Pontianak (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menilai persoalan tingginya stunting di NTT bukan hanya persoalan kesehatan dan kekurangan gizi, akan tetapi karena kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan.
"Faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan serta pola asuh yang salah turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting. Untul itu langkah kongkret yang diperlukan mempercepat penurunan angka stunting adalah pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, Kamis.
Hasto mengatakan, BKKBN yang ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Perpres Nomor 72/2021 , membutuhkan kolaborasi dengan semua pihak. Demikian pula halnya Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa “berjuang” sendiri untuk mengatasi pengentasan stunting.
Baca juga: Presiden soroti rumah tak layak huni penyebab stunting di NTT
“Sebagai salah satu unsur pentaheliks dalam wujud kovergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah. Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua pronsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen,” paparnya.
Banyak pihak turut aktif menurunkan angka stunting di Timur Tengah Selatan NTT, salah satunya Yayasan Seribu Cita Bangsa (1000 Days Fund) yang sejak 2018 meluncurkan program pencegahan stunting melalui intervensi di tingkat desa menggunakan alat edukasi yang inovatif dan mudah disebar seperti poster pintar serta selimut cerdas agar mudah dipahami warga. Dengan dukungan donor seperti dari Yayasan Ishk Tolaram, 1000 Days Fund menyasar desa-desa terpencil di NTT termasuk di Timor Tengah Selatan.
“Ketika pertama kali kami datang ke desa tempat kami melaksanakan program untuk pertama kalinya, sebagian besar masyarakat tidak mengenal apa itu stunting, apa kaitannya dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan bagaimana caranya mengoptimalkan pertumbuhan anak serta mencegah mereka dari stunting. Program pertama kami menunjukan perubahan perilaku dan kebiasaan orangtua dan pengasuh yang signifikan. Intervensi dalam bentuk informasi dan pengetahuan mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan,” jelas Ketua Yayasan Seribu Cita Bangsa, Jessica Arawinda.
Baca juga: Warga Timor Tengah Selatan berharap kedatangan Presiden Jokowi bawa perubahan
Dikatakannya,1000 Days Fund bahkan berinisiatif mengajukan anggaran dana desa yang lebih besar untuk berbagai kebutuhan ibu dan anak serta kebutuhan posyandu.
“Kami ingin pengetahuan dan kesadaran ini kemudian menghasilkan efek domino yang mendorong perubahan-perubahan lain yang lebih pro terhadap perempuan dan anak di desa-desa tempat kami melakukan program,” tambah Jessica Arawinda.
Selain itu, Tanoto Fundation juga terlibat aktif dalam penanganan stunting di Timor Tengah Selatan. Pihak Tanoto mengakui kerjasama kolaboratif dengan BKKBN sangat strategis karena mengatasi persoalan keterbelakangan pendidikan dari sektor hulu.
“Jika masalah stunting bisa kita atasi dari awal maka kami percaya tingkat pendidikan masyarakat juga akan meningkat. Tanoto sangat peduli dengan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang menjadi garda depan BKKBN dalam upaya akselerasi percepatan penurunan stunting dan komunikasi perubahan perilaku di masyarakat,”ungkap ECED Adviser Tanoto Foundation Widodo Suhartoyo.
Baca juga: Inilah 12 provinsi target prioritas BKKBN untuk penurunan kekerdilan
Selain 1000 Days Fund dan Tanoto Foundation, Nestle, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Danone, Dexa Grup serta Bulog berpartisipasi aktif dalam partisipasi “bareng” BKKBN di Timor Tengah Selatan.
BKKBN bersama para mitra kerja merasa optimis, target penurunan prevalensi stunting dari 48,3 persen di 2021 lalu menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022 serta terus melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023 dan kemudian di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen bisa tercapai.
Presiden Joko Widodo akan melakukan kunjungan kerja di Timor Tengah Selatan pada Kamis (24/03/2022) hari ini. Presidenakan meninjau secara langsung program-program yang dikerjakan BKKBN seperti pemeriksaan kesehatan calon pengantin untuk deteksi dini potensi stunting, pemeriksaan ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi balita, kunjungan ke rumah warga serta proses pembangunan program bedah rumah. Tidak hanya itu, masalah pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga juga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinir BKKBN.
Baca juga: Kepala BKKBN tegaskan kunjungan Presiden ke NTT bentuk keseriusan hadapi stunting
Baca juga: NTT masih memiliki 15 Kabupaten angka stunting berkatagori "merah"
Baca juga: Komitmen entaskan stunting, Presiden Jokowi akan Kunker ke Timor Tengah Selatan
Tingginya angka stunting di NTT karena sulitnya warga mendapatkan akses kesehatan
Kamis, 24 Maret 2022 14:54 WIB