Pontianak (Antara Kalbar) - Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat siap membantu meluruskan sejarah tentang Sultan Hamid II yang juga perancang lambang negara RI.
"Kita siap memfasilitasi kegiatan yang mendukung pelurusan sejarah terhadap salah satu putra terbaik asal Kalbar itu," kata Sekda Kalbar, M Zeet Hamdy Assovie disela pembukaan pameran proses perancangan lambang negara di Kantor Arsip Daerah Provinsi Kalbar di Pontianak, Senin.
Ia mencontohkan dalam pameran tersebut yang digelar di lingkungan pemerintah provinsi selama tiga bulan.
Selain itu, juga perlu dilakukan inventarisasi terhadap sejarah-sejarah yang berkaitan dengan Kalbar.
Namun, lanjut dia, untuk mengubah sejarah butuh kerja keras. "Ini tidak saja butuh dukungan dari masyarakat Kalbar, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia," ujar dia.
Pelurusan sejarah tersebut juga harus tidak melanggar norma yang berlaku serta Undang-Undang yang ada di Indonesia.
Ia berharap setelah Pemilu 2014 nama Sultan Hamid II dimasukkan secara resmi di dalam Undang-Undang sebagai perancang lambang negara.
Sementara itu, mantan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, Max Yusuf Alkadrie mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah berbuat dalam pelurusan Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara.
"Melalui Kementerian Luar Negeri, telah dibuat dokumenter tentang proses pembuatan lambang negara yang ditampilkan di kegiatan remsi," ujar dia.
Ia melanjutkan, secara "de facto" sudah diakui, tetapi belum secara "de jure".
Sultan Hamid II, atau lengkapnya Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, tak akan pernah lepas dari sejarah lambang negara Indonesia.
Penelitian ilmiah menunjukkan Sultan ketujuh dari Kesultanan Pontianak itu, sebagai perancangnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman Fachturachman Nur M Hum, mengangkat tentang validitas perancang lambang negara saat mengambil gelas magister di Universitas Indonesia pada 1999.
Menurut dia, ada dua tahap perancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Rancangan tahap pertama, pada 8 Februari 1950, mengambil figur burung garuda yang digali dalam mitologi bangsa Indonesia berdasarkan bahan dasar yang dikirim Ki Hajar Dewantoro dari sketsa garuda di berbagai candi di Jawa.
Gambar lambang negara dimaksud itu, sudah dikritisi oleh Panitia Lambang Negara. Kemudian, rancangan tahap kedua, pada 10 Februari 1950, mengambil figur burung elang rajawali setelah Sultan Hamid II melakukan penyempurnaan dan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan figur yang sama.
Figur burung elang rajawali itu kemudian ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 11 Februari 1950 dan masuk berita negara Parlemen RIS 17 Februari 1950 Nomor 2 dan menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6.
Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967 secara semiotika hukum lambang menamakan lambang negara RIS itu Rajawali - Garuda Pancasila. Soekarno menamakan Elang Rajawali - Garuda, PP No 66 Tahun 1951 menyebut berdekatan dengan burung Elang Rajawali.
Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913 dari ayahnya, Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan Keenam/VI) dan ibunya, Syecha Jamilah Syarwani.
Dari laman Wikipedia, disebutkan bahwa Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS (sekolah dasar) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS (sekolah lanjutan tingkat pertama) di Bandung satu tahun, THS (sekolah tinggi teknik) di Bandung tidak tamat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di di Breda, Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Di era federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat. Sultan Hamid II pernah memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Ia pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Namun, namanya pun dianggap tersangkut dalam Peristiwa Westerling (Angkatan Perang Ratu Adil), meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, meski di kemudian hari, tuduhan itu tidak terbukti. Tanggal 5 April 1950, ia ditangkap.
Kemudian dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, potong masa tahanan tiga tahun. Tahun 1962, ia kembali ditahan setelah dibebaskan pada tahun 1958. Bersama sejumlah tokoh lain, ia dituduh terlibat konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara.
Pemprov Dukung Pelurusan Sejarah Sultan Hamid II
Senin, 19 Agustus 2013 16:14 WIB