Pontianak (Antara Kalbar) - Tiga penulis dan akademisi meluncurkan buku biografi politik Sultan Hamid II, "Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila", di Pontianak Convention Center, Jumat.
Ketiga penulis itu yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Turiman Fachturachman Nur, Nur Iskandar dan Dimyati Anshari.
Peluncuran tersebut bertepatan dengan peringatan satu abad Sultan Hamid II yang lahir pada 12 Juli 1913.
Tokoh nasional asal Kalbar, Oesman Sapta mengatakan, Sultan Hamid II merupakan tokoh yang besar dengan rakyat.
Ia punya pengalaman dengan Sultan Hamid II saat bertamu di Jakarta 45 tahun silam.
"Saya pernah disuruh membangunkan beliau, padahal ada tamu, tapi sang sekretaris beliau, tidak berani membangunkan," ujar Oesman Sapta.
Sementara Turiman Fachturachman menilai hingga kini belum ada pengakuan secara hukum kepada Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara Indonesia.
"Siapa pencipta lagu Indonesia Raya, penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih, pencipta lagu Garuda Pancasila, semua bisa menjawab. Tetapi, siapa perancang lambang negara, tidak ada yang bisa menjawab," kata Turiman Fachturachman.
Sultan Hamid II merupakan sultan ketujuh dari Kesultanan Pontianak. Nama lengkapnya, Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie. Ia pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Namun ia pernah dianggap terlibat dalam Peristiwa Westerling meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, tuduhan itu tidak terbukti.
Turiman mengangkat tentang validitas perancang lambang negara saat mengambil gelas magister di Universitas Indonesia pada tahun 1999.
Menurut dia, ada dua tahap perancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Rancangan tahap pertama, pada 8 Februari 1950, mengambil figur burung garuda yang digali dalam mitologi bangsa Indonesia berdasarkan bahan dasar yang dikirim Ki Hajar Dewantoro dari sketsa garuda di berbagai candi di Jawa.
Gambar lambang negara dimaksud itu, sudah dikritisi oleh Panitia Lambang Negara. Kemudian, rancangan tahap kedua, pada 10 Februari 1950, mengambil figur burung elang rajawali setelah Sultan Hamid II melakukan penyempurnaan dan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan figur yang sama.
Figur burung elang rajawali itu kemudian ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 11 Februari 1950 dan masuk berita negara Parlemen RIS 17 Februari 1950 Nomor 2 dan menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6.
Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967 secara semiotika hukum lambang menamakan lambang negara RIS itu Rajawali - Garuda Pancasila. Soekarno menamakan Elang Rajawali - Garuda, PP No 66 Tahun 1951 menyebut berdekatan dengan burung Elang Rajawali.
"Jadi, lambang negara RI secara struktur gambar sekarang ini, sebenarnya berbentuk Elang Rajawali, bukan Garuda," kata Turiman menegaskan.
Kalbar telah mengusulkan di amandemen UUD Tahun 1945 terhadap pasal 36 menjadi pasal 36 A pada tahun 2000 kepada MPR RI. Namun ketika UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan, pada pasal 48 tidak disebutkan siapa perancang lambang negara tersebut.
Ia berharap, buku tersebut dapat menggugah kesadaran berbangsa mengenai Sultan Hamid II yang hingga kini karyanya masih menjadi salah satu alat pemersatu bangsa.