Panas terik dan berdebu, melintasi unduk-undukan jalan perbukitan di areal perkebunan kelapa sawit satu jam lamanya, untuk menemui seorang guru dari perbatasan Indonesia - Malaysia di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang.
Namanya Susana (45), sejak 2003 menjadi guru di Sekolah Dasar Negeri 05 Saparan, Desa Kumba, Kecamatan Jagoi Babang. Sekolah ini ada di batas negara Indonesia - Malaysia.
Susana lahir di Jagoi Kindau pada 20 Mei 1967. Desa itu masih berada di wilayah Jagoi Babang, sekitar satu jam 45 menit dari sekolah tempatnya mengajar. Dia lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Namun ketika lulus sekolah ia tak langsung menjadi guru.
Dia sempat bekerja di pastoran selama lima tahun, kemudian menjadi pembantu rumah tangga di negeri jiran, Malaysia Timur selama tujuh tahun. Gajinya sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) cukup lumayan. Dia dibayar 500 ringgit Malaysia per bulan. Ketika itu 1 ringgit sama dengan Rp2.700, atau sekitar Rp1.350.000.
Perlu waktu 10 tahun baginya untuk memutuskan menjadi guru.
Ketika masih sebagai TKI, dia terus berpikir, apakah hidupnya akan dihabiskan hanya sebagai TKI dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Atau kembali ke Indonesia dan mengabdi untuk anak bangsa.
Pertanyaan itu baru terjawab pada tahun 2002. Ini kesempatan terakhir baginya untuk melamar sebagai seorang guru. Maka sejak 2003, ia menjadi guru sekolah dasar negeri di desa Kumba. Salah satu desa di perbatasan Indonesia ¿ Malaysia di Jagoi Babang. Lokasinya cukup jauh dari tempat kelahiran warga suku Dayak Bidayuh itu.
Sementara jarak tempuh Jagoi Babang ke batas negara sekitar dua kilometer. Sedangkan dari Jagoi Babang ke distrik terdekat dengan Indonesia yakni Serikin sekitar empat kilometer. Dari Seluas ke Jagoi Babang 16 kilometer.
Untuk sampai ke desa tersebut, jalur yang ditempuh justru lebih dekat kalau lewat Seluas, ibu kota kecamatan Seluas. Jalurnya bisa lewat air, memakan waktu sekitar 45 menit dengan menumpang perahu motor. Namun jika air sedang surut karena kemarau, perjalanan akan memakan waktu cukup lama, karena sungai Kumba dangkal dan banyak ditemui jeram atau riam.
Penduduk akhirnya memiliki alternatif lain. Yakni melewati jalan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perjalanan sekitar satu jam mengendarai motor dari Seluas. Risikonya, kita akan melintasi perbukitan kecil dengan unduk-undukan dan kondisi jalan mulai dari aspal kasar hingga hamparan tanah merah berdebu dan deretan papan yang disusun memanjang.
"Kalau lewat jalan darat, ketika hujan papan akan licin dan kita harus menunggu bantuan orang yang melintas membawa motor kita," kata Susana.
Susana mengajar untuk kelas 3, 4 dan 5. Kelas tersebut menempati bangunan baru yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari bangunan sekolah lama dan perkampungan warga Kumba.
Sejak Februari lalu, sebagian dari 102 murid SDN 05 Saparan pindah ke sekolah baru tersebut. Alasannya, karena bangunan lama sering terkena banjir. Banjir umumnya terjadi sebelum sekolah mulai, atau menjelang pergantian semester. Kalau hujan turun selama tiga hari, maka dipastikan desa Kumba terkena banjir dari luapan air sungai Kumba.
Kalau sudah banjir, maka murid kelas 1 dan 2 biasanya tidak sekolah. Sementara murid kelas 3 hingga 6 tetap ke sekolah dengan menumpang perahu. Banjir selalu terjadi dua kali dalam setahun. Biasanya banjir terjadi pada bulan November, Desember hingga Januari.
Jika sekolah lain mulai belajar pada bulan Januari, maka murid SDN 05 Saparan baru akan belajar pada satu bulan setelahnya.
Karena sering ketinggalan pelajaran tersebut, maka guru SD tersebut menyiapkan pelajaran tambahan dan mengadakan les.
Menurut Susana, kalau banjir, tinggi permukaan air bisa mencapai kepala orang dewasa.
"Pengalaman saat banjir, mau ambil gaji di Seluas, banjirnya setinggi kepala. Jadi berenang sambil membawa tas," katanya, dan pengalaman itu dialaminya hingga enam kali.
Saat ini kondisinya sudah mulai baik karena sejak Februari, murid kelas 4 hingga 6 menempati bangunan baru. Sementara murid kelas 1 hingga 3 masih berada di sekolah lama. Meski akibatnya, guru mata pelajaran harus berpindah tempat mengajar. Sebanyak delapan guru yang empat di antaranya berstatus honorer, secara bergantian pindah mengajar di dua sekolah itu, termasuk Susana.
