Surabaya (ANTARA Kalbar) - "Syiah jangan membenci pecinta Abubakar Assiddiq dan sebaliknya non-Syiah juga jangan membenci pecinta Ali bin Abi Thalib, karena Nabi Muhammad SAW menggandeng keduanya untuk sama-sama masuk ke surga".

Ucapan itu diungkapkan ulama Baghdad Maulana Syech Afifuddin Abdul Qodir bin Mansyuruddin Aljailani Albaghdadi dalam silaturrahmi dan pengajian Hari Lahir ke-89 Nahdlatul Ulama (NU) di Gedung PWNU Jatim di Surabaya, 19 Juni 2012.

"Karena itu, kelompok Syiah dan non-Syiah hendaknya saling menebarkan cinta di antara mereka, karena Islam itu menyebarkan cinta, bukan kebencian," kata generasi ke-19 dari mursyid tarekat Qodiriyah, Syech Abdul Qodir Aljailani itu.

Hal itu menjawab pertanyaan seorang pengurus NU tentang Syiah yang menjadi "gunung es" di kalangan masyarakat, di antaranya Sampang, Bondowoso, Jember, Nganjuk, dan sebagainya, hingga "meledak" dalam konflik di Sampang pada 29-30 Desember 2011.

Agaknya, "gunung es" itu masih belum "mencair", terbukti konflik harus terulang di Sampang pada 26 Agustus 2012 dengan menewaskan seorang penganut Syiah di Sampang, yakni Muhammad Husin alias P. Hamamah (50), serta melukai penganut Syiah, Thohir (45), hingga dirawat di RSU Sampang karena kritis.

Selain menyerang dan melukai warga, kelompok penyerang juga membakar 37 rumah pengikut Syiah di dua desa, yaitu Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang, Madura.

Padahal, kata Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof Nanat Fatah Natsir, hubungan kelompok Islam Sunni dan Syiah di tingkat internasional saat ini sudah "mencair" dan semakin membaik.

"Hubungan Sunni-Syiah internasional sudah 'mencair'. Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir juga sudah mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam, karena itu saya yakin konflik di Sampang itu bukan konflik agama atau kepercayaan, tapi ada faktor lain," katanya di Jakarta (28/8).

Apa faktor lain itu ?! Agaknya, ada dua versi tentang faktor penyebab konflik Syiah di Sampang itu, namun kedua versi itu tidak bersinggungan langsung dengan substansi perbedaan Sunni-Syiah itu sendiri.

Versi pertama adalah konflik di Sampang itu merupakan konflik dari dua orang kakak-beradik, yakni Rois Alhukama dan Ustaz Tajul Muluk, yang kebetulan berbeda paham, namun keduanya melibatkan massa.

Ada yang bilang motifnya asmara, tapi motif paling kuat justru perbedaan paham itu. Awalnya, Rois dan Tajul Muluk sesungguhnya berasal dari keluarga Sunni, lalu keduanya beralih ke Syiah, tapi Rois akhirnya kembali ke Sunni.

Warga setempat tidak suka dengan Syiah, tapi Rois sering memosisikan diri sebagai pembela kakaknya terhadap warga dan sekaligus pengingat kakaknya tentang ketidaksukaan warga.

Versi kedua adalah munculnya provokasi kepada warga Sampang bahwa Syiah itu sesat, namun provokasi itu membonceng perbedaan paham antara Rois Alhukama dan Ustaz Tajul Muluk, karena warga setempat sejak awal memang tidak suka dengan Syiah, sehingga Rois dan Tajul pun "terbakar".

Manakah versi yang benar ?! Agaknya, faktor mana yang benar itu tidak terlalu penting, karena ada satu jawaban yang dapat menyelesaikan kedua faktor itu sekaligus, yakni jawaban dari pertanyaan, benarkah Syiah itu sesat?

Jawaban atas pertanyaan itu akan menjawab ketidaksukaan warga setempat terhadap Syiah dan juga menjawab provokasi yang melanda warga setempat, sekaligus menyelesaikan "gunung es" persoalan masyarakat dengan Syiah di berbagai daerah di Indonesia.

    
                                          Syiah Sesat?.

Provokasi yang sempat berkembang tentang ajaran Ustaz Tajul Muluk antara lain Ustaz Tajul Muluk menyebut Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sebagai "perampok" posisi Sayidina Ali bin Abi Thalib yang seharusnya menjadi khalifah pasca-kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, Ustaz Tajul Muluk juga memiliki Al Quran dan Hadits sendiri, karena Syiah memang memiliki tafsir Al Quran sendiri dan Hadits sendiri yakni Al-Kafi yang merupakan hadits yang tidak mengakui Hadits Bukhari-Muslim, kecuali diriwiyatkan Ahlul Bait (keturunan Ali).

