperan penting dalam mengelola lingkungan seperti menjaga sumber air dan segala aspek kehidupan yang mempengaruhi masyarakat lainnya. Meski berperan besar membantu suaminya di Ladang, peran mereka di rumah sebagai ibu untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya juga tidak bisa dielakkan.
Namun, kenyataannya, peran itu justru tak berbanding lurus dengan hak yang mereka terima, karena meski telah bekerja keras di ladang dan merawat serta melayani suami di rumah, masih banyak kaum perempuan peladang yang tidak mendapatkan hak semestinya baik dalam keluarga mereka sendiri, terlebih di lingkungan masyarakat sekitar.
Eksistensi perempuan peladang, sampai saat ini masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, padahal peran yang mereka lakukan justru lebih besar dibanding kaum pria. Belum lagi perlindungan sosial yang harus diterima saat bekerja.
Terkait hal itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak melihat jika isu perempuan peladang menjadi sangat menarik, terlebih di momen Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret.
"AJI memandang penting hal ini, sekaligus menggugah kesadaran para pemangku kepentingan bahwa peladang perempuan perlu mendapat perhatian serius. Terutama soal hak-hak mereka dan pemenuhan kesejahteraannya," kata Ketua AJI Kota Pontianak Ramses Tobing, Minggu.
Menurutnya, peladang perempuan adalah ujung tombak pemenuhan pangan. Peladang perempuan juga menjadi simbol keberlangsungan budaya leluhur. Di tangan perempuan peladang sumber air dipertaruhkan.
Sayangnya, kata Ramses, keberadaan perempuan peladang belum ditempatkan pada proporsi sebagaimana mestinya.
"Mereka tidak dianggap. Bahkan, di BPS data yang masuk hanya mereka yang laki-laki yang terdata. Jika ada bantuan, penerima manfaat pun hanya kaum laki-laki, sementara kaum perempuan terkesan luput dari hal itu. Padahal, kenyataan di lapangan, 70 persen dikerjakan oleh perempuan," tuturnya.
Sebagai wujud kepedulian serta konsentrasi memperjuangkan kesejahteraan perempuan peladang, AJI Kota Pontianak mengajak semua pihak untuk peduli. AJI akan terus menyuarakan hak perempuan peladang, karena Perempuan Peladang adalah pejuang kehidupan.
International Women's Day, AJI Pontianak suarakan perempuan peladang pejuang kehidupan
Minggu, 8 Maret 2020 20:14 WIB