Jakarta (ANTARA) - Sutradara Gareth Edwards kembali hadir dengan film bergenre thriller fiksi ilmiah terbarunya berjudul “The Creator” dan menghadirkan premis cerita peperangan antara manusia dengan robot kecerdasan buatan (AI).
Melalui penayangan perdananya pada Selasa (26/9) lalu, cerita dimulai setelah terjadinya sebuah bencana besar di Los Angeles, Amerika Serikat, karena dihancurkan oleh robot kecerdasan buatan. Di masa depan, kecerdasan buatan semakin canggih dan telah mendominasi sebagian besar lini kehidupan dunia, layaknya manusia.
Merespons hal tersebut, pemerintah di negara-negara Barat pun melakukan pelarangan total terhadap keberadaan robot dan mulai menghancurkan tempat-tempat sentralisasi penciptaan mereka. Sebaliknya, negara-negara di timur terus mengembangkan teknologi tersebut hingga robot menjadi semakin mirip dengan manusia dan dianggap memiliki kedudukan setara.
Hal ini memicu perang antara Barat dan Timur, terutama Amerika melawan salah satu negara di Asia Baru sebagai pusat penciptaan robot kecerdasan buatan. Untuk menghadapi perlawanan masyarakat di Asia, baik manusia asli maupun robot, pihak NOMAD dari Amerika pun merekrut mantan agen pasukan khusus bernama Joshua (John David Washington) dan memburu The Creator atau Nirmata.
Nirmata adalah arsitek robot kecerdasan buatan canggih yang telah mengembangkan suatu senjata misterius. Senjata yang telah diciptakan tersebut dikatakan memiliki kekuatan untuk mengakhiri perang dan umat manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, Joshua dan tim operasi elitnya melakukan perjalanan melintasi garis musuh, ke wilayah yang diduduki para robot kecerdasan buatan untuk menemukan senjata akhir dunia yang diperintahkan untuk dihancurkan. Tanpa disangka, senjata pemusnah tersebut merupakan robot kecerdasan buatan dalam bentuk anak kecil bernama Alphie (Madeleine Yuna Voyles).
Di tengah perjalanan, Joshua dan tim elitnya harus terpisah karena insiden bertubi-tubi yang menimpa mereka. Joshua pun berusaha pergi ke tempat istrinya, Maya (Gemma Chan) berada karena sebelumnya mengira sang istri telah tiada.
Dengan bantuan Alphie, Joshua mulai bergerak menyusuri wilayah Asia untuk menemukan cintanya. Namun, pencarian tersebut berujung pada tindakan ilegal yang membuatnya ditandai sebagai pengkhianat, baik oleh NOMAD Amerika yang memerintahkannya maupun perlawanan dari kaum robot. Akankah Joshua berhasil menghadapinya dan menemukan kembali sang istri tercinta?
Perang kecerdasan buatan vs manusia
Berlatar tahun 2060-an atau periode masa depan, “The Creator” menghadirkan konflik peperangan epik antara kecerdasan buatan dengan manusia. Sebuah peperangan tidak terduga dan hingga kini masih menjadi pertanyaan, apakah di masa depan kecerdasan buatan sudah sangat canggih sedemikian rupa sehingga dapat menyaingi eksistensi manusia?
Tidak dapat dipungkiri, di era modern tahun 2023 saat ini, kecerdasan buatan sudah semakin jamak digunakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari informatika, telekomunikasi, hingga industri. Melalui film “The Creator”, sedikit banyak penonton dapat membayangkan bahwa dunia masa depan akan semakin maju dengan adanya kecerdasan buatan, meskipun belum diketahui apakah nantinya hal tersebut akan benar-benar terjadi atau tidak.
Di masa depan, Amerika Serikat sebagai negara yang menentang keras akan eksistensi kecerdasan buatan pun seakan melupakan jati diri negara mereka yang hingga saat ini dikenal sebagai salah satu perintis kecerdasan buatan.
Bukan tanpa sebab, insiden besar yang terjadi di salah satu negara bagian mereka dalam film “The Creator” menyimpan luka besar di hati mereka dan berakhir dengan ambisi untuk melawan para robot kecerdasan buatan. Sayangnya, tindakan peperangan yang mereka picu tersebut harus menelan korban jiwa lebih banyak, baik dari sisi manusia maupun para robot.
Salah satu kutipan paling berkesan adalah saat manusia di kawasan Asia sebagai target peperangan NOMAD Amerika Serikat mengucapkan, “Bahkan, para robot kecerdasan buatan masih memiliki hati dibandingkan orang-orang (dari NOMAD Amerika Serikat) itu!”
