"Israel melancarkan perang besar-besaran terhadap rakyat Palestina dan berusaha memaksakan solusi militer dengan melenyapkan satu bangsa," kata Mansour dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada Rabu (5/9).
Ia menyebut Israel menggunakan taktik "genosida" dan "apartheid" untuk mencapai tujuan kolonialnya.
Mansour menegaskan bahwa warga Palestina mengalami "penghinaan, pemindahan, kehancuran, kerusakan, dan kematian" dalam skala yang belum pernah terjadi sejak Nakba.
Pada Mei 1948, negara Israel didirikan di tanah Palestina yang diduduki, menggusur lebih dari 750.000 warga Palestina dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau "Bencana Besar."
Menurut Mansour, "Alih-alih mengakhiri Nakba, para pemimpin ekstremis fasis Israel memutuskan untuk mencoba membawanya ke kesimpulan akhir: Palestina tanpa warga Palestina."
Dalam serangan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sejak Oktober tahun lalu, sekitar 700 warga Palestina tewas, termasuk lebih dari 150 anak-anak, dan 6.000 lainnya terluka.
Di Jalur Gaza, hampir 41.000 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak tewas dan hampir 94.400 lainnya terluka akibat serangan sejak 7 Oktober tahun lalu.
Jalur Gaza juga terancam kehilangan satu generasi muda, setelah kelompok bantuan Inggris Save the Children mengungkapkan sebanyak 15 ribu anak Palestina tewas dan 21.000 lainnya hilang. Puluhan ribu anak yang hilang itu diyakini terjebak di bawah reruntuhan, terkubur di makam yang tak bertanda, terluka parah akibat bahan peledak, ditahan pasukan Israel, atau hilang dalam kekacauan konflik.
Blokade Israel yang terus berlangsung hingga kini juga telah mengakibatkan kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang kian memperparah kehidupan warga Palestina di Gaza.
Sejarah Nakba
Peristiwa Nakba Palestina menjadi babak kelam dalam sejarah panjang konflik antara Palestina dan Israel.
Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti "bencana," merujuk pada eksodus besar-besaran warga Palestina pada 14 Mei 1948, bersamaan dengan proklamasi berdirinya negara Israel.
Sejak awal abad ke-20, ketegangan di tanah Palestina meningkat, terutama setelah pengesahan Deklarasi Balfour pada 1917, sebuah janji oleh Inggris untuk mendukung pendirian "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina.
Imigrasi Yahudi yang meningkat memperburuk ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab Palestina. Gerakan Zionis pun semakin kuat, dan memperparah situasi.
Puncak ketegangan terjadi antara 1936--1939, dengan pecahnya pemberontakan besar Arab Palestina melawan mandat Inggris dan kolonisasi Yahudi.
Pemberontakan tersebut disertai kekerasan, dan Inggris merespons dengan tindakan represif yang mengakibatkan ribuan warga Palestina tewas, terluka, atau dipenjara.
Meskipun Inggris mengeluarkan White Paper 1939 yang membatasi imigrasi Yahudi, kebijakan tersebut ditolak oleh komunitas Yahudi yang tetap memperjuangkan negara mereka.
Pasca-Perang Dunia II, imigrasi Yahudi ke Palestina semakin meningkat, terutama setelah Holocaust. Kelompok Zionis memperkuat jaringan paramiliter mereka seperti Haganah dan Irgun sebagai persiapan untuk pembentukan negara Yahudi.
Pada 1947, Inggris kewalahan dan menyerahkan masalah Palestina kepada PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi 181. Resolusi ini membelah Palestina menjadi dua negara, memberikan 55 persen wilayah Palestina kepada Yahudi, sementara 45 persen sisanya untuk negara Arab.
Masyarakat Yahudi menerima resolusi ini, namun komunitas Arab Palestina dan negara-negara Arab menolaknya, memicu Perang Arab-Israel 1948. Perang itu mengakibatkan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah mereka, yang dikenal sebagai Nakba.
Hingga kini, jutaan pengungsi Palestina masih tersebar di wilayah seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, serta negara-negara tetangga. Isu hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina tetap menjadi salah satu isu paling mendasar dalam konflik ini.
Strategi demografi Israel
Nakba ternyata berlanjut, dan tidak hanya tragedi masa lalu, tetapi berpengaruh hingga hari ini.
Israel secara sistematis menerapkan strategi demografi yang mengubah lanskap wilayah Palestina, terutama di Yerusalem Timur dan Tepi Barat.
Metode yang digunakan meliputi pembongkaran rumah, penggusuran, perampasan tanah, dan perluasan permukiman ilegal.
Israel melalui Perang Enam Hari 1967 berhasil menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Sebelumnya, Tepi Barat berada di bawah kendali Yordania, sedangkan Jalur Gaza dan Yerusalem Timur masing-masing dikuasai Mesir dan Yordania.
Perang ini berakhir dengan gencatan senjata pada 10 Juni 1967, namun Israel memperluas kendalinya atas wilayah-wilayah strategis tersebut.
