Tepatnya pada 25 Maret 2024, BPOM melalui Balai Besar POM di Semarang bersama dengan Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) melakukan operasi penertiban serentak di 3 lokasi bangunan gudang atau pabrik yang beralamat di Kawasan Industri Candi Semarang. Barang bukti yang ditemukan pada sarana-sarana tersebut, yaitu berupa produk jadi sebanyak lebih dari 1 miliar tablet; bahan baku (404 karung dan 83 drum); kemasan (45 karung, 17.478 botol, 1.192 rol aluminium foil, dan 17.195 karton); alat produksi (18 unit); serta alat transportasi berupa truk (2 unit). Total nilai ekonomi temuan tersebut mencapai Rp317 miliar.
Dari hasil uji laboratorium terhadap produk jadi dan bahan baku yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP), diketahui OOT yang positif terkandung di dalamnya adalah trihexyphenidyl, tramadol, dan dekstrometorfan. Ketiganya merupakan obat yang sering ditemui disalahgunakan di masyarakat. Peredaran OOT telah diatur secara khusus dalam Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan.
Secara paralel, BPOM juga melaksanakan pemusnahan terhadap barang bukti hasil operasi penertiban PPNS Balai Besar POM di Bandung. Di waktu yang bersamaan yaitu pada 25 Maret 2024, BPOM melalui Balai Besar POM di Bandung berhasil menertibkan temuan produksi ilegal produk OOT yang sering disalahgunakan serta mengungkap produksi dan peredaran obat bahan alam (OBA) ilegal.
Bersama dengan Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Polda Metro Jaya (Korwas Polda Metro Jaya) beserta BIN dan BAIS, Balai Besar POM di Bandung melakukan operasi penertiban produksi OOT ilegal dari 2 lokasi di Jawa Barat, yaitu di wilayah Marunda dan Cikarang. Dari dua lokasi tersebut, ditemukan produk sediaan farmasi ilegal yang mengandung OOT trihexyphenidyl, tramadol, dan dekstrometorfan. Barang bukti yang berhasil disita adalah berupa produk sediaan famasi (509 drum, 289 dus, 35 kaleng, 67.519 strip, dan 2 koli) serta kemasan dan label (1.079.160 pieces, 49 dus, 38 koli, dan 24 rol) dengan estimasi nilai ekonomi temuan sebesar Rp81 miliar.
Di tempat berbeda pada 25 Maret 2024, Balai Besar POM di Bandung bersama petugas Polda Metro Jaya mengungkap aktivitas produksi OBA ilegal dari sebuah bangunan di komplek pergudangan di wilayah Cikarang-Kabupaten Bekasi. Dari lokasi tersebut, petugas mengamankan 22 item barang bukti berupa 27 dus produk jadi, 6 bal plastik, 1 bal plastik kapsul, 106 rol kemasan, dan 44 plastik. Estimasi nilai ekonomi temuan OBA ilegal ini sekitar Rp1,066 miliar.
Produk OBA ilegal yang disita merupakan produk tanpa izin edar (TIE) dan yang mengandung bahan kimia obat (BKO) dengan merek Laba-Laba dan Cobra-X. Dari hasil pengujian yang dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar POM di Bandung, ditemukan bahwa produk Laba-laba mengandung BKO natrium diklofenak, sementara produk Cobra-X mengandung BKO klorfeniramin maleat (CTM).
Temuan-temuan ini merupakan hasil pengembangan yang dilakukan oleh BPOM berkolaborasi dengan Kepolisian, BIN, dan BAIS atas informasi yang kami terima bahwa ada aktivitas produksi dan peredaran produk OOT yang sering disalahgunakan dan OBA ilegal di Semarang dan Bandung. Hasilnya adalah temuan berbagai macam barang bukti di Semarang dengan total nilai ekonomi mencapai Rp317 miliar. Kemudian untuk temuan di Bandung, nilai ekonomi temuan barang bukti OOT yang disalahgunakan mencapai Rp81 miliar, sementara temuan barang bukti OBA ilegal ditaksir lebih dari Rp1 miliar, urai Taruna Ikrar dalam penjelasannya kepada pers.