Ketapang (ANTARA) - Kepala Perwakilan Bumitama Gunajaya Agro (BGA) Riduan mengungkapkan penyebab kisruh antara PT Inti Sawit Lestari (ISL), anak perusahaan BGA Grup, dengan masyarakat khususnya di Dusun Mambuk, Desa Segar Wangi, Kecamatan Tumbang Titi.
Menurut Riduan di Ketapang, Minggu, penyebabnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ketapang menerbitkan dua peta bidang tanah yang bertentangan satu dengan lainnya.
Riduan menceritakan kisruh ini bermula setelah BGA Grup memenangi lelang lahan perkebunan eks PT Benua Indah Grup (BIG). Lelang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pontianak melalui Pengadilan Negeri (PN) Ketapang. Berdasarkan risalah lelang remsi oleh Negara ini dengan No 134/2015 tertanggal 26 Mei 2015, PT ISL mendapatkan peta Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) berbentuk vertikal.
"Tapi belakangan muncul peta berbentuk horizontal yang diklaim BPN Ketapang sebagai peta milik BGA Grup selaku pemenang lelang resmi itu. Inilah yang memicu polemik lantaran adanya pihak ketiga dan juga masyarakat yang akhirnya mengklaim sejumlah lahan perkebunan di peta vertikal milik BGA," ungkap Riduan.
Ia melanjutkan proses lelang juga melibatkan BPN Ketapang bahkan yang mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) pada 23 Oktober 2014 lengkap dengan rinciannya.
Kemudian di dalamnya menyatakan status riwayat tanah secara yuridis dan fisik atas suatu bidang tanah dan objek lelang sesuai dengan data buku tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Ketapang.
"Artinya peta vertikal yang kami dapat dari hasil lelang telah diakui BPN Ketapang. Tapi kenapa ada peta bidang horizontal yang sekarang muncul. Padahal saat proses balik nama menjadi hak milik BGA Grup, BPN Ketapang juga telah melakukan pengecekan dan pemetaan patok batas HGU di lapangan yang semuanya sudah sesuai dengan HGU berbentuk vertikal," jelasnya.
Riduan mengungkapkan jika memang peta yang benar berbentuk horizontal, kenapa BPN selama ini tidak pernah memberikan peringatan atau teguran terhadap PT BIG selaku pemilik lahan awal yang telah melakukan penanaman kurang lebih hingga 20 tahun. Bahkan membiarkan proses lelang hingga dimenangkan PT BGA dengan peta bidang tanah berbentuk vertikal.
"Makanya lucu setelah bertahun-tahun pasca menang lelang muncul pihak yang mengklaim HGU milik mereka dan muncul peta bidang horizontal. Kami ikuti lelang resmi dan kami telah membayar biaya lelang ke Negara Rp160 miliar lebih," tegasnya.
Ditegaskan, jika persoalan ini berlarut pihaknya bukan tidak mungkin akan menggugat BPN. Serta penyelenggara lelang Negara tersebut karena mempermainkan dan merugikan pihaknya. "Perlu diketahui, sebelum kita mengikuti lelang tersebut, tidak ada pihak lain yang mau mengikutinya," ujar Riduan.
"Saat lelang kelima kalinya baru kami ikut dengan tujuan selain pertimbangan bisnis juga mengikuti imbauan Pemerintah Daerah. Di antaranya demi membantu masyarakat yang menerima dampak dari persoalan PT BIG sebelumnya. Sekarang kami juga memikirkan banyak masyarakat," lanjutnya.
"Sebab itu jika BPN memaksakan diri, BGA Grup harus memiliki SHGU berbentuk peta horizontal. Apakah BPN siap bertanggung jawab, sebab di dalamnya terdapat ribuan sertifikat hak milik (SHM), ada rumah ibadah dan sekolah. Kalau itu dipaksakan maka BPN harus siap bertanggung jawab kepada masyarakat yang tanah dan rumahnya masuk dalam SHGU kami," tutup Riduan.
Saat dikonfirmasi, Kepala Kantor Pertanahan Ketapang, Banu Subekti menegaskan terkait persoalan ini sudah menjadi pembahasan di Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Kalimantan Barat. Serta di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / BPN.
"Oleh sebab itu tanggapannya tidak bisa disampaikan oleh Kakan namun harus komprehensif dg (dengan) Kanwil dan Kementerian ATR/BPN. Karena kewenangan pemberian HGU berada pada Kementerian ATR/BPN," jelas Subekti melalui pesan WhatsApp, Jumat malam.