Yayasan Rangkong Indonesia mengungkapkan ada potensi ekowisata pengamatan burung rangkong atau enggang yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat adat di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.

Koordinator Proyek Rangkong Indonesia Riki Rahmansyah mengatakan pihaknya telah melalukan kajian populasi rangkong dan menemukan ada delapan jenis rangkong di Kalimantan Barat dari total 13 jenis rangkong yang tersebar di Indonesia.
 
"Kami mendapatkan 1.003 perjumpaan dengan komposisi 65 persen senggang cula atau penyalang, serta 10 persen rangkong gading. Masyarakat perlu menjaga hutan dan menjaga burung rangkong agar bisa mendapatkan manfaat dari ekowisata tersebut," ujarnya di Kapuas Hulu, Minggu.
 
Riki menyatakan, ekowisata rangkong belum ada di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan masyarakat Kapuas Hulu harus mengambil peluang itu agar memberikan manfaat ekonomi.
 
 
Menurutnya, status Kapuas Hulu sebagai kabupaten konservasi membuat hutan masih terhampar luas dan menjadi habitat yang cocok untuk burung rangkong.
 
"Kami sudah melakukan program untuk mendukung ekowisata rangkong melalui adopsi pohon sarang dan pohon pakan," kata Riki.
 
Pohon sarang itu berupa pohon-pohon besar yang berpotensi menjadi rumah bagi burung rangkong. Kapuas Hulu memiliki rasio pohon sarang di bawah angka 10 persen, sehingga pembibitan dan penanaman perlu dilakukan segera.
 
Sedangkan, pohon pakan berjenis pohon ara yang menghasilkan buah layak konsumsi tidak hanya bagi rangkong, tetapi juga hewan lain dan manusia.
 
Ia menjelaskan, populasi rangkong terbanyak berada di Dusun Sungai Utik dan Dusun Pulan di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
 
"Pengembangan ekowisata minat khusus berupa pengamatan burung rangkong tidak bisa dilakukan hanya satu pihak saja, tetapi semua elemen harus terlibat mulai dari masyarakat sekitar hutan, pemerintah,lembaga non-pemerintah, maupun akademisi," ujar Riki.
 
 
Ketua Rumah Bentang Dayak Iban Sungai Utik, Bandi Anak Ragai yang akrab disapa Apai Janggut bercerita setiap musim buah ada belasan rangkong terbang di atas dusun. Burung-burung itu hinggap di pepohonan buah yang banyak tumbuh di tepi Sungai Utik.
 
"Biasanya burung-burung rangkong itu datang ke desa saat musim buah, kalau tidak musim buah mereka tidak ke sini. Di ladang saat musim panen, burung-burung rangkong juga sering datang," kata Bandi.
 
Sekretaris Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Mohammad Zaini menuturkan keberadaan Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum menjadi landasan pemerintah menetapkan status Kabupaten Konservasi.
 
Status itu diharapkan bisa melindungi keanekaragaman hayati yang tersimpan di Kapuas Hulu agar tidak rusak oleh berbagai aktivitas pembangun yang hanya memberikan keuntungan sesaat.
 
Zaini berpesan agar masyarakat menyiapkan diri dengan berbagai penyesuaian dalam memperkenalkan diri sebagai destinasi ekowisata yang ideal dan memiliki nilai kompetitif.
 
Adapun destinasi ekowisata yang saat ini sudah tersedia di Kapuas Hulu, antara lain ekowisata budaya dan ekowisata alam.


Perajin kepala Enggang dan tengkorak Monyet buatan yang dipamerkan dalam Pekan Gawai Dayak (PGD) ke-37, Jupiter Pabaraz mengatakan barang yang dijualnya tersebut merupakan solusi dalam perlindungan satwa langka endemik di Kalimantan Barat (Kalbar).

"Sebenarnya mereka (satwa) ini kan sudah langka dan dilindungi, jadi kami mencari solusi bagaimana supaya kita tidak memburu, tetapi masih bisa menggunakannya sebagai hiasan pada baju adat. Sehingga dibuatlah kepala enggang dan tengkorak monyet dari bahan fiber ini," kata Jupiter di Pontianak, Selasa.

Untuk pembuatannya, Jupiter mengatakan semua dibuat sendiri dengan menyamakan berat, warna serta bentuk detail kepala enggang dan tengkorak monyet sehingga mirip dengan aslinya.

Menurutnya, kepala enggang dan tengkorak monyet dari bahan fiber memiliki ketahanan yang lebih lama bila dibandingkan dengan yang asli. 

" Karena kalau yang asli semakin lama akan keropos, begitu juga warnanya semakin lama akan memudar menjadi kusam, tetapi kalo bahan fiber ini tahan, baik dari segi bentuk ataupun warna sehingga lebih bagus dari aslinya," tuturnya.

Namun, untuk hiasan yang terbuat dari bulu burung ruai, dia mengatakan saat ini belum menemukan perajin yang membuat duplikat sehingga terpaksa menggunakan bulu yang asli. Ia berharap semoga ada perajin yang membuat duplikatnya.

Sementara itu, di tempat yang sama dia juga menjual berbagai aksesoris dan alat musik khas Dayak seperti kalung, gelang, rompi dari kulit kayu, Mandau dan Sape'.

Baca berita selengkapnya: Perajin kepala Enggang dan tengkorak Moyet ikut lestarikan satwa endemik Kalbar

Pewarta: Sugiharto Purnama

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023