Pontianak (ANTARA Kalbar) - Keluarga mantan pimpinan DPRD Kabupaten Sambas, periode 2009-2014, Senin, mendatangi Kantor Perwakilan Komnas HAM Kalimantan Barat, guna melaporkan penahanan tiga orang mantan pimpinan DPRD kabupaten itu terkait korupsi APBD 2001-2002 yang dinilai melanggar HAM.
"Kami datang kesini guna melaporkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kejari dan Kepolisian Resor Sambas terhadap penahanan bapak saya, Uray Barudin Idris, Uray Darmansyah, dan Edi Lie Karim mantan Pimpinan DPRD Sambas," kata Uray Guntur Saputra, putra Uray Barudi Idris di Pontianak.
Kedatangan keluarga korban tersebut hanya diterima oleh Sekretaris Perwakilan Komnas HAM Kalbar.
Ketiga mantan pimpinan DPRD Sambas periode 2009-2014 telah diputus bersalah dalam kasus penyimpangan dana APBD Sambas pos anggaran 2001-2002. MA menjatuhkan vonis hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta pada Februari 2009.
Sebelumnya, Kejari Sambas dan beberapa anggota Kepolisian Resor Sambas melakukan eksekusi terhadap ketiga terpidana korupsi APBD Sambas tahun 2001-2002, pada Senin (4/6).
Uray Guntur menjelaskan, putusan Kejari Sambas untuk menahan tiga mantan pimpinan DPRD Sambas dinilai cacat hukum karena dasar pertimbangan MA mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 32/2004 atau berlaku secara surut.
"Padahal menurut UU melarang suatu UU berlaku surut. Apalagi APBD tahun 2001-2002 sebesar Rp6,7 miliar itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pembayaran gaji PNS dan tidak benar hanya dinikmati anggota dewan semasa itu," ujarnya.
Apalagi menurut, dia dalam kasus itu, pihak terpidana (keluarga) sedang melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada MA Maret 2010 yang hingga kini belum ada putusannya.
"Seharusnya Kejari Sambas baru akan melakukan eksekusi setelah ada putusan MA, apakah vonis tersebut tetap dilaksanakan atau tidak," katanya.
Hal senada juga diakui oleh Ketua Konsilidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (Komando) Piji. "Kami sudah melakukan kajian sebanyak empat kali dalam kasus ini, dan hasilnya tidak ditemukan kerugian negara dan pemberlakuan UU juga tidak boleh berlaku surut.
"Apalagi dalam kasus tersebut pada seluruh Indonesia akhirnya divonis bebas, tetapi kenapa kasus mantan pimpinan DPRD Sambas divonis bersalah, apakah kinerja aparat penegak hukum seperti Kejari harus tunduk pada desakan sejumlah masyarakat dan LSM," ujarnya.
Ia mendesak, Kejari Sambas membebaskan ketiga mantan pimpinan DPRD Sambas tersebut, karena dinilai cacat hukum.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar Jasman Panjaitan menyatakan, eksekusi tersebut dilakukan murni kepentingan hukum dan sebagai langkah kejaksaan dalam menuntaskan kasus tindak pidana korupsi di Kalbar.
"Kami tidak punya maksud lain, tetapi melaksanakan putusan MA, demi kepastian hukum, dan tidak ada kepentingan pribadi," ujarnya.
(A057)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Kami datang kesini guna melaporkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kejari dan Kepolisian Resor Sambas terhadap penahanan bapak saya, Uray Barudin Idris, Uray Darmansyah, dan Edi Lie Karim mantan Pimpinan DPRD Sambas," kata Uray Guntur Saputra, putra Uray Barudi Idris di Pontianak.
Kedatangan keluarga korban tersebut hanya diterima oleh Sekretaris Perwakilan Komnas HAM Kalbar.
Ketiga mantan pimpinan DPRD Sambas periode 2009-2014 telah diputus bersalah dalam kasus penyimpangan dana APBD Sambas pos anggaran 2001-2002. MA menjatuhkan vonis hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta pada Februari 2009.
Sebelumnya, Kejari Sambas dan beberapa anggota Kepolisian Resor Sambas melakukan eksekusi terhadap ketiga terpidana korupsi APBD Sambas tahun 2001-2002, pada Senin (4/6).
Uray Guntur menjelaskan, putusan Kejari Sambas untuk menahan tiga mantan pimpinan DPRD Sambas dinilai cacat hukum karena dasar pertimbangan MA mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 32/2004 atau berlaku secara surut.
"Padahal menurut UU melarang suatu UU berlaku surut. Apalagi APBD tahun 2001-2002 sebesar Rp6,7 miliar itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pembayaran gaji PNS dan tidak benar hanya dinikmati anggota dewan semasa itu," ujarnya.
Apalagi menurut, dia dalam kasus itu, pihak terpidana (keluarga) sedang melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada MA Maret 2010 yang hingga kini belum ada putusannya.
"Seharusnya Kejari Sambas baru akan melakukan eksekusi setelah ada putusan MA, apakah vonis tersebut tetap dilaksanakan atau tidak," katanya.
Hal senada juga diakui oleh Ketua Konsilidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (Komando) Piji. "Kami sudah melakukan kajian sebanyak empat kali dalam kasus ini, dan hasilnya tidak ditemukan kerugian negara dan pemberlakuan UU juga tidak boleh berlaku surut.
"Apalagi dalam kasus tersebut pada seluruh Indonesia akhirnya divonis bebas, tetapi kenapa kasus mantan pimpinan DPRD Sambas divonis bersalah, apakah kinerja aparat penegak hukum seperti Kejari harus tunduk pada desakan sejumlah masyarakat dan LSM," ujarnya.
Ia mendesak, Kejari Sambas membebaskan ketiga mantan pimpinan DPRD Sambas tersebut, karena dinilai cacat hukum.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar Jasman Panjaitan menyatakan, eksekusi tersebut dilakukan murni kepentingan hukum dan sebagai langkah kejaksaan dalam menuntaskan kasus tindak pidana korupsi di Kalbar.
"Kami tidak punya maksud lain, tetapi melaksanakan putusan MA, demi kepastian hukum, dan tidak ada kepentingan pribadi," ujarnya.
(A057)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012