Pontianak (ANTARA) - Ketua LinkAr Borneo, Ahmad Syukri, menyesalkan lemahnya penegakan hukum tata kelola pertambangan dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Pontianak yang membebaskan terdakwa kasus pencurian 744.200 gram emas dan 937.700 gram perak.
"Persoalan ini telah berdampak signifikan pada masyarakat setempat dan menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Makanya kami menilai pembebasan terdakwa adalah bentuk lemahnya penegakan hukum di negara kita," kata Syukri di Pontianak, Senin.
Dia mengatakan, kasus ini memperlihatkan adanya kelemahan sistemik dalam pengelolaan tambang dan penegakan hukum yang tidak konsisten. Akibatnya, masyarakat lokal kehilangan manfaat dari sumber daya alam mereka, sementara negara menanggung kerugian besar.
Kasus ini berawal dari aktivitas pertambangan ilegal di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Lokasi tambang berada di konsesi milik PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) dan sebelumnya dikelola oleh PT Bukit Belawan Tujuh (PT BBT) melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Masalah berawal dari laporan Direktur PT BBT, Dedy Rahmat, kepada Korwas PPNS Mabes Polri dan PPNS Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang mengungkap tentang aktivitas tambang ilegal di dalam konsesi PT SRM. Menindaklanjuti laporan ini, PPNS Ditjen Minerba melakukan serangkaian pengawasan dan pemeriksaan di bawah koordinasi Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri.
Saat peninjauan di lokasi tambang PT SRM, ditemukan sejumlah alat bukti seperti mesin pemecah batu, tungku pemanas listrik, cetakan bullion, bahan kimia, dan peralatan tambang lainnya.
Modus operandi yang digunakan adalah memanfaatkan lubang tambang yang seharusnya dalam masa perawatan untuk melakukan penambangan, pengolahan dan pemurnian biji emas secara ilegal. Hasil pemurnian berupa dore atau bullion emas kemudian dibawa keluar dari lokasi tambang.
Yu Hao (49), tenaga kerja asing asal China yang bekerja di PT SRM sebagai Maintenance Reliability Specialist menjadi terdakwa utama dalam kasus ini. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ketapang menuntut Yu Hao hukuman lima tahun penjara dan denda Rp50 miliar, sesuai Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Namun, PN Ketapang memutuskan hukuman lebih ringan yakni 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp30 miliar atau subsider enam bulan kurungan. Tidak puas dengan putusan tersebut, Yu Hao mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak. Dalam putusan Nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK di mana Pengadilan Tinggi membebaskan Yu Hao dari seluruh dakwaan. Majelis hakim menyatakan bahwa Yu Hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penambangan tanpa izin.
Atas putusan Pengadilan Negeri Ketapang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak tinggal diam. Mereka telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, sebagaimana tercatat dalam akta No. 7/Akta.Pid/2025/apN-Ktp pada 17 Januari 2025.