Pontianak (ANTARA) - Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) menemui Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi, menyampaikan surat untuk Presiden terkait aktivitas peladang Dayak di lima provinsi di wilayah Kalimantan.
"Pertemuan dengan BPIP menyampaikan surat kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk menghentikan praktik kriminalisasi para peladang Dayak sebagaimana terjadi pada musim kemarau tahun 2019," kata Ketua Umum MHADN, Askiman, dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Pontianak, Jumat.
Ia mengatakan, pertemuan dengan Kepala BPIP berlangsung pada Rabu (15/7), pukul 13.00 WIB.
Dalam kesempatan tersebut mereka juga menyampaikan pokok-pokok pikiran pengamalan ideologi Pancasila sebagai produk budaya Bangsa Indonesia, harus berlandaskan kebudayaan masing-masing suku Bangsa. Di kalangan Suku Dayak, harus sesuai dengan Kebudayaan Suku Dayak.
Setelah bertemu Kepala BPIP, tim DIO dan MHADN sebanyak 13 orang yang berasal dari utusan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara, pada Kamis (16/7) ini bertemu dengan Ketua Gerakan Pemuda Anshor, Drs H Yaqut Cholil Qoumas dan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong.
Pertemuan dengan Wakil Menteri LHK diadakan pada pukul 14.00 WIB, di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, kata Askiman yang juga Wakil Bupati Sintang.
Ia mengatakan, saat bertemu Wakil menteri tersebut, pihaknya akan menyampaikan pokok pemikiran pengelolaan sumberdaya kehutanan berkelanjutan yang sesuai dengan Kebudayaan Suku Dayak.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DIO, Yulius Yohanes mengatakan, tentang praktik perladangan dengan cara bakar, Pemerintah RI hendaknya konsisten dalam menjabarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan, dan program pembangunan di Kalimantan harus berbasiskan Kebuayaan Suku Dayak (Protokol Tumbang Anoi 2019).
"Karena itu, kami mendesak Bapak Presiden Republik Indonesia, supaya Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk dibekali pemahaman antropologi budaya secara memadai," kata Yulius Yohanes.
Maksudnya, lanjut dia, supaya tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap petani peladang Dayak yang membuka ladang dengan cara bakar, karena hal itu bagian tidak terpisahkan dari aspek religi.
Selain itu, dia menambahkan, selagi teknologi inovasi tepat guna berbiaya murah belum ditemukan dalam pembukaan ladang tidak dengan cara dibakar, hendaknya memperhitungkan dampak sosial yang lebih luas.
"Jika masih dilakukan kriminalisasi terhadap petani Dayak, karena berladang dengan cara bakar, bagi orang Dayak bagian dari aplikasi peribadatannya," kata dia menjelaskan.
Adanya alasan di balik kriminalisasi terhadap peladang Dayak yang membuka ladang dengan cara bakar karena menimbulkan kabut asap, menurut dia, adalah sangat tidak tepat. "Ini menjadi bukti aparat Pemerintah Indonesia tidak memahami antropologi budaya Suku Dayak," katanya.
Karena aktivitas ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun silam. Sementara penyebab kabut asap setiap kali musim kemarau, adalah kebakaran lahan milik perusahaan perkebunan berskala besar, serta pemanfaatan lahan gambut menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi yang mengabaikan aspek keseimbangan ekosistem.
Memperhatikan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan. Hendaknya upaya pemajuan kebudayaan tidak memicu pertikaian dan penindasan yang mengancam keragaman masyarakat yang merupakan identitas bangsa Indonesia.
"Kami mengharapkan, masyarakat Suku Dayak tidak dipaksakan bertani menanam padi sawah baru di Pulau Kalimantan, karena bukan bagian dari Kebudayaan Dayak," kata dia lagi.
Ia menambahkan, masyarakat Suku Dayak membutuhkan sistem pengairan atau tata kelola air yang cocok dengan Kebudayaan Suku Dayak di dalam bercocok tanam padi.
Ia mengatakan, belajar dari langkah Pemerintah Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, melakukan kerja sama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di dalam pengembangan varietas unggul padi gunung, dimana hasilnya cukup memuaskan.
"Maka program ini agar dapat diakselerasi secara lebih luas karena cocok dengan Kebudayaan Suku Dayak, sebagaimana langkah serupa sudah diterapkan di kalangan petani penanam varietas padi gunung di lahan kering di Kamboja, Vietnam dan Thailand," tutur Yulius Yohanes.
Sementara itu, Koordinator Penghubung DIO Provinsi Kalimantan Tengah, Dagut H Djunas, di bagian lain, dalam surat disampaikan kepada Presiden Indonesia, melalui BPIP, mendesak kepada Presiden RI agar kawasan situs pemukiman dan situs pemujaan yang sudah terlanjur beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, maka setelah habis izin usahanya atau habis satu siklus tanam, supaya segera dikembalikan kepada masyarakat Suku Dayak setempat.
