Beijing (ANTARA) - Langit di kota tepi pantai Qingdao, Provinsi Shandong, China, terlihat biru terang pada suatu siang di akhir Oktober 2023.
Berpadu dengan suhu sejuk musim gugur sekitar 20 derajat Celcius pada siang hari, Qingdao menjadi lokasi yang pas untuk menghabiskan waktu khususnya di kawasan kota tua lengkap dengan berbagai bangunan bergaya Eropa karena Qingdao pernah menjadi koloni Jerman selama 16 tahun.
Namun langit biru tersebut adalah hal baru bagi kota berpenduduk sekitar 9 juta jiwa tersebut. Bila seseorang datang ke kota pelabuhan dan keuangan itu pada sekitar 2014-2015, hanya akan terlihat bangunan tinggi berselubung kabut asap tebal karena pembangunan masif menggunakan sumber energi batu bara.
Pada 2014, PM2.5 di Qingdao adalah sebesar 59 miktrogram/meter kubik (µg/m3) atau jauh di atas rata-rata batasan yang ditetapkan pemerintah China yaitu sebesar 35µg/m3 dan tentu sangat jauh di atas batasan PM2.5 yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu sebesar 5µg/m3 rata per tahun.
PM atau materi partikulat (particulate matter) adalah campuran partikel padat dan tetesan cairan yang ditemukan di udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer. Contohnya debu, kotoran, jelaga atau asap yang bila masuk ke tubuh dapat menimbulkan risiko kesehatan. Ada juga PM 10 yaitu partikel udara dengan diameter 10 mikrometer atau kurang dari itu.
Pada akhir Oktober 2023 tersebut angka PM2.5 di Qingdao sudah jauh berkurang menjadi 19µg/m3 sedangkan PM10 berada di posisi 51µg/m3.
Target Presiden Xi
Presiden China Xi Jinping melalui sambungan video dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26) pada November 2021 mengatakan bahwa China akan mengurangi secara bertahap penggunaan batu bara mulai 2026.
Target tersebut tentu cukup menantang karena total emisi karbon yang dihasilkan China 10,7 miliar ton per tahun pada 2020 atau sebagai penyumbang sepertiga dari total keseluruhan emisi karbon dunia pada tahun yang sama.
China menjadi penyumbang emisi karbon terbesar sejak 2006 yaitu 6,5 miliar ton per tahun sejak gencarnya industri manufaktur dan derap perdagangan China pada masa tersebut dengan rata-rata peningkatan laju emisi setiap tahun pada 2002-2007 dapat mencapai 13 persen.
Namun sejak 2016, dalam kebijakan Nationally Determined Contributions (NDC) yang beberapa kali diperbaharui hingga terakhir pada 28 Oktober 2021, China menargetkan emisi karbon akan terus berkurang sebesar 60-65 persen hingga target pada 2030.
Dalam NDC tersebut China juga menyebut akan mencapai puncak emisi pada 2025. Lalu, secara bertahap akan mengurangi pemakaian batubara sejak tahun 2026 dan pada 2030 China bertekad meningkatkan kapasitas listrik bersih dari tenaga matahari dan angin menjadi 1.200 gigawatt dengan target akhir adalah dekarbonisasi pada 2060.
Pada kenyataannya, berdasarkan data Badan Energi Terbarukan Internasional (International Renewable Energy Agency atau IRENA), total energi dari listrik ramah lingkungan milik China terbesar dibanding negara mana pun. Pada 2019, China menghasilkan 1,61 petawatt (1.610 triliun watt) dari teknologi hijau seperti tenaga surya, olahan organik, dan air.
Begitu juga dalam mendorong produksi kendaraan listrik, China menjadi yang pertama untuk pembeli kendaraan listrik yaitu sebesar 5,9 juta unit pada 2022 atau 59 persen dari total 10,1 juta unit kendaraan listrik di dunia sedangkan penjualan di Amerika Serikat hanya 9 persen atau 920 ribu unit.
