Jakarta (ANTARA) - Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.380 pulau menurut data Badan Informasi Geospasial (2024).
Dengan bentangan wilayah yang luas dan posisi geografis yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia, negeri ini bukan hanya kaya akan keanekaragaman hayati, tetapi juga sarat dengan risiko bencana.
Ancaman seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, likuifaksi, pergerakan tanah, hingga erupsi gunung api, hampir setiap tahun menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak bisa berpura-pura bahwa bencana adalah sesuatu yang jauh, karena sejatinya bencana adalah bagian dari keseharian kita.
Kesadaran akan kerawanan ini menuntut adanya pemahaman menyeluruh dari seluruh lapisan masyarakat.
Budaya tanggap bencana harus tertanam dalam sendi kehidupan bangsa, mulai dari individu, keluarga, komunitas, hingga lembaga pemerintahan.
Pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak boleh hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus berlandaskan pada pembangunan yang tangguh bencana.
Dengan kata lain, setiap pembangunan harus diiringi dengan strategi pengurangan risiko bencana agar hasil pembangunan tidak mudah runtuh saat bencana datang.
Sayangnya, budaya tanggap bencana di Indonesia belum dipahami secara merata. Banyak masyarakat yang masih menganggap bencana sebagai kejadian luar biasa yang hanya datang sesekali, bukan sebagai bagian kehidupan yang bisa diantisipasi.
Kesadaran yang belum terbangun dengan baik ini bahkan tampak dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Padahal, pendidikan di tingkat keluarga merupakan pondasi utama.
Anak-anak yang sejak dini dibiasakan memahami apa itu bencana, bagaimana cara menyelamatkan diri, dan bagaimana bersikap ketika bencana datang, akan tumbuh menjadi generasi yang memiliki karakter tangguh bencana.
Tangguh Bencana
Budaya tangguh bencana dapat dimaknai sebagai kemampuan masyarakat untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih dari dampak bencana.
Di dalamnya tercakup penguatan peringatan dini, mitigasi, kesiapsiagaan, hingga adaptasi. Kesinambungan antar aspek tersebut yang akan membentuk perilaku proaktif dalam menghadapi ancaman bencana.
Masyarakat yang tangguh bukan hanya mampu mengurangi dampak bencana, tetapi juga cepat pulih dan bangkit untuk melanjutkan kehidupan.
Membangun budaya tangguh bencana bukanlah perkara instan. Diperlukan edukasi dan pelatihan yang berkesinambungan, mulai dari pemahaman tentang jenis bencana di sekitar, pengetahuan mengenai jalur evakuasi, penyiapan tas siaga bencana, hingga keterampilan menolong kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Kuncinya adalah menanamkan kesadaran bahwa ancaman bencana adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan kesadaran ini, masyarakat akan terdorong untuk selalu bersikap waspada, proaktif dalam mitigasi, dan siap bertindak cepat ketika bencana datang.
Jepang adalah contoh nyata negara yang berhasil membangun budaya tangguh bencana melalui pendidikan sejak usia dini.
Di Negeri Sakura, anak-anak dibiasakan menghadapi situasi darurat sejak di bangku sekolah. Salah satu contoh yang relevan adalah pendidikan kebencanaan di kota Mashiki, Kumamoto.
Wilayah ini pernah mengalami gempa bumi besar yang disusul banjir pada tahun 2008 dan 2016. Dari pengalaman pahit tersebut, pemerintah daerah, sekolah, dan keluarga kemudian berkolaborasi untuk memperkuat pendidikan kebencanaan.
Di sekolah-sekolah di Mashiki, anak-anak dilatih setiap minggu untuk menghadapi skenario bencana. Tidak hanya simulasi evakuasi, mereka juga diajak untuk terlibat secara kreatif, misalnya dengan membuat video tentang pentingnya kesadaran bencana dan saling membantu sesama.
Dalam proses tersebut, setiap anak mendapat peran. Ada yang menjadi sutradara, ada yang menjadi narator, ada yang menjadi pemain.
Pendekatan ini tidak hanya memberi pengetahuan teknis, tetapi juga menanamkan nilai kebersamaan, gotong royong, dan empati. Pendidikan yang menyentuh aspek kognitif sekaligus afektif ini terbukti melahirkan masyarakat yang lebih siap menghadapi bencana.
Pelajaran Penting
Kisah anak-anak di Mashiki memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki kerawanan bencana serupa, Indonesia juga bisa membangun pola pendidikan kebencanaan yang dimulai dari komunitas terkecil, yaitu keluarga dan sekolah.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu mendorong lahirnya kurikulum kebencanaan yang sistematis dan berkelanjutan.
Upaya ini akan membantu masyarakat mengurangi risiko korban jiwa, luka-luka, hingga kerugian ekonomi yang sangat besar.
Masyarakat di negeri ini tentu masih ingat sejumlah bencana besar yang menorehkan duka mendalam bagi bangsa, seperti tsunami Aceh 2004, gempa bumi Yogyakarta 2006, gempa Sumatera Barat 2009, erupsi Gunung Semeru di Lumajang 2021–2022, gempa bumi Cianjur 2022, hingga banjir bandang di Bali 2025.
Setiap bencana meninggalkan jejak penderitaan, sekaligus mengingatkan bahwa pengurangan risiko bencana tidak bisa ditunda. Kita harus belajar dari pengalaman tersebut agar korban tidak terus berulang di masa depan.
Dalam konteks global, kerja sama internasional juga memainkan peran penting. Kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) melalui program Disaster Risk Resilience Management System and White Paper yang berlangsung pada 8–19 September 2025 adalah langkah maju yang patut diapresiasi.
Kerja sama semacam ini bukan hanya memberikan transfer pengetahuan, tetapi juga memperkuat kapasitas kelembagaan dan tata kelola pengurangan risiko bencana di Indonesia.
Tantangannya adalah bagaimana memastikan kesinambungan program, bukan hanya berhenti sebagai proyek jangka pendek.
Ke depan, pembangunan nasional dan daerah harus selalu mengintegrasikan aspek pengurangan risiko bencana. Perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur, hingga penyusunan anggaran daerah harus mempertimbangkan potensi risiko bencana.
Tanpa itu, pembangunan hanya akan menghasilkan kerentanan baru. Pemahaman bahwa kita hidup berdampingan dengan bencana harus terus diperkuat, agar bangsa ini mampu tumbuh sebagai bangsa yang tidak hanya tangguh menghadapi bencana, tetapi juga mampu menjadikan bencana sebagai guru untuk terus berbenah.
Dengan memperkuat budaya tangguh bencana, Indonesia tidak hanya akan lebih siap menghadapi guncangan alam, tetapi juga mampu menjaga keberlanjutan pembangunan.
Inilah cara terbaik untuk melindungi generasi sekarang sekaligus generasi mendatang, agar mereka bisa hidup lebih aman, lebih sejahtera, dan lebih berdaya di negeri yang kita cintai.
*) Penulis adalah Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
