Jakarta (ANTARA Kalbar) - Pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini Ph D mengingatkan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat dan cepat terkait bonus demografi yang akan diperoleh Indonesia pada kurun 2020 - 2030.

"Tetapi bonus demografi itu baru potensi, Indonesia akan memiliki usia kerja produktif yang sangat besar," kata Hendri Saparini disela pelatihan jurnalis dan kehumasan di Jakarta, Kamis.

Saat ini, berdasarkan struktur penduduk Indonesia, dari 240 juta jiwa sekitar 57 persen diantaranya berada pada usia 15 - 60 tahun. Angka tersebut jauh lebih besar dibanding Jepang yang 25 persen diantaranya berusia produktif.

"Mereka mempunyai penduduk di atas usia 60 tahun yang lebih banyak. Ini membuat beban ekonomi Jepang semakin berat," kata dia.

Namun, lanjut dia, dibutuhkan kebijakan yang tepat dan cepat agar potensi bonus demografi itu memberi keuntungan luar biasa bagi Indonesia.

"Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja sebagai lompatan bagi pertumbuhan ekonomi yang luar biasa selama masa bonus demografi tersebut. Sekarang tersisa 8 tahun sebelum itu terjadi," katanya mengingatkan.

Ia menjelaskan sejumlah kondisi tenaga kerja dan ekonomi Indonesia yang harus menjadi dasar dalam mengambil kebijakan terkait bonus demografi.

Diantaranya mengenai jumlah penduduk Indonesia yang besar namun memiliki pendapatan perkapita yang rendah. Menurut dia, angka pendapatan perkapita Indonesia relatif lebih tinggi dibanding India yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia setelah China.

"Tapi kalau melihat komposisi modal di Indonesia terutama di sektor tertentu seperti migas yang dikuasai asing, kalau modal asing itu dikeluarkan, maka pendapatan perkapita akan turun," kata Hendri yang mengambil program doktoral di Jepang itu.

Sementara dari segi produktifitas, tenaga kerja Indonesia tergolong rendah dan tumbuh lamban. Ia membandingkan dalam kurun waktu 2000 - 2010, Indonesia berada nomor dua terbawah, di atas India untuk kawasan Asia. Sedangkan China, meningkat pada periode yang sama.

"China mempunyai kebijakan membuka investasi seluas-luasnya bagi asing namun setelah lima tahun investor harus memberi pelatihan bagi tenaga kerja lokal," kata dia.

Dari segi pendidikan tenaga kerja, sebanyak 67 persen di Indonesia adalah lulusan SMP. Pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan sektor nontradable tumbuh pesat dibanding sektor tradable. Sektor tradable adalah sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar seperti pertanian, tambang maupun manufaktur. Sektor nontradable adalah sektor yang menyerap tenaga kerja terbatas seperti keuangan, telekomunikasi dan transportasi.

Selain itu, pada kurun waktu 2005 - 2011, untuk perkembangan tenaga kerja terjadi di sektor pertanian mengalami penurunan. Padahal sektor tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja di Indonesia. "Pemerintah juga gagal menstabilkan harga terutama bahan pangan. Pada kurun waktu tahun 2007 sampai 2012, inflasi makanan mencapai 54 persen," ujar dia.

Dampaknya, meski upah buruh industri mengalami kenaikan, namun secara riil fungsinya stagnan. "Gaji naik, tetapi nilainya turun karena pengaruh inflasi. Sekitar 70 persen gaji buruh dihabiskan untuk membeli bahan pangan," katanya.

Indonesia mempunyai kelas menengah yang terus meningkat. Ia memperkirakan tahun ini sudah mencapai angka 150 juta. Namun ia mengingatkan, sebagian besar didominasi penduduk yang mempunyai pengeluaran 2 - 4 dolar AS perhari. "Artinya, mereka ini termasuk `lower middle class`, atau baru sedikit keluar dari garis kemiskinan," ujar Hendri Saparini.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah diantaranya membuat "crash program" dalam menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kondisi tersebut. "Misalnya lapangan kerja yang cocok untuk lulusan SMP, karena ini merupakan tenaga kerja terbanyak di Indonesia," kata dia.

Ia khawatir, kalau tidak diikuti kebijakan yang cepat dan tepat, bonus demografi yang seharusnya menjadi potensi menguntungkan bagi Indonesia akan berbalik menjadi bencana.

T011/

Pewarta:

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012