Gas dan surya
Untuk mencapai target tersebut, sejumlah proyek menekan emisi gas buang dilakukan di Qingdao, termasuk dengan menggandeng mitra pendanaan dari luar misalnya dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank atau ADB).
Nama proyek tersebut adalah "Sistem Energi Cerdas Rendah Karbon Qindao" yang dikerjakan perusahaan negara Qingdau Energy Group dengan total dana adalah 1,68 miliar yuan (sekitar 229 juta dolar AS atau Rp3,4 triliun) dengan mendapat pinjaman dari ADB senilai 130 juta dolar AS (sekitar 930 juta yuan atau Rp2 triliun). Sisa pendanaan berasal dari dana pemerintah sendiri maupun obligasi pemerintah khusus proyek "batu bara mejadi gas alam".
Total ada 9 proyek yang menggunakan pendanaan dari ADB dengan menggunakan energi alternatif seperti dari gas alam, gas buang industri yang diolah, udara, geothermal, tenaga surya, energi panas laut serta sumber panas yang tak terpakai untuk menggantikan sistem pemanas dan pendingin di Qindao yang sebelumnya berasal dari batu bara.
Proyek-proyek tersebut mulai dikerjakan sejak April 2016 dan dijadwalkan selesai sepenuhnya pada 8 Desember 2023.
Pada masa lampau, Kota Qingdao menggunakan 44 mesin insinerator (ketel pembakaran) berbahan bakar batu bara dengan beragam kapasitas. Dari mesin-mesin itu, sebanyak 1 juta ton batu bara dibakar untuk menyuplai panas bagi sekitar 9 juta penduduk Qingdao. Saat ini, 44 ketel batu bara itu telah digantikan dengan 28 insinerator berbahan bakar gas alam.
"Qingdao adalah kota kedua setelah Beijing di wilayah Utara China ang melakukan penggantian sumber energi dari batu bara ke energi baru terbarukan dan berkat sistem cerdas, kami juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pemanas bagi publik," kata General Manager Qingdao Energy Group Xu Bin saat menerima kunjungan sejumlah wartawan termasuk ANTARA dan Tim ADB di Qingdao pada 24 Oktober 2023.
Menurut Xu Bin, tujuan utama dari proyek tersebut adalah menyediakan sistem pemanas terpusat yang seluruhnya sudah menggunakan gas alam, bukan lagi batu bara.
Sistem pemanas terpusat memang disediakan pemerintah China khususnya di provinsi-provinsi bagian utara untuk mengalirkan udara hangat ke apartemen-apartemen, gedung pemerintahan maupun perkantoran dan lokasi bisnis saat musim dingin. Sistem ini terdiri dari dua bagian yaitu rumah ketel dan pembangkit listrik tempat pembawa panas dipanaskan. Dari rumah ketel uap panas kemudian ditransfer ke konsumen untuk pemanasan ruangan menggunakan saluran pipa ukuran 1000 hingga 1400 mm yang sekaligus menjadi jalur kembalinya limbah dingin ke sumber panas.
Dengan mengganti bahan bakar pemanas dari batu bara, menurut Wakil General Manager Qingdao Energy Group Ding Ruiping mengurangi penggunaan batu bara hingga 1 juta ton dan emisi karbon dioksida berkurang hingga 850 ribu ton.
Pengurangan itu juga memperhitungkan proses distribusi batu bara ke mesin ketel juga menciptakan emisi, selain tentu proses pembakaran di ketel. Emisi pembakaran batu bara juga menghasilkan Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen oksida (NOx) dan debu lainnya.
"Tapi tidak ada SO2 yang dihasilkan di ketel gas alam dan kami juga mengurangi emisi NOx hingga 30 persen saat menggunakan gas alam, tentu kondisi tersebut seluruhnya mengurangi PM2.5," ungkap Ding Ruiping.
