Pontianak (ANTARA) - Bagi warga di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, Klinik Asri yang terletak di Kecamatan Sukadana, seolah menjadi bagian tak terpisahkan bagi mereka yang membutuhkan layanan kesehatan selain yang disediakan pemerintah. Klinik tersebut juga memiliki cara yang tak biasa dalam melayani pasien termasuk yang tidak memiliki uang. Mereka dapat membayar dengan bibit pohon, kompos, kotoran ternak atau kerajinan. Bibit pohon itu kemudian digunakan untuk reboisasi. Selain meringankan beban pasien, cara ini juga terbukti berhasil mengurangi penggundulan hutan
Klinik Asri berada di kaki bukit di kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Setiap hari, pasien yang datang bergiliran masuk ke ruangan untuk diperiksa. Pasien yang baru tiba menunggu antrean di aula terbuka yang cukup luas. Deretan kursi diatur dengan jarak lebih satu meter.
Sepintas, tak ada yang istimewa dari klinik yang berada di Sukadana, Kayong Utara ini. Tampilan bangunan, misalnya, tak jauh beda dengan layanan kesehatan pada umumnya. Namun setelah ditilik lebih dalam, klinik ini menyimpan keunikan tersendiri. “Klinik ini berbeda dibanding klinik lain,” ujar Jono Karno, 40 tahun, salah satu pasien di Klinik Asri.
Di antara keunikan itu, ungkap Jono, pasien seperti dirinya tak harus memiliki uang untuk berobat. “Sepeser pun saya tak pernah mengeluarkan uang. Ada bibit saya pakai bibit, ada kompos saya pakai kompos,” kata warga Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara itu.
Pasien lain, Arbaiyah, juga mengaku pernah berobat dengan bayaran bibit pohon. Jenis pohon yang diserahkan adalah cempedak, mentawak, hingga durian. Warga Desa Pangkalan Jihing, Kayong Utara ini mengatakan, layanan ini sangat membantu dirinya sebagai ibu rumah tangga. “Kami tidak perlu mengeluarkan uang untuk berobat. Waktu itu saya menggunakan bibit untuk cabut gigi,” ujarnya memberikan testimoni.
Prasetyo, warga Sukadana, juga merasa terbantu dengan layanan yang diberikan Klinik Asri. “Inilah sebetulnya yang bisa membantu masyarakat kita. Sekalipun tidak dengan uang, masyarakat berobat bisa dengan barang. Misalnya jika punya kerajinan, seperti tikar kita bisa antar ke sana. Bisa dengan atap, bambu, atau barang lain. Alhamdulillah, ini sangat membantu,” ujarnya.
Jika tak punya uang, pasien atau keluarga pasien bisa membayar jasa kesehatan dengan cara bekerja di klinik. Tapi hasil kerja tak bisa dibayar dengan uang, hanya bisa ditukar dengan obat.
Direktur Eksekutif Yayasan Klinik Asri, Nur Febriani Wardi mengatakan, sejak berdiri pada 2007, Asri telah menerima lebih dari 90 ribu bibit pohon dari pasien. “Di tahun 2020 saja terdapat 28.625 bibit pohon yang diserahkan pasien sebagai biaya berobat. Kebanyakan merupakan spesies pohon asli Kalimantan, seperti ulin, nyatoh, bengkirai, ubah, durian, dan lain-lain,” ujarnya.
Tabungan Bibit Pohon
Bagi pasien seperti Jono Karno, keberadaan klinik Asri sangat membantu. Beberapa waktu lalu, Jono dirawat selama sepekan di klinik ini. “Saya sakit pinggang tidak bisa bergerak. Lalu saya dirawat di Klinik Asri. Saya tidak membayar sama sekali karena ada tabungan di rumah,” kata Jono.
Tabungan yang dimaksud Jono bukanlah tabungan di bank, melainkan puluhan bibit pohon yang dipelihara di rumahnya. “Inilah tabungan saya,” kata Jono.
Bibit pohon miliknya itulah yang digunakan untuk membayar biaya opname selama sepekan. “Kalau tak ada bibit pohon, saya tak mampu bayar berobat. Saya tak punya uang,” ungkapnya.
Jono Karno mulanya seorang pembalak liar. Dia tinggal di sebuah dusun yang sangat indah. Pepohonan besar nan hijau memayungi dusun ini. Di ujung sana, perbukitan berpadu dengan persawahan menambah permai suasana. Dusun tempat Jono tinggal bernama Begasing. Tepatnya di Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara.
Jono sudah menjadi pembalak liar sejak usia belasan tahun pada 1990. Saat itu, dengan gergaji mesinnya, setiap hari dia mampu menumbangkan puluhan batang pohon. Sudah tak terhitung berapa ribu pohon yang telah dia tebang. Kini Jono mengaku insyaf. Dia sudah berhenti menebang. Sekarang dia justru aktif menanam pohon.
