Depok, 20/4 (ANTARA) - Pemerintah terus mematangkan rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi mobil pribadi, yang akan mulai direalisasikan awal Mei 2012 dan diterapkan berdasarkan kapasitas silinder mesin mobil.

Ada tiga opsi batas kapasitas mesin mobil yang kelak tak boleh memakai BBM bersubsidi, yakni mobil di atas 1.300 CC, di atas 1.500 CC, atau mobil berkapasitas mesin di atas 2.000 CC.

Namun, hingga saat ini pemerintah belum menentukan berapa kapasitas mesin (CC) mobil yang dilarang untuk mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ini karena pemerintah takut dianggap pilih kasih hanya berpihak kepada salah satu industri otomotif saja.

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng menyebutkan, "Pemerintah dan kami juga harus hati-hati (tentukan CC mobil yang dilarang membeli BBM bersubsidi)."
      
Kehati-hatian membatasi kelas mobil yang mengonsumsi BBM bersubsidi dimaksudkan agar tidak ada prasangka bahwa pemerintah memihak salah satu industri otomotif tertentu. "Biasalah dalam dunia bisnis, suka ada suuzon."      
      
Konon, mekanisme pembatasannya akan dilakukan dengan pemasangan stiker elektronik pada kendaraan pribadi yang boleh memakai BBM bersubsidi. Tujuannya, agar tak timbul kericuhan di stasiun pengisian bahan bakar umum dan kebingungan di kalangan petugas SPBU.

Jika dengan stiker, maka mobil-mobil di bawah 1.300 CC atau 1.500 CC mendapatkan stiker. Tetapi, mobil yang tidak boleh membeli BBM bersubsidi tidak akan mendapatkan stiker. "Jika layout, jalur-jalur distribusi BBM subsidi dan non-subsidi sudah baik, maka  antrean panjang akan dapat dihindari," katanya.

Pilihan lainnya adalah dengan memakai kartu pintar alias smart card. Opsi-opsi pembatasan BBM bersubsidi ini sebetulnya sudah pernah bergulir sejak 2008 silam. Toh, kemudian rencana itu padam dan belakangan dilirik lagi oleh pemerintah.

Namun, Ibrahim Hasyim, anggota Komite BPH Migas lebih memilih penggunaan stiker elektronik ketimbang kartu pintar sebagai instrumen untuk pembatasan BBM bersubsidi. Sebab, kartu pintar merupakan instrumen berbasis teknologi informasi (IT) sehingga butuh waktu lama untuk mewujudkannya.

"Pengadaan teknologi itu harus melalui lelang yang membutuhkan waktu paling cepat enam bulan. Jika menggunakan stiker elektronik bisa dijalankan sesegera mungkin. Secara teknis, penggunaan stiker pun relatif mudah karena tinggal meminta data kendaraan pribadi kepada pihak kepolisian," ujarnya.

BPH Migas sendiri menurut dia, sudah pernah membahas soal data kendaraan tersebut dengan pihak Kepolisian. "Jadi teknisnya, mobil pribadi yang nanti tetap boleh menikmati BBM subsidi akan dipasangi stiker. Tapi itu tergantung pemerintah. Kami menunggu saja."
     
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik pembatasan BBM bersubsidi ini mendesak untuk menjaga kuota BBM bersubsidi tahun ini tetap 40 juta kiloliter (kl). Prediksi pemerintah, tanpa ada pembatasan BBM, konsumsi BBM subsidi tahun ini bisa mencapai 47 juta kl.

Pembatasan ini juga dilakukan agar dana subsidi BBM tak dinikmati oleh orang kaya. "Selama ini sekitar 70 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas," kata Menteri ESDM.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa juga menyebutkan, pengendalian BBM bersubsidi harus dilakukan untuk menjaga kuota volume pada kisaran 40 juta kl. "Kita ingin kuota itu tetap, kalau tidak akan terjadi over kira-kira 7 sampai 10 persen," katanya.

Hatta berpendapat, bila pemerintah tidak melakukan penghematan dan tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sementara rata-rata harga minyak dunia 119 dolar AS, maka anggaran subsidi energi akan meningkat hingga Rp300 triliun.

Dia menambahkan, jika terjadi peningkatan kuota volume BBM bersubsidi hingga 3 juta-4 juta kl, maka anggaran dapat terdorong hingga Rp20 triliun. "Kita akan menekan agar tidak terjadi over dari angka tersebut," katanya.

    
Siapkan Rp400 miliar

Namun, rencana pemerintah untuk memberlakukan pembatasan BBM bersubsidi itu itu pada Mei mendatang tampaknya masih ada kendala mengingat infrastruktur pendukung masih belum siap 100 persen.

