Jakarta (ANTARA) - Penyesuaian harga bahan bakar minyak jenis Pertamax seperti yang telah dilakukan perusahaan lain terhadap produk sekelas dinilai wajar, agar beban Pertamina tidak terus bertambah, apalagi Pertamax termasuk BBM nonsubsidi sehingga dapat mengikuti harga pasar.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David E Sumual mengatakan untuk menyesuaikan harga Pertamax, bisa dengan membandingkan dengan pesaing Pertamina. Misalnya produk BBM RON 92, pesaing Pertamina sudah mirip dengan harga pasar.
"Pertamax dan Pertalite kan tidak dalam posisi harga minyak (mentah) sekarang," ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Harga Pertamax Turbo, Pertamax Dex dan Dexlite naik
Menurut David, perbedaan harga Pertamax dan Pertalite dengan harga pasar saat ini sekitar 20-40 dolar AS per barel, bergantung pada pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS, yakni saat ini antara Rp14.200-Rp14.400 per dolar AS.
“Sekali lagi, ini bergantung pada kursnya di berapa, harga minyak global kira-kira berapa? Sedangkan badan usaha lain sudah mengikuti dua variabel utama ini,” katanya.
Ia mengatakan volume penjualan Pertalite saat ini sudah paling tinggi. Dengan mobilitas masyarakat yang semakin baik, konsumsi Pertalite juga akan terus meningkat. Dengan volume yang semakin naik, beban yang harus ditanggung Pertamina juga akan semakin besar. Apalagi tanpa ada kenaikan harga Pertamax yang tidak disubsidi karena dikonsumsi masyarakat mampu.
Baca juga: Ketiadaan penyesuaian harga pertalite dan pertamax RON-92 pengaruhi kinerja Pertamina
David mengasumsikan baseline skenario harga minyak sekitar 130-an dolar AS per barel paling tinggi dan bertahan di level tersebut hingga akhir tahun. Sementara kurs rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp14.600-an. Beban tambahan yang ditanggung Pertamina bisa mencapai Rp200-an triliun paling sedikit dalam setahun. Kondisi ini akan bergerak terus seiring pergerakan kurs dan harga minyak global.
"Pertamina memang butuh suntikan likuiditas dan mereka sudah kelihatan beberapa kesempatan menyampaikannya," kata David.
Secara terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengatakan disrupsi global akibat pandemi COVID-19 dan invasi Rusia ke Ukraina akan mempersulit posisi neraca energi Indonesia pada 2022. Sistem stok energi Indonesia dapat terganggu, disebabkan eskalasi yang terjadi belakang ini, kesenjangan antara harga internasional dan domestik.
Baca juga: Pertamina akan rugi terus karena tidak miliki mekanisme penyesuaian harga bersifat otomatis
“Alangkah baiknya, harga domestik mendekati harga internasional, minimal 80-90 persen dari harga internasional. Ini untuk menjaga keseimbangan agar pasar domestik tetap terjaga dan menghindari kelangkaan suplai karena BBM bisa diselundupkan ke luar negeri,” ujarnya.
Walaupun harga BBM nonsubsidi lebih mahal, lanjut Yayan, pasokan dapat dijaga daripada harga murah tetapi konsumen berbondong-bondong antre. Harga keekonomian ini berfungsi untuk mencari alternatif energi baru dan terbarukan serta mengedukasi masyarakat agar masyarakat menghemat energi minyak yang memang sudah tidak murah lagi.
Dari empat jenis BBM nonsubsidi, baru tiga jenis BBM yang harganya sudah disesuaikan, yaitu Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite, dimana volume penjualannya hanya 3 persen saja. Sedangkan harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax, yang pangsa pasarnya sekitar 12 persen, saat ini dijual Rp9.000 per liter. Harga tersebut sudah bertahan sejak lebih dari dua tahun lalu. Padahal produk BBM sejenis Pertamax dengan kadar oktan (RON) 92 dari perusahaan lain dijual sekitar Rp11.900-Rp12.990 per liter.
Pemerintah melalui Pertamina sudah memutuskan bahwa harga Pertalite masih tetap dipertahankan stabil. Selain Pertalite, harga Solar subsidi juga tidak berubah.
Baca juga: Pertamina apresiasi pelanggan yang tetap konsisten gunakan BBM ramah lingkungan
Harga pertamax tidak naik, beban Pertamina bertambah
Jumat, 18 Maret 2022 11:22 WIB