Jono menanam bibit di pekarangan rumahnya. Langkah itu ia lakukan apabila sewaktu-waktu nanti sakit, bibit pohon yang ditanamnya bisa menjadi biaya pembayaran saat berobat di Klinik Asri. Per bibit pohon dihargai dari Rp 5000 hingga Rp7000. Jenis bibitnya bermacam-macam, mulai dari kayu keras seperti belian sampai buahan-buahan seperti durian.
Staf Klinik Asri biasanya datang ke rumah Jono untuk mencatat jumlah bibitnya. Jono akan menerima kartu berisi nilai rupiah tabungan Jono. Tabungan itu bisa dipakai saat nanti berobat ke Klinik Asri.
Tabungan bibit itu bisa digunakan oleh siapa pun yang bisa ingin berobat, misalnya anak, istri, keluarga atau tetangganya. “Mereka bisa menggunakan tabungan bibit yang saya miliki,” ujarnya.
“Ada petugas dari klinik yang menghitung jumlah bibit yang saya punya. Bibit ini kemudian dicatat di sebuah kartu khusus. Jumlah tabungan uang yang dimiliki sesuai jumlah bibit pohon yang dimiliki. Kartu inilah yang bisa digunakan untuk berobat,” jelasnya.
Hingga kini ratusan bibit milik Jono yang sudah ditukar untuk berobat. Meski begitu, Jono masih memiliki tabungan berobat senilai Rp465 ribu. “Kemarin saldonya sempat berkurang karena untuk berobat memeriksakan sakit pada bagian pinggang,” kata dia.
Koordinator Program Reboisasi Klinik Asri, Hendriadi mengatakan, hasil kerja yang dilakukan pasien atau keluarga pasien dicatat dalam sebuah kartu, seperti tabungan. Jika sewaktu-waktu sakit, kartu ini bisa digunakan untuk berobat. “Jadi di sini bermacam-macam yang bisa dikerjakan. Bisa mencuci seprai, cuci piring, jemur pakaian, atau potong rumput. Kalau di kebun bisa mengisi polybag atau bikin bedengan di penyemaian,” ujar Hendriadi yang akrab disapa Bang Hen.
Awal Mula Klinik Asri
Klinik ini didirikan oleh Kinari Webb, seorang dokter asal Amerika Serikat, 14 tahun lalu. Kinari mendirikan klinik karena melihat rendahnya tingkat kesehatan warga setempat. Kinari bercerita, belasan tahun lalu saat melakukan penelitian di hutan, dia memiliki kenalan warga lokal bernama Tadin. Pada suatu hari, Tadin yang juga kerja di hutan itu terluka di tangan kanan. Lukanya sebenarnya tidak terlalu besar. “Ya besar, tetapi tidak terlalu besar. Tapi Pak Tadin takut sekali,” ujarnya.
Tadin sebenarnya orang yang kuat dan berani. Tetapi dengan luka kecil itu, dia sudah takut sekali seperti mau mati. Sejak itu Kinari sadar, banyak warga yang tidak memiliki pengetahuan dan akses pada layanan kesehatan. Akibatnya, meski luka kecil, warga sudah begitu ketakutan. “Pak Tadin belum pernah kena suntik tetanus. Tidak ada akses ke antibiotik saat itu. Dia tidak mengerti tentang kuman dan lain-lain. Dan itu tangan kanan yang digunakan untuk bekerja. Bila dia tidak bisa bekerja, keluarga tak bisa hidup,” ujarnya.
Peristiwa inilah yang membuat Kinari merasa perlu mendirikan sebuah pusat layanan kesehatan. Akhirnya, muncullah ide mendirikan Klinik Asri. Proses pendirian Klinik Asri sendiri tidaklah mudah. Menurut Kinari, meski sudah punya ide, namun dia belum menemukan model yang tepat. Untuk itu, Kinari mencoba mencari konsep klinik yang diinginkan masyarakat. Caranya dengan mendatangi berbagai kampung untuk meminta pendapat warga mengenai klinik yang diinginkan. Kinari juga mengadakan banyak pertemuan dengan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Palung.
“Hampir semua ide program ini dari masyarakat. Bukan dari kami. Misalnya untuk kebun organik, itu bukan ide kami, tetapi ide masyarakat. Jadi mereka minta ada ambulans, kebun organik, dan pelatihan organik, Mereka juga minta klinik, rumah sakit dan klinik keliling,” ujar Kinari. Kinari Webb mengatakan, pendirian klinik merupakan tanda terima kasih dunia bagi masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Palung yang telah menjaga hutan.
“Kami waktu itu jelaskan pada masyarakat begini, mungkin dunia siap mengucapkan terima kasih kepada masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Palung, yang sebenarnya penjaga kesehatan kita semua. Karena orang di sini, penjaga hutan, yang sangat penting bagi kesehatan dunia. Jadi banyak orang di Amerika sadar, bahwa mereka seperti berterima kasih bagi orang di sini,”kata dia.