Hal ini karena mereka, masyarakat sipil yang tidak terlibat langsung akan permasalahan tersebut, harus merasakan pahitnya peperangan di antara keduanya. Namun, para robot kecerdasan buatan masih mau membantu masyarakat sipil yang tidak bersalah untuk menghindari aksi perlawanan yang dilakukan NOMAD Amerika Serikat.
Para robot pun mengelak bahwa insiden di Los Angeles sebelumnya bukanlah kesalahan mereka, tetapi kelalaian dari para manusia itu sendiri. Meski demikian, NOMAD Amerika Serikat tidak mau mengakui itu dan tetap melancarkan aksi pemusnahan terhadap robot kecerdasan buatan.
Pilihan cinta dan pengkhianatan
Sayangnya, peperangan tersebut harus membuat Joshua dengan istrinya, Maya terpisah selama bertahun-tahun. Joshua pun mengira bahwa sang istri telah tiada karena peperangan tersebut.
Suatu hari, Joshua diberi tahu oleh NOMAD bahwa istrinya masih hidup di sekitar wilayah sentralisasi penciptaan robot kecerdasan buatan. Joshua pun diberi tugas untuk mencari Nirmata atau arsitek robot kecerdasan buatan canggih yang telah mengembangkan suatu senjata misterius.
Alih-alih menemukan Nirmata, Joshua berhasil menemukan senjata misterius tersebut dalam wujud anak kecil bernama Alphie. Alphie pun mengetahui keberadaan Maya setelah Joshua memperlihatkan wajah Maya padanya.
Joshua pun mengambil kesempatan tersebut untuk mencari keberadaan Maya dengan bantuan Alphie dan meninggalkan tugasnya untuk mencari Nirmata. NOMAD Amerika Serikat yang mengetahui hal tersebut berusaha memburu Joshua yang pergi melarikan diri bersama Alphie, senjata misterius yang ingin mereka hancurkan.
Demi mengejar cintanya, Joshua rela ditandai sebagai pengkhianat dan berusaha menjangkau Maya hanya untuk sekali lagi memeluknya. Tidak hanya Joshua, penonton akan melihat banyaknya pengorbanan yang ditunjukkan oleh para tokoh untuk orang-orang tercinta, baik dari manusia maupun kaum robot itu sendiri.
Sentuhan budaya khas Asia
Sebagai daerah sentralisasi penciptaan robot kecerdasan buatan, wilayah Asia menjadi salah satu latar penceritaan film “The Creator”. Tidak heran, beberapa adegan pemandangan di dalamnya terlihat familiar oleh penonton Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tim produksi melakukan perjalanan ke 80 lokasi di delapan negara berbeda, termasuk Thailand, Vietnam, Kamboja, Nepal, Jepang, Indonesia, Inggris (di luar Pinewood Studios London), dan Amerika Serikat (di Los Angeles). Hal ini dilakukan agar lokasi cerita yang dipilih, yaitu, Asia di masa depan tetap memiliki sisi autentik dari negara-negara di Asia yang beragam.
“Gareth bertekad untuk merangkul talenta lokal (baik pemain maupun kru) semaksimal mungkin,” kata produser Jim Spencer, melalui keterangannya.
Menariknya, beberapa elemen dari Indonesia pun terlihat jelas dalam “The Creator”, mulai dari adegan musik di dalamnya, hingga beberapa percakapan yang menggunakan bahasa Indonesia.
Tim produksi pun menggunakan beberapa lagu dari musisi Indonesia untuk memperlihatkan keragaman budaya Asia di dalamnya. Lagu-lagu yang dipakai, yakni lagu milik band rock tahun 70-an asal Indonesia “Golden Wing”, mulai dari “Kasih Suci”, “Hanny”, dan “Hari yang Mulia”.
Film “The Creator” merupakan film bergenre thriller fiksi ilmiah yang disutradarai oleh Gareth Edwards dan ditulis oleh Gareth Edwards serta Chris Weitz.
Film ini dibintangi oleh sederet aktor dan aktris Hollywood, yakni John David Washington, Gemma Chan, Ken Watanabe, Sturgill Simpson, Madeleine Yuna Voyles, Allison Janney. “The Creator” dapat disaksikan di bioskop seluruh Indonesia mulai tanggal 27 September 2023.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ketika manusia berperang dengan robot dalam film "The Creator"