Kakak dari Rois Alhukama (tersangka konflik pada 26 Agustus 2012) itu juga disebut-sebut tidak mengakui imam di luar keturunan Sahabat Ali, sehingga dia juga tidak menerima kepemimpinan presiden, gubernur, bupati/wali kota, camat, dan seterusnya.

Apakah betul Syiah seperti itu ?! Ketua PP Muhammadiyah Prof H Syafiq A Mughni MA PhD berpendapat masalah Syiah dalam Islam sebenarnya hanya berbeda dalam persoalan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

"Dari sudut ajaran Islam, saya memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam Islam. Itu biasa dalam Islam dan justru harus menjadi alasan untuk saling menghormati dan menghargai sesama Islam," katanya kepada ANTARA di Surabaya (29/8).

Menurut mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu, hal yang tidak bisa disepakati terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau perbedaan politik terkait kekhalifahan pasca-Nabi Muhammad SAW.

"Perbedaan dengan Syiah dalam politik (kepemimpinan) itu memang berdampak pada beberapa amaliah keagamaan. Dalam amaliah keagamaan, Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu," kata Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.

Hal itu dibenarkan A'wan PCNU Kota Surabaya DR KH Imam Ghazali Said MA yang sempat studi di Mesir. Ia menyatakan perbedaan Syiah dengan Sunni adalah Syiah menganggap Abu Bakar, Umar, dan Usman merupakan sahabat nabi yang zalim, sedangkan Sunni mengakui empat sahabat nabi yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.

"Al Quran dan hadits yang dipakai Syiah juga sama dengan Sunni, tapi Syiah mempercayai Al Quran yang ada di tangan Ali bin Abi Thalib atau Al Quran dengan tafsir versi Ali. Yang jelas, tafsir Al Quran memang banyak, tapi Al Quran-nya tetap satu. Soal hadits juga sama, karena mereka hanya menerima sesuatu dari Ahlul Bait, bukan dari lainnya," katanya.

Oleh karena itu, ia mengaku sependapat dengan Abu Zahrah yang menulis buku "Sejarah Mazhab dalam Islam" bahwa "stempel" sesat untuk kelompok tertentu dalam Islam itu sifatnya "internal" Islam, karena mazhab dalam Islam memang banyak, sedangkan secara eksternal haruslah dinyatakan sebagai sesama Islam.

"Untuk menyikapi perbedaan internal itu, maka cara yang tepat adalah dakwah yang sifatnya kompetitif antarkelompok dalam Islam. Kalau ada kelompok yang kalah dalam merebut hati masyarakat yang menjadi objek dakwah, maka jangan lantas menuduh kelompok lain sebagai sesat, karena sama-sama Islam-nya tapi hanya berbeda mazhab," katanya.

Namun, pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya itu menilai "cinta" orang-orang Syiah kepada Sahabat Ali itu memang menyebabkan sebagian amaliah keagamaan yang dilakukan Syiah terkesan "aneh" dalam pandangan non-Syiah, yakni shalat, maulid, taqiyah, dan mut'ah.

"Kalau shalat, penganut Syiah selalu meletakkan tanah atau batu dari Padang Karbala di dekatnya untuk menunjukkan kecintaan kepada Ali dan keturunannya, tapi mereka sama dengan kita bahwa shalat itu wajib," katanya.

Bahkan, penganut Syiah juga menggelar maulid, tapi maulid yang dilakukan bukan untuk nabi (maulid nabi), melainkan maulid untuk Ahlul Bait (Sahabat Ali dan keturunannya). "Mereka juga melakukan 'taqiyah' atau menyembunyikan diri sebagai penganut Syiah dalam situasi minoritas, bahkan mereka bisa mengaku Sunni, padahal Syiah. Itu strategi," katanya.

Jadi, Syiah, Sunni, dan sebagainya adalah bagian dari 73 golongan dalam Islam yang pernah diprediksi Nabi Muhammad SAW. Mereka tetap menjalankan shalat, haji, dan sebagainya, kendati secara teknis bisa sangat berbeda, tapi terlalu berlebihan bila dibilang sesat, karena nabi menggandeng Abu Bakar dan Ali untuk masuk surga.

(E011)

Pewarta: Edy M Ya'kub

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012