"Ini sebagai implementasi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, serta sebagai upaya mendukung Program Heart of Borneo (HoB) Indonesia Malaysia, Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007," ujar Dagut H Djunas.
Menurut Dagut H Djunas, situs pemukiman dan situs pemujaan di dalam religi Dayak, merupakan kawasan sakral dan suci, karena diyakini tempat bersemadi arwah para leluhur.
Ideologi Pancasila
Sedangkan terkait masalah pengamalan Ideologi Pancasila, Koordinator DIO Provinsi Kalimantan Timur, Jiuhardi, mendesak Pemerintah RI sebagai negara hukum, harus tegas dan jelas di dalam menegakkan Ideologi Pancasila di dalam tindakan dan perilaku masyarakat Bangsa Indonesia.
Sehingga ada efek jera yang dapat menimbulkan keharmonisan lintas budaya (terutama agama) yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pengingkaran terhadap keberagaman kebudayaan di Indonesia, berarti pengingkaran terhadap hakikat Ideologi Pancasila," kata Jiuhardi.
Menurut Jiuhardi, dalam mewujudkan Pembinaan Ideologi Pancasilan (PIP) harus menjadi payung hukum berupa struktur kelembagaan operasional dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Daerah.
"Lembaga operasi PIP, demi menciptakan keselarasan dalam bingkai NKRI, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat Bangsa Indonesia yang berkeadilan serta merata dalam kebersamaan dan keserasian," ujar Jiuhardi.
Menurut dia, dibutuhkan produk perundang-undangan khusus sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila, sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar 1945, sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan dalam keutuhan NKRI.
"Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 97/PUU-XIV/2016, tanggal 7 Nopember 2017, tentang Pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai pengakuan terhadap keberadaan agama asli di Indonesia dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan," ungkap Jiuhardi.
Jiuhardi menyatakan, harus dipisahkan antara agama sebagai sumber keyakinan iman dan Pancasila sebagai filosofi etika berperilaku segenap lapisan masyarakat. Karena masalah agama di dalam ideologi Pancasila, sudah final dan mengikat, sudah tidak bisa diungkit-ungkit lagi, karena sudah diatur di dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Masa Esa.
Senada dengannya, Koordinator DIO Provinsi Kalimantan Selatan, Abdussani, menambahkan agama adalah soal keyakinan iman, hubungan personal seseorang dengan Tuhan, sementara ideologi Pancasila sebagai filosofi etika berperilaku masyarakat dengan penekanan akan aspek penghargaan akan keberagaman dan kebhinnekaan.
Dia mengatakan, tidak bisa bicara masalah agama sebagai sumber keyakinan iman saat bersamaan bicara masalah Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Agama dan Pancasila sama-sama produk budaya, tapi masalahnya kemudian, tidak semua agama sebagai sumber keyakinan iman di Indonesia, lahir dari kebudayaan asli bangsa Indonesia.
"Sementara Pancasila tidak mengatur tentang tata cara seseorang beragama, karena Pancasila sebagai filosofi atau falsafah hidup masyarakat di dalam bernegara di Indonesia, dimana dijamin kebebasan beragama di dalamnya," ungkap Abdussani.
Karena dalam sejarahnya di awal kemerdekaan Indonesia, para tokoh agama mendukung, setuju dan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, maka kelembagaan keagamaan harus menjadi mitra strategis Pemerintah Republik Indonesia di dalam mensosialisasikan pengamalan ideologi Pancasila, ujar Abdussani.
Sementara itu, Sekretaris Penghubung DIO Provinsi Kalimantan Selatan, Bujino A Salan, penekanan pengalaman Ideologi Pancasila, harus pada penekanan pentingnya menjaga kebersamaan, berkehidupan yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, menghargai keberagaman, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Ideologi Pancasila harus dijadikan mata ajar kembali kepada peserta didik di semua tingkatan pendidikan di Indonesia, dengan mengedepankan pada aspek antropologi budaya dalam memahami kebudayaan asli bangsa Indonesia," ujar Bujino.
Di mana dalam aplikasinya harus dititikberatkan kepada konkretisasi akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargaan kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
"Perlu pula penekanan pendekatan antropologi budaya pada penjabaran lebih teknis di dalam pengamalan Ideologi Pancasila di masing-masing suku atau komunitas di Indonesia, melalui bahasa yang sederhana, jernih, aplikatif, sebagai jaminan terpeliharanya, terawatnya dan teraktualisasinya kebudayaan asli Bangsa Indonesia," ujar Bujino A Salan.
Ini melalui langkah akselerasi kapitalisasi modernisasi budaya dalam pembangunan nasional, demi terwujudnya identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan internasional sebagai wajah peradaban kebudayaan asli Bangsa Indonesia, demikian Bujino A Salan.
Temui Ketua BPIP, organisasi masyarakat Dayak minta hentikan kriminalisasi peladang
Jumat, 17 Juli 2020 15:08 WIB