Selain itu, para guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tinggal di rumah dinas yang berada di lingkungan sekolah lama. Susana mendiami salah satu rumah berdinding papan tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Namanya Susana (45), sejak 2003 menjadi guru di Sekolah Dasar Negeri 05 Saparan, Desa Kumba, Kecamatan Jagoi Babang. Sekolah ini ada di batas negara Indonesia - Malaysia.
Susana lahir di Jagoi Kindau pada 20 Mei 1967. Desa itu masih berada di wilayah Jagoi Babang, sekitar satu jam 45 menit dari sekolah tempatnya mengajar. Dia lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Namun ketika lulus sekolah ia tak langsung menjadi guru.
Dia sempat bekerja di pastoran selama lima tahun, kemudian menjadi pembantu rumah tangga di negeri jiran, Malaysia Timur selama tujuh tahun. Gajinya sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) cukup lumayan. Dia dibayar 500 ringgit Malaysia per bulan. Ketika itu 1 ringgit sama dengan Rp2.700, atau sekitar Rp1.350.000.
Perlu waktu 10 tahun baginya untuk memutuskan menjadi guru.
Ketika masih sebagai TKI, dia terus berpikir, apakah hidupnya akan dihabiskan hanya sebagai TKI dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Atau kembali ke Indonesia dan mengabdi untuk anak bangsa.
Pertanyaan itu baru terjawab pada tahun 2002. Ini kesempatan terakhir baginya untuk melamar sebagai seorang guru. Maka sejak 2003, ia menjadi guru sekolah dasar negeri di desa Kumba. Salah satu desa di perbatasan Indonesia ¿ Malaysia di Jagoi Babang. Lokasinya cukup jauh dari tempat kelahiran warga suku Dayak Bidayuh itu.
Sementara jarak tempuh Jagoi Babang ke batas negara sekitar dua kilometer. Sedangkan dari Jagoi Babang ke distrik terdekat dengan Indonesia yakni Serikin sekitar empat kilometer. Dari Seluas ke Jagoi Babang 16 kilometer.
Untuk sampai ke desa tersebut, jalur yang ditempuh justru lebih dekat kalau lewat Seluas, ibu kota kecamatan Seluas. Jalurnya bisa lewat air, memakan waktu sekitar 45 menit dengan menumpang perahu motor. Namun jika air sedang surut karena kemarau, perjalanan akan memakan waktu cukup lama, karena sungai Kumba dangkal dan banyak ditemui jeram atau riam.
Penduduk akhirnya memiliki alternatif lain. Yakni melewati jalan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perjalanan sekitar satu jam mengendarai motor dari Seluas. Risikonya, kita akan melintasi perbukitan kecil dengan unduk-undukan dan kondisi jalan mulai dari aspal kasar hingga hamparan tanah merah berdebu dan deretan papan yang disusun memanjang.
"Kalau lewat jalan darat, ketika hujan papan akan licin dan kita harus menunggu bantuan orang yang melintas membawa motor kita," kata Susana.
Susana mengajar untuk kelas 3, 4 dan 5. Kelas tersebut menempati bangunan baru yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari bangunan sekolah lama dan perkampungan warga Kumba.
Sejak Februari lalu, sebagian dari 102 murid SDN 05 Saparan pindah ke sekolah baru tersebut. Alasannya, karena bangunan lama sering terkena banjir. Banjir umumnya terjadi sebelum sekolah mulai, atau menjelang pergantian semester. Kalau hujan turun selama tiga hari, maka dipastikan desa Kumba terkena banjir dari luapan air sungai Kumba.
Kalau sudah banjir, maka murid kelas 1 dan 2 biasanya tidak sekolah. Sementara murid kelas 3 hingga 6 tetap ke sekolah dengan menumpang perahu. Banjir selalu terjadi dua kali dalam setahun. Biasanya banjir terjadi pada bulan November, Desember hingga Januari.
Jika sekolah lain mulai belajar pada bulan Januari, maka murid SDN 05 Saparan baru akan belajar pada satu bulan setelahnya.
Karena sering ketinggalan pelajaran tersebut, maka guru SD tersebut menyiapkan pelajaran tambahan dan mengadakan les.
Menurut Susana, kalau banjir, tinggi permukaan air bisa mencapai kepala orang dewasa.
"Pengalaman saat banjir, mau ambil gaji di Seluas, banjirnya setinggi kepala. Jadi berenang sambil membawa tas," katanya, dan pengalaman itu dialaminya hingga enam kali.
Saat ini kondisinya sudah mulai baik karena sejak Februari, murid kelas 4 hingga 6 menempati bangunan baru. Sementara murid kelas 1 hingga 3 masih berada di sekolah lama. Meski akibatnya, guru mata pelajaran harus berpindah tempat mengajar. Sebanyak delapan guru yang empat di antaranya berstatus honorer, secara bergantian pindah mengajar di dua sekolah itu, termasuk Susana.
Selain itu, para guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tinggal di rumah dinas yang berada di lingkungan sekolah lama. Susana mendiami salah satu rumah berdinding papan tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012