Pimpinan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai penyediaan sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana terintegrasi butuh disegerakan sehingga potensi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan bisa diminimalisir secara maksimal.
Deputi Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana yang terintegrasi itu tak hanya berisi kondisi prakiraan cuaca, tapi juga peta risiko yang ditimbulkan dapat secara detail terjelaskan.
Adapun cuaca ekstrem yang berisiko menimbulkan bencana hidro-meteorologi basah di wilayah Indonesia tersebut antara lain seperti tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung.
Maka dengan sistem ini, BMKG mengharapkan masyarakat dapat menerima informasi cuaca ekstrem yang lebih akurat dan tepat waktu, sehingga dapat terhindar dari risiko dampak bencana.
Namun, ia mengkonfirmasi sistem ini baru berjalan secara efektif pada tingkat analisis prakiraan nasional melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan SAR Nasional (Basarnas) hingga TNI/Polri, sementara belum dimiliki menyeluruh pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota sehingga informasi yang disajikan kurang detail.
"Bahkan informasi cuaca berbasis dampak yang ada saat ini sudah baik sekali bisa mendeteksi per 10 hari ke depan, bahkan tiga jam ke depan sudah bisa diprakirakan akurat, tapi nasional, pada tingkat lokal belum semuanya memiliki," ujarnya.
Ia menyebut oleh karena itu pula BMKG menilai tindakan awal atau early action atas peringatan dini yang diinformasikan masih cenderung lamban sehingga tak jarang pula dampak kerusakan dan kerugian materiil/non-materiil di daerah masih tinggi.
Selain itu, kata dia, luas wilayah geografis Indonesia dengan topografi beranekaragam yang notabene sulit diakses, juga menjadi tantangan tersendiri dalam hal respons cepat mengurangi risiko bencana itu.
Dengan demikian BMKG berharap semua daerah di Indonesia bisa berkontribusi menyediakan sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana terintegrasi ini.
"Kami sedang menjalin koordinasi yang berkelanjutan bersama otoritas terkait dan tentu pemerintah daerah, harapannya tahun ini formulasi sistem informasi itu sudah berjalan, khususnya bencana banjir yang jadi perhatian karena dapat pula menimbulkan tanah longsor," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan catatan dari Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB terhitung sejak Januari-April telah terjadi beberapa kali bencana banjir disertai tanah longsor yang menyebabkan lebih dari ratusan ribu warga terdampak, puluhan ribu rumah warga sekaligus fasilitas umum mengalami kerusakan.
Bahkan, bencana hidro-meteorologi basah itu memakan korban jiwa dan hingga saat ini jasadnya masih dinyatakan hilang.
Misal, tanah longsor di Pesisir Selatan, Sumatera Barat (empat korban belum ditemukan), di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua (lima korban belum ditemukan), dan terakhir tanah longsor di Cipongkor Bandung Barat, Jawa Barat (tiga korban belum ditemukan).
Terakhir bencana tanah longsor di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang mengakibatkan sebanyak 20 orang warga meninggal dunia. Masing-masing 16 korban merupakan warga Desa Manggau, Kecamatan Makale dan empat korban lain ditemukan di Desa Lembang Randan Baru, Kecamatan Makale Selatan, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Deputi Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana yang terintegrasi itu tak hanya berisi kondisi prakiraan cuaca, tapi juga peta risiko yang ditimbulkan dapat secara detail terjelaskan.
Adapun cuaca ekstrem yang berisiko menimbulkan bencana hidro-meteorologi basah di wilayah Indonesia tersebut antara lain seperti tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung.
Maka dengan sistem ini, BMKG mengharapkan masyarakat dapat menerima informasi cuaca ekstrem yang lebih akurat dan tepat waktu, sehingga dapat terhindar dari risiko dampak bencana.
Namun, ia mengkonfirmasi sistem ini baru berjalan secara efektif pada tingkat analisis prakiraan nasional melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan SAR Nasional (Basarnas) hingga TNI/Polri, sementara belum dimiliki menyeluruh pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota sehingga informasi yang disajikan kurang detail.
"Bahkan informasi cuaca berbasis dampak yang ada saat ini sudah baik sekali bisa mendeteksi per 10 hari ke depan, bahkan tiga jam ke depan sudah bisa diprakirakan akurat, tapi nasional, pada tingkat lokal belum semuanya memiliki," ujarnya.
Ia menyebut oleh karena itu pula BMKG menilai tindakan awal atau early action atas peringatan dini yang diinformasikan masih cenderung lamban sehingga tak jarang pula dampak kerusakan dan kerugian materiil/non-materiil di daerah masih tinggi.
Selain itu, kata dia, luas wilayah geografis Indonesia dengan topografi beranekaragam yang notabene sulit diakses, juga menjadi tantangan tersendiri dalam hal respons cepat mengurangi risiko bencana itu.
Dengan demikian BMKG berharap semua daerah di Indonesia bisa berkontribusi menyediakan sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana terintegrasi ini.
"Kami sedang menjalin koordinasi yang berkelanjutan bersama otoritas terkait dan tentu pemerintah daerah, harapannya tahun ini formulasi sistem informasi itu sudah berjalan, khususnya bencana banjir yang jadi perhatian karena dapat pula menimbulkan tanah longsor," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan catatan dari Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB terhitung sejak Januari-April telah terjadi beberapa kali bencana banjir disertai tanah longsor yang menyebabkan lebih dari ratusan ribu warga terdampak, puluhan ribu rumah warga sekaligus fasilitas umum mengalami kerusakan.
Bahkan, bencana hidro-meteorologi basah itu memakan korban jiwa dan hingga saat ini jasadnya masih dinyatakan hilang.
Misal, tanah longsor di Pesisir Selatan, Sumatera Barat (empat korban belum ditemukan), di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua (lima korban belum ditemukan), dan terakhir tanah longsor di Cipongkor Bandung Barat, Jawa Barat (tiga korban belum ditemukan).
Terakhir bencana tanah longsor di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang mengakibatkan sebanyak 20 orang warga meninggal dunia. Masing-masing 16 korban merupakan warga Desa Manggau, Kecamatan Makale dan empat korban lain ditemukan di Desa Lembang Randan Baru, Kecamatan Makale Selatan, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024