Jakarta (ANTARA) - Dalam kunjungan ke Jakarta beberapa hari lalu, Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sepakat untuk menindaklanjuti kesepakatan kerja sama pertahanan yang belum lama ditandatangani.
Salah satu yang ditandatangani adalah rencana pengadaan 42 pesawat tempur Rafale untuk memperkuat alutsista TNI AU.
Sementara pada 10 Februari lalu, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyetujui proposal Indonesia untuk membeli 36 unit pesawat tempur F-15ID, dan pemerintah Amerika Serikat telah mengirimkan notifikasi kepada Kongres perihal keputusan ini.
Ada beberapa hal yang bisa diinterpretasikan dari rencana pengadaan pesawat tempur TNI AU dari Prancis dan Amerika Serikat.
Pertama, kondisi ini semakin menunjukkan bahwa kawasan Indo-Pasifik mempunyai nilai strategis dalam dinamika geopolitik di masa mendatang. Mau tidak mau negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis merasa ingin terlibat dalam pusaran dinamika geopolitik kawasan. Terlebih, negara-negara tersebut juga memiliki kebijakan luar negeri tersendiri terkait Indo Pasifik, dan Indonesia dinilai sebagai salah satu mitra strategis negara tersebut untuk dapat berkiprah di kawasan.
Dengan demikian, rencana pengadaan ini memang tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika lingkungan strategis kawasan. Poin ini sendiri diakui oleh Amerika Serikat dalam pernyataan resminya yang menyebutkan Indonesia sebagai mitra regional penting dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan.
Kedua, rencana pembelian ini tentu saja memang dibutuhkan mengingat kondisi alutsista TNI membutuhkan peremajaan. Pemerintah memang telah beberapa kali melakukan upaya peremajaan, namun dalam pelaksanaannya banyak kritik mulai dari alutsista bekas hingga pembelian yang jumlahnya terbatas. Akibatnya, arah modernisasi jauh dari harapan.
Pandemi COVID-19 memang telah menjadi tantangan besar pemerintah dalam melakukan modernisasi alutsista. Di tengah upaya pemulihan ekonomi, pembaruan alutsista tetap tidak bisa dihindari.
Terlebih dalam periode sebelumnya, target pemenuhan kebutuhan esensial minimum tidak tercapai. Sementara, kondisi keamanan regional terus dinamis dan semakin kompleks, mulai dari Laut China Selatan, ancaman keamanan maritim hingga kompetisi negara besar di kawasan. Sekalipun perang terbuka dalam skala besar belum berpeluang besar, ketegangan dalam skala terbatas dapat terjadi.
Secara normatif, pengadaan pesawat tempur ini merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan minimum esensial. Akan tetapi, perencanaan pengadaan yang dilakukan dalam skala besar tentu saja sedikit banyak mengubah imej pembelian ‘eceran’ yang kerap dilakukan pemerintah.
Dalam konteks ini, pemerintah ingin mencoba menunjukkan keseriusan dalam pembangunan kekuatan pertahanan yang terencana. Harapannya, dalam satu dekade mendatang, kita sudah mulai mampu menunjukkan kekuatan pertahanan udara yang lebih baik di tengah dinamika geopolitik kawasan yang tidak menentu. Salah satunya keluaran yang diinginkan, tentu saja adalah efek gentar pada kekuatan matra udara.
Ketiga, rencana pembelian ini semakin menunjukkan pola diplomasi pertahanan yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dalam dua tahun terakhir, Prabowo terlihat untuk menjaga dan meningkatkan hubungan bilateral dengan lima negara pemilik hak veto di PBB.
Hal ini dapat dilihat dari intensitas pertemuan, baik yang dilakukan melalui kunjungan kerja maupun pertemuan di domestik. Terlihat, Prabowo mencoba menjaga keseimbangan dalam menjalin relasi pada negara tersebut.
Meski demikian, ada tiga isu krusial yang butuh perhatian serius. Pertama, akuntabilitas dan transparansi. Survei Transparansi Internasional 2021 masih mengindikasikan sektor pertahanan Indonesia rawan korupsi dan minim perbaikan.
Oleh karena itu, mengingat dana yang akan dikeluarkan sangat besar, penting kiranya Kementerian Pertahanan membuka akses untuk mengetahui kontrak pembelian yang kelak ditandatangani. Hal ini menjadi penting agar publik juga dapat mudah membandingkan apakah harga yang diberikan kepada Indonesia masih dalam kategori wajar atau tidak, jika dibandingkan dengan pembelian alutsista serupa oleh negara lain.
Kedua, pengelolaan pendanaan tahun jamak. Langkah pembelian alutsista baru dalam jumlah besar tentu saja patut diapresiasi. Meski demikian, mengingat besarnya biaya pembelian puluhan alutsista ini maka mekanisme dan prosedur pembayaran kontrak harus dapat diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai komitmen pembayaran justru tidak dilanjutkan oleh pemerintah selanjutnya.
Kendala dalam pembayaran kontrak pengadaan KFX/IFX dengan Korea Selatan sudah semestinya menjadi pelajaran penting agar tidak terulang kembali.
Ketiga, penguatan industri pertahanan nasional. Mengingat kali ini pembelian yang dilakukan Indonesia tidak bersifat eceran, hendaknya pemerintah melibatkan secara serius industri pertahanan nasional terutama terkait pembicaraan negosiasi offset dan konten lokal, seperti yang diamanatkan UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
Ini juga merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam menjadikan industri pertahanan nasional sebagai bagian dari rantai suplai industri pertahanan global.
Dalam konteks ini, publik berharap pembelian pesawat tempur tidak hanya berjalan pada konteks pengadaan alutsista melainkan hingga pada akuisisi pertahanan. Konsekuensinya, proses negosiasi offset, transfer teknologi hingga konten lokal hendaknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam paket rencana pembelian pesawat tempur.
Kita tentu tidak ingin Indonesia selalu hanya menjadi penonton dan konsumen bagi para produsen alutsista global, dan pada titik ini, keseriusan parlemen untuk mengawasi dan menjamin ketiga isu ini dapat atensi memadai dari pemerintah menjadi krusial.
*) Anton Aliabbas, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Jakarta