Selain menggunakan gas alam, pemerintah Qingdao juga menggunakan tenaga surya dengan memanfaatkan atap gedung misalnya di atap Qingdao International Conference Center (QICC) yang sejak awal dibangun pada 2017 dan selesai konstruksi pada 2018 untuk KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO) dirancang untuk hemat energi.
Pada dua "sayap" gedung dipasang panel surya dengan kapasitas produksi listrik hingga 690 KW atau senilai 760 ribu yuan (sekitar Rp1,6 miliar) untuk mengalirkan listrik ke gedung tersebut. Panel surya itu menggunakan sistem fotovoltail (PV) yang meliputi panel surya untuk menangkap dan mengubah sinar surya menjadi listrik.
Namun harus diakui, panel surya itu tidak berfungsi maksimal saat berkabut atau hujan, namun karena gedung punya dua sumber listrik yaitu listrik dari pusat dan panel surya maka QICC tetap dapat berfungsi.
"Sebaliknya juga panel surya ini dapat mengalirkan listrik ke pusat, misalnya saat pandemi sekitar 2,5 tahun gedung tidak dipakai tapi panel surya tetap bekerja dan dapat mentransfer listrik ke sistem pemanas terpusat," kata Ding.
Pejabat senior di Departemen Asia Timur ADB yang ikut melakukan supervisi terhadap proyek energi di Qingdao Lu Lanlan, mengatakan untuk mengurangi emisi CO2, Qingdao perlu secara bertahap menghentikan penggunaan ketel berbahan bakar batu bara dan jaringan pipa pemanas terpusat beralih ke sistem distribusi gas dan sumber energi terbarukan lainnya.
Lu Lanlan menyebut selama masa persiapan proyek, ADB membantu untuk memfasilitasi Qingdao Energy Group dengan "Dewan Pemanas dan Pendingin" Swedia untuk berbagi pengalaman mereka satu sama lain. Swedia adalah salah satu negara terdepan dalam teknologi pemanas dan pendingin rendah karbon dan hemat energi serta formulasi sistem kebijakan energi.
Lu Lanlan mengatakan penerapan "Sistem Energi Cerdas Rendah Karbon Qindao" yang sepenuhnya bergantung pada energi baru dan terbarukan akan menimbulkan biaya yang lebih tinggi, sehingga salah satu solusi untuk mengatasi biaya tinggi tersebut adalah dengan pembuatan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPEGRK) yang dapat diperjualbelikan di bursa karbon internasional.
Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPEGRK) adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau kegiatan yang telah melalui audit dan juga tercatat oleh badan standar.
"Jika proyek tersebut sudah mendapatkan SPEGRK maka dapat melakukan perdagangan karbon di pasar karbon dan dalam jangka panjang, ada kemungkinan untuk meningkatkan kuota melalui pasar karbon nasional," kata Lu Lanlan.
Yang jelas, langit biru dan cerah dinikmati oleh penduduk Qingdao, misalnya Han Zhe (35 tahun) yang tinggal di Distrik Shibei.
"Dulu sering ada kabut di Qingdao dan juga bila memarkir mobil, akan terlihat partikel hitam di kaca mobil yang terparkir di jalan. Partikel itu dari sisa asap batu bara. Namun sekarang hal itu sudah tidak terjadi lagi, sudah beberapa tahun ini partikel hitam tidak ada lagi karena kualitas udara meningkat sehingga langit pun lebih indah dan cerah," kata Han Zhe.
Han Zhe tinggal di Qingdao sudah sekitar 8 tahun dan bekerja sebagai teknisi AC.
Senada dengan Han Zhe, Kepala Administrasi dari perusahaan Qingdao Antan Construction and Development Yang Yin yang sudah 30 tahun tinggal di Qingdao juga mengamini perubahan udara di Qingdao.
"Kualitas udara juga meningkat dibanding dulu," ungkap Yang Yin.
Langit biru dan udara bersih adalah kebutuhan pokok masyarakat dan pemerintah wajib menyediakan hal tersebut.