Pontianak (ANTARA Kalbar) - Pengamat Hukum dan Politik Tata Negara Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman Fathurrahman Nur, SH. M Hum mengatakan, pemahaman menyeluruh terhadap Pancasila merupakan solusi untuk memecahkan berbagai permasalahan bangsa yang semakin tertekan oleh perubahan zaman dan waktu.
"Masih belum ada keselarasan antarsila dalam penerapan sehari-hari. Semua masih atas kata si `A`, tekanan bangsa lain, padahal dari sila di Pancasila ada filosofi yang terus berputar antarsila secara berurutan," kata Turiman Fathurrahman di Pontianak, Rabu.
Menurut dia, kalau melihat gambar Pancasila, ada dua perisai di mana yang di tengah berwarna hitam sebagai warna alam semesta berisi bintang segilima berwarna kuning emas.
Ia menjelaskan, hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia perlu pencerahan secara terus menerus untuk mencari jati diri. "Dan sekaligus menjadi penyadaran bahwa bangsa Indonesia bukan buatan manusia, melainkan atas berkat dan rahmat Tuhan," kata Turiman yang tesisnya mengangkat tentang pembuatan lambang negara RI itu.
Ia melanjutkan, di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di perbatasan, sebenarnya pemahaman demokrasi terutama tentang pertahanan dan keamanan harus bersandarkan kepada nilai-nilai spiritual.
"Walau kita membuat benteng seribu, tank seribu, tetapi kalau Tuhan tidak berkehendak, tetap saja jebol," ucap Turiman yang juga dosen Fakultas Hukum Untan itu.
Kemudian, ada setelah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu turun ke sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengacu ke sila tersebut, masyarakat di pedalaman dan perbatasan sudah memahami nilai-nilai lokal.
Di kalangan masyarakat Dayak, ada falsafah "Adil ka` talino, Bacuramin ka` Saruga, Basengan ka` Jubata". Adil ka` Talino artinya bersikap adil kepada mahluk hidup, Bacuramin ka` Saruga berarti bercermin ke surga, dan Basengat ka` Jubata artinya bekerja karena Tuhan.
"Sedangkan untuk beradab, berarti jangan menyakiti orang lain," paparnya.
Ia menambahkan, setelah sumber daya manusia yang memenuhi unsur di sila sebelumnya terbentuk, maka dilanjutkan dengan mendorong nasionalisme yang tercermin dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia.
"Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, artinya multikultur di dalam kesatuan. Bukan berbeda-beda tetapi satu jua, melainkan dari persamaan yang harus ditonjolkan, sedangkan perbedaan adalah rahmat," katanya, menegaskan.
Turiman melanjutkan, ketika masalah persatuan sudah terpenuhi, maka dalam menyelesaikan persoalan dibutuhkan musyawarah untuk mufakat seperti yang tertuang di sila kelima, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Ia mencontohkan di daerah perbatasan Kalbar dan Sarawak, telah terbentuk berbagai forum masyarakat yang melibatkan berbagai elemen seperti tokoh agama, akademisi, dan sebagainya.
"Setelah bermusyawarah, pembangunan tentunya jangan hanya karena keinginan pemerintah pusat. Tetapi bagaimana mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang termaktub dalam sila kelima Pancasila," tuturnya, menjelaskan.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya memahami keinginan dari masyarakat di perbatasan. "Setelah itu, kembali lagi ke sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Filosofinya seperti itu, terus berputar," ujar dia.