Pendudukan Israel atas wilayah Palestina terus menuai kecaman internasional. Banyak negara dan organisasi, termasuk PBB, mengecam tindakan Israel yang melanggar hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa Keempat yang melarang pemindahan penduduk negara pendudukan ke wilayah yang diduduki.
Kebijakan Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat dianggap sebagai bagian dari strategi "permainan demografi."
Israel kerap menggunakan Undang-Undang Properti Absen 1950 untuk merampas properti Palestina yang ditinggalkan pada 1948. Israel juga mempercepat pembangunan permukiman ilegal di wilayah yang direbut dari Palestina dan negara tetangga, termasuk di daerah strategis seperti Lembah Yordan.
Hingga kini, Israel masih mempertahankan pemberlakuan UU Properti Absen tahun 1950 itu untuk menguasai harta benda warga Palestina. Setidaknya 70 persen dari seluruh properti warga Palestina yang dirampas oleh Israel dilakukan melalui undang-undang tersebut.
Pengusiran dan kolonisasi di Yerusalem Timur
Di balik kekerasan di Jalur Gaza untuk menyingkirkan warga Palestina, Yerusalem Timur mengalami perubahan signifikan melalui strategi pengusiran diam-diam.
Yerusalem Timur, rumah bagi lebih dari 350.000 warga Palestina dan sekitar 230.000 pemukim Israel, dihormati oleh jutaan orang karena situs-situs suci bersejarahnya.
Yerusalem Timur telah lama menjadi inti dari perjuangan Palestina karena melihatnya sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan, sementara Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya
Emad Moussa, seorang peneliti, menyebut bahwa pengusiran diam-diam itu dilakukan dengan memanfaatkan jaringan hukum dan kebijakan yang mendukung kolonisasi Israel.
Taktik ini memungkinkan Israel menguasai lebih banyak tanah Palestina tanpa menggunakan kekerasan langsung.
Israel memperketat pembatasan bagi penduduk Palestina di Yerusalem Timur, mengisolasi wilayah tersebut dari Tepi Barat.
Menurut Tamara Tamimi, peneliti di lembaga think tank Al-Shabaka yang tinggal di Yerusalem Timur, pengusiran paksa warga Palestina meningkat drastis sejak Oktober 2023.
Situasi ini sering dimanfaatkan Israel untuk memperluas agenda kolonialnya. Langkah-langkah ini mencakup pembongkaran rumah, penggusuran, dan perluasan permukiman ilegal.
Osama Risheq, peneliti dan pengawas hukum di Universitas Al-Quds, menyatakan bahwa Israel menggunakan kebijakan hukum kompleks untuk mendukung proyek kolonialnya, memungkinkan perubahan demografi tanpa konfrontasi terbuka.
Risheq mengatakan bahwa jumlah pembongkaran baru-baru ini di Tepi Barat dan Yerusalem Timur adalah yang tertinggi dibandingkan 10 tahun terakhir.
Menurut kantor HAM PBB, antara 7 Oktober 2023 hingga 26 Agustus tahun ini, otoritas Israel "membongkar, menyita, atau memaksa pembongkaran 1.446 bangunan Palestina di seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, menggusur lebih dari 3.300 warga Palestina, termasuk sekitar 1.430 anak-anak.
Angka ini "lebih dari dua kali lipat jumlah dibandingkan dengan periode yang sama sebelum 7 Oktober," kata kantor tersebut.
Semua permukiman Israel dianggap ilegal menurut hukum internasional, namun hal tersebut tidak banyak menghentikan upaya Israel untuk memperluasnya dengan merebut lebih banyak tanah Palestina.
Israel tidak hanya mempercepat pembangunan permukiman baru di Yerusalem Timur yang diduduki, tetapi juga berusaha menciptakan realitas baru di lapangan dengan menguasai wilayah yang lebih luas di Yerusalem dan Lembah Yordan, kata Risheq.
Realitas di lapangan ini seolah semakin menegasi Nakba dan strategi demografi Israel bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan kenyataan sehari-hari yang dihadapi warga Palestina.
Di bawah pendudukan, pengusiran, dan perampasan tanah, warga Palestina terus berjuang mempertahankan eksistensi mereka. Upaya Israel untuk mengisolasi Yerusalem Timur dan memperluas permukiman ilegal menunjukkan bahwa Nakba, dalam berbagai bentuk, masih terus berlangsung.
Saat ini, dunia lebih fokus pada ketegangan di Gaza, namun permainan demografi Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat tetap menjadi masalah utama dalam konflik ini.
Pengusiran diam-diam dan kolonisasi menjadi alat bagi Israel untuk mengubah kenyataan politik dan sosial di wilayah yang diduduki.
Dengan tekanan internasional, peran komunitas global dalam mendorong solusi yang adil bagi konflik Palestina-Israel semakin penting.
Nakba bukan hanya peristiwa 1948, tetapi kenyataan yang terus memengaruhi kehidupan warga Palestina hingga saat ini. Sudah saatnya segera bisa diakhiri melalui gencatan senjata dan solusi dua negara menjadi nyata.