Klinik Asri juga memperluas layanan kesehatan dengan membuat program pengobatan keliling. Mereka mendatangi berbagai desa yang terpencil, terutama yang bertetangga dengan Taman Nasional Gunung Palung.
Malaria dan TBC adalah penyakit yang banyak ditemui di Sukadana. Dua penyakit ini sangat terkait dengan kondisi lingkungan. Malaria misalnya, banyak menyerang karena hutan sudah banyak ditebang. Hingga kini salah satu program yang terus dilakukan adalah pemberantasan malaria dan TBC. Untuk pemberantasan malaria, klinik melakukan pembagian kelambu kepada warga sekitar taman nasional.
Sementara untuk pemberantasan TBC, klinik sengaja menugaskan staf yang secara khusus mendatangi desa-desa untuk mengobati penderita TBC. Staf ini bahkan mengontrol hingga si penderita sembuh total. Klinik Asri terletak di areal yang hijau, dekat kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Dari sini, pohon-pohon besar di perbukitan tampak menghijau. Kondisi inilah yang ingin dipertahankan oleh Kinari Webb, dengan mendirikan kliniknya.
“Klinik Asri adalah kombinasi antara kesehatan dan lingkungan. Filosofi kami, bahwa dunia tidak bisa sehat kalau manusia tidak sehat dan lingkungan juga tidak sehat. Jadi dua-duanya harus sehat supaya masa depan sehat untuk kita semua. Jadi kami pikir hanya solusi yang mengombinasikan kedua-duanya bisa selamatkan kita untuk masa depan. Jadi selamatkan hutan juga selamatkan manusia,” ujar Kinari.
Bibit tanaman yang dikumpulkan dari para pasien digunakan untuk melakukan reboisasi di kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Pembayaran dengan bibit, kompos atau kotoran ternak sangat bermanfaat bagi upaya melestarikan hutan.
Ini semakin menguatkan hubungan sebab akibat antara kesehatan dengan kelestarian hutan. Banyak warga menebang hutan karena tak punya sumber pendapatan lain. Sementara ketika mereka sakit, mereka harus menebang lebih banyak lagi pohon, demi mendapatkan uang untuk berobat.
Karena itulah, potongan biaya berobat diberlakukan di klinik ini supaya warga tak perlu lagi menebang hutan. “Kami pasti bisa mengerti itu ya. Walaupun mereka tahu bahwa hutan sangat penting bagi masa depan, tetapi kalau anak mereka sakit, pasti (mereka) akan merusak hutan karena tak punya penghasilan lain. Jadi, kami pikir hanya solusi yang kombinasi kedua-duanya bisa selamatkan kita untuk masa depan. Berarti selamatkan hutan dan selamatkan manusia,” ujarnya.
Hutan untuk Masa Depan
Direktur Eksekutif Yayasan Klinik Asri, Nur Febriani Wardi menjelaskan, saat ini program-program Asri telah berkembang luas, mencakup pelayanan kesehatan, konservasi, dan pendidikan kesehatan planetari. Asri menjadi salah satu rujukan dunia terkait integrasi kesehatan dengan konservasi hutan. Pada 2020, Asri mendapatkan penghargaan dari PBB sebagai pemenang Global Climate Action Award pada kategori Women for Results. Asri juga telah mendapatkan penghargaan Kalpataru pada 2016.
Pasien membayar dengan barang, sementara obat harus dibeli dengan uang. Begitu pula berbagai peralatan kesehatan lainnya. Lantas, dari mana uang untuk membiayai semua operasional klinik didapat? Nur Febrina Wardi mengatakan, sebagian besar biaya kegiatan operasional mereka berasal dari hibah masyarakat dunia dan lembaga internasional.
Saat ini Asri juga sudah mulai mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia melalui donasi dan adopsi bibit pohon. “Untuk adopsi bibit pohon, publik dapat melakukannya dengan mudah di website Asri,” jelasnya.
Banyak perubahan yang terjadi selama 14 tahun Klinik Asri berdiri. Nur Febrina mengatakan, kini pasien mereka banyak yang telah menyadari pentingnya menjaga hutan bagi kesehatan. Perkembangan juga terlihat dari data hasil survei rumah tangga Asri yang membandingkan antara tahun 2007 di mana Asri baru saja memulai kegiatan, dan sepuluh tahun kemudian yaitu pada 2017.
“Kami melihat 67 persen penurunan angka kematian bayi, dan 89 persen penurunan jumlah rumah tangga yang melakukan penebangan. Angka kesakitan seperti demam, diare, dan batuk lebih dari tiga minggu juga menunjukkan tren menurun,” katanya. Masyarakat di Kayong Utara juga kini jauh lebih sadar bahwa bila mereka masih ingin mendapatkan air di masa mendatang maka mereka harus menjaga hutan.
*Penulis jurnalis lokal yang didukung Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center
Berobat sambil merawat lingkungan di Klinik Asri
Kamis, 10 Juni 2021 11:44 WIB