Menurut Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Bumi (Hiswana Migas) Ery Purnomahadi, baru sekitar 70 persen SPBU di Jawa-Bali yang siap melaksanakan program pemerintah itu. Di Jabodetabek sudah sekitar 85 persen SPBU yang siap. Selebihnya masih belum siap karena belum memiliki tangki pendam maupun dispenser Pertamax.

Kesiapan petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) juga masih menjadi kendala.

"Perlu ada pelatihan bagi petugas operasional SPBU, sebab, bukan tidak mungkin terjadi perdebatan di SPBU antara pengendara dengan pegawai SPBU. Ada sekitar 120.000 petugas operasional yang harus di-training dan itu butuh waktu minimal sekitar tiga bulan," kata Ery.

Larangan konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan jenis CC tertentu juga dinilai Muhammad Iswahyudi, Sales Representatif Pertamina Wilayah VII Makassar akan membingungkan pekerja lapangan di SPBU. "Bagaimana petugas SPBU bisa melihat dengan cepat jenis CC kendaraan yang akan diisi bahan bakar "Penandanya apa?"

Menurut Iswahyudi, aturan itu harus disertai dengan mekanisme yang jelas. Misalnya penggunaan kartu kendali dengan sistem elektronik, atau e-BBM. Karena kartu itu dapat berfungsi secara otomatis dan terintegrasi ke seluruh SPBU. "Meski pengadaan kartu ini akan membutuhkan anggaran besar,  tapi akan lebih efektif daripada stiker."      
      
Sebelum pembatasan BBM bersubsidi diberlakukan, pemerintah diminta mempersiapkan secara matang rencana itu baik dari sisi landasan hukum maupun operasionalisasinya. Tujuannya, agar rencana tersebut bisa terealisasi dan tidak dimentahkan lagi.

Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto berpendapat, "Pemerintah sudah untuk kesekian kalinya merencanakan pembatasan, dan selalu tidak jadi diimplementasikan. Karena itu, kali ini segala sesuatunya harus benar-benar dipersiapkan dengan matang supaya tidak hanya sebatas wacana saja."
      
Persiapan itu menurut dia meliputi payung hukum, argumentasi, kajian dampak ekonomi sosial politiknya, teknis operasionalisasi di lapangan dan sosialisasi.

Sementara itu Dirjen Migas Evita Hernawati Legowo mengatakan, pemerintah siap mengucurkan Rp400 miliar kepada BPH Migas untuk menyiapkan dan melaksanakan pengawasan terhadap pembatasan konsumsi BBM bersubsidi mobil CC tertentu.

"Kami alokasikan dana itu untuk pengawasan dan menyiapkan infrastruktur untuk adaptasi pembatasan BBM bagi kendaraan pribadi atau masyarakat umum," ujarnya sambil menambahkan bahwa dana itu berasal dari diversifikasi BBM ke bahan bakar gas (BBG) yang dialokasikan Rp964 miliar.

Dia juga menyebutkan, Mei nanti aturan pembatasan BBM bersubsidi sudah berjalan. "Tapi Perpresnya nanti untuk kami (pemerintah) dulu, seperti kendaraan BUMN, BUMD dan lainnya. Targetnya 10 ribu kendaraan. Sedangkan untuk masyarakat umum akan dikasih waktu 60 hari sejak Perpres turun.¿

Pembatasan BBM tersebut nantinya akan diberlakukan untuk wilayah Jabodetabek dahulu, katanya, kemudian berlanjut ke wilayah Jawa-Bali, lalu ke daerah-daerah lain yang ada pertamaxnya. "Tetapi ini belum selesai kami bahas."
      
Namun demikian, Pertamina mengaku sudah siap melakukan pembatasan BBM bersubsidi  bagi kendaraan pemerintah di Jabodetabek. "Untuk pembatasan kendaraan pribadi, kami serahkan ke BPH Migas," katanya.

Rencana pemerintah untuk menerapkan pembatasan BBM bersubsidi sudah beberapa kali diulur-ulur dan menurut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kali ini pemerintah harus berani melakukannya. "Jangan sampai mundur sebelum pelaksanaan," katanya.

Mungkin ada juga benarnya apa yang dikatakan Kalla, dalam negara itu yang penting rencana dilaksanakan, bukan diwacanakan.     

"Laksanakan sajalah, nanti kemudian di dalam prosesnya, kekurangan-kekurangannya diperbaiki," katanya.  

 

Pewarta: Illa Kartila

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012