Bagi seseorang yang mengalami rambut rontok hingga menipis atau mengalami kebotakan dini, transplantasi rambut merupakan salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut.

Namun, di Indonesia belum banyak masyarakat yang mengetahui tentang prosedur transplantasi rambut. Transplantasi rambut adalah prosedur saat ahli memindahkan rambut ke area yang botak atau menipis di kulit kepala.

Meskipun dilakukan di kepala, Spesialist Hair Transplant dari Turki sekaligus Founder dari ASMED Hair Transplant Center, Dr. Koray Erdogan menjelaskan bahwa prosedur ini sama tidak berbahaya dan tidak berkaitan dengan otak.

"Mungkin karena berhubungan dengan kepala, banyak orang yang bertanya-tanya apakah ini aman untuk otak? Jawabannya adalah, ini adalah prosedur di kulit kepala. Jadi tidak berhubungan dengan otak," kata Koray saat dijumpai di peluncuran ASMED INDONESIA di Jakarta Selatan, Sabtu.

"Banyak juga yang bertanya karena dibuat lubang di kulit kepala, apakah itu berbahaya? Prosedur ini tidak berbahaya. Ini akan lebih aman karena kami akan melakukannya bersama dokter anastesi. Proses ini juga dilakukan sambil memeriksa tekanan darah dan situasi dari pasien," imbuhnya.

Baca juga: Kebotakan Dini Ada Kaitan Dengan Risiko Kanker Prostat

Selain itu, Koray juga menjelaskan bahwa tak ada batasan usia untuk melakukan transplantasi rambut. Bahkan seseorang di usia 99 tahun pun masih bisa melakukannya.

Namun, ada beberapa kondisi seseorang yang tidak bisa melakukan transplantasi rambut. Salah satunya adalah pasien yang menjalani kemoterapi.

Oleh sebab itu, sebelum menjalani operasi transplantasi rambut, pasien akan terlebih dulu melakukan pengecekan. Setelah itu rambut mereka akan digunduli dan barulah proses operasi dilakukan.

"Proses antara pria dan wanita berbeda. Wanita tidak perlu digunduli seperti pria. Umumnya wanita hanya mengisi area rambut yang kosong. Misalnya seseorang dengan dahi yang lebar. Atau jika mengisi di area belakang, maka bisa ditutupi dengan rambut yang panjang sehingga tidak terlihat," papar Koray.

Setelah melakukan transplantasi rambut, Koray pun mengatakan bahwa mereka bisa kembali melakukan styling pada rambut. Misalnya seperti mewarnai rambut. Namun, hal itu baru aman dilakukan setelah 6 bulan melakukan operasi transplantasi.

"Itu seperti rambut original. Jadi tidak masalah. Lalu, kemungkinan (rontok) juga memang akan selalu ada untuk setiap orang. Tapi dengan pengecekan dan perawatan, hal itu juga memungkinkan untuk rambut-rambut yang baru juga akan kembali tumbuh jika terjadi kerontokan," kata Koray.

Baca juga: Kecoa untuk kosmetik, solusi bagi yang botak



Para lelaki yang mengalami kebotakan, 56 persen lebih mungkin mengalami kanker prostat, dibandingkan mereka yang tidak memiliki masalah serupa, berdasarkan sebuah studi. 

Dalam studi yang dipresentasikan dalam pertemuan American Association for Cancer Research di Philadelphia itu, para peneliti menganalisa informasi pada lebih dari 4000 orang laki-laki berusia 25 hingga 74 tahun. 

Hasil studi memperlihatkan, laki-laki yang mengalami kebotakan hebat bahkan berisiko 83 persen menderita kanker prostat dibandingkan mereka yang tidak mengalami kebotakan. 

Para peneliti mengatakan, temuan ini mendukung hipotesis yang menyatakan proses biologis mempengaruhi kebotakan dan kanker prostat. Satu teori menyatakan, hormon laki-laki (testosteron) memainkan peran dalam hal ini. 

Laki-laki yang mengalami kebotakan memiliki level homon testosteron lebih tinggi. Hormon ini berperan dalam pertumbuhan sel kanker prostat. 


Kendati begitu, menurut salah satu peneliti studi, Cindy Zhou, terlalu dini merekomendasikan para laki-laki melakukan pemeriksaan berdasarkan temuan ini. 

Zhou mengungkapkan, jika temuan ini dikonfirmasi, kebotakan pada laki-laki dapat digunakan sebagai indikator perkembangan kanker prostat. Demikian seperti dilansir LiveScience. Baca selengkapnya: Kanker Prostat Pada Pria Awalnya Alami Kebotakan
 

Pewarta: Lifia Mawaddah Putri

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023