Menjadi petugas kesehatan di perbatasan Indonesia-Malaysia merupakan keunikan tersendiri bagi sosok Hidayat Samiaji yang selama enam tahun terakhir harus menangani kunjungan sekitar 900 pasien yang datang dari desa-desa di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.

Bukan hanya pasien dari lima desa di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau saja, tetapi juga pasien tenaga kerja Indonesia (TKI) dan calon TKI yang hendak bekerja di Malaysia. Biasanya mereka yang berobat ke puskesmas secara kebetulan saat pengecapan paspor atau ingin melahirkan di Entikong.

Selain itu, ada yang hendak bekerja di Malaysia dan saat persiapan keberangkatan mengalami sakit. Penyakit umumnya pun termasuk 10 penyakit terbanyak di Indonesia, di antaranya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), hipertensi, dan diare.

Dokter Hidayat Samiaji akrab disapa dr Aji, adalah Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Entikong, kota perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Kalimantan Barat.

Dokter Aji, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro tahun 2002. Dia lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 15 September 1975. Pria lajang ini sempat mengabdi sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT) dan tenaga medis Puskesmas Tayan, Kabupaten Sanggau selama lima tahun. Dan mulai bertugas sebagai Kepala Puskesmas Entikong pada 2008.

"Sukanya sih, akses mudah dan komunikasi lancar," katanya saat dihubungi.

Dia mengatakan, untuk pulang ke Pontianak, ia bisa naik bus antarnegara atau taksi. Biaya transportasi itu sekitar Rp100 ribu satu kali perjalanan, atau sekitar tujuh jam dengan jarak 317 kilometer. Jika dari Kuching, Malaysia ada transportasi udara, yang hanya memakan waktu satu jam-an.

Ia mengatakan, perjalanan darat dari Entikong ke Kuching sekitar satu jam. Warga Indonesia dari Entikong bisa dengan gampang "menyeberang" ke Malaysia. "Dekat dengan Malaysia, bisa belanja dan jalan-jalan," katanya dan menambahkan, itu asyiknya.

Kecamatan Entikong terdiri atas lima desa, meliputi Desa Entikong, Nekan, Pala Pasang, Semanget, dan Suruh Tembawang. Wilayahnya seluas 506,89 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 14.489 jiwa. Kondisi topografi berbukit 60 persen dan 40 berupa dataran.

Kebanyakan penduduk Entikong bermata pencaharian petani dan sebagian masih sebagai peladang berpindah.

Namun di balik enaknya bertugas di puskesmas perbatasan itu, dia mengakui tidak jarang harus dihadapkan pada beberapa persoalan ketidaksepahaman dengan pasien yang berobat ke puskesmas. Misalnya, ada pasien yang hendak dirujuk ke rumah sakit di wilayah Kalbar. Ternyata pihak keluarga pasien memilih berobat ke Malaysia meski biaya penanganan medisnya jauh lebih mahal dari negeri sendiri.

"Kalau di Malaysia, untuk pasien warga negara asing dikenakan biaya lebih mahal," katanya. Namun menurutnya, tetap saja banyak masyarakat terutama yang kondisi ekonomi memadai, memilih berobat ke Malaysia. Dan pihaknya tidak bisa menahan keinginan itu.



Berobat ke Malaysia



Biasanya pasien yang berobat ke Malaysia itu, memiliki sakit cukup berat seperti kanker dan jantung. "Kalau kanker harus radioterapi dan di Pontianak belum ada," katanya lagi.

Selain itu, jika harus ke Kota Pontianak dengan kondisi jalan yang rusak parah, akan berdampak buruk lagi bagi pasien. Karena jarak Entikong ke Kuching, Sarawak, ibaratnya "hanya sejengkalan tangan" dengan kondisi jalan yang bagus maka pilihannya tetap ke Malaysia.

Ia mengemukakan alasan berobat ke Malaysia, salah satunya karena pertimbangan akses jalan ke Malaysia lebih dekat dan kondisinya mulus selain terkait dengan fasilitas kesehatan yang ada.

Warga Entikong tinggal menyeberang melewati Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) setempat dan sudah tiba di Serikin, Kuching, Malaysia Timur.

Sedangkan dari Entikong ke Sanggau selaku ibu kota kabupaten, jaraknya sekitar 150 kilometer. Namun itu pun terasa jauh bagi warga Entikong karena buruknya kondisi jalan yang harus dilalui.

Puskesmas Entikong berada di Jalan Lintas Malindo. Puskesmas itu ada sejak tahun 2000. Puskesmas itu memiliki 42 pegawai meliputi dua dokter umum, satu dokter gigi, sembilan bidan (termasuk lima di pondok bersalin desa atau polindes dan para tenaga perawat baik pegawai tetap maupun yang masih berstatus magang. Jadi ada 36 pegawai yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

"Mereka bertugas dari pukul 07.30 WIB hingga 13.30 WIB," katanya.

Ia menambahkan, kesulitan akan dirasakan ketika harus pelayanan ke desa Pala Pasang dan Suruh Tembawang. "Untuk menuju ke dua desa itu tidak ada jalan darat, jadi harus naik sampan dan berjalan kaki selama seminggu tanpa ada komunikasi," katanya.

Ia melakukan pelayanan ke Pala Pasang dan Suruh Tembawang pada setiap bulan Februari, Mei, Agustus dan November. Atau tiga bulan sekali.

Aji mengatakan, fasilitas kesehatan yang ada di puskesmas sebenarnya cukup memadai. Namun ia mengatakan masih sering kekurangan bahan pendukung peralatan kesehatan untuk laboratorium, untuk kesinambungan regent. Jika harus menunggu pengadaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sanggau, maka harus mengacu pada tahun anggaran, padahal bahan-bahan itu sangat mendesak diperlukan.

"Bahan itu harus tiap hari ada. Misalnya untuk analisa kolesterol dan gula darah," katanya.

Sejauh ini, pihaknya belum dapat mengatasi masalah itu selain mengharapkan pengadaan dari instansi terkait pada setiap tahun anggaran.

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Helmy Faishal Zaini, pada Desember 2012 telah meresmikan program Desa Sehat di Kecamatan Entikong.

Peresmian Desa Sehat ini dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di perbatasan. Bantuan yang diberikan diantaranya berupa rehabilitasi puskesmas, pembangunan kamar jenazah, lemari es jenazah, pembangunan pos pelayanan terpadu (posyandu) dan sarana air bersih yang difokuskan untuk Kecamatan Entikong.

"Desa Sehat itu, sampai hari ini masih ada," kata Dokter Aji.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sanggau, dr Jones Siagian mengatakan kesehatan di daerah perbatasan ini relatif lebih baik dari kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Sanggau.

"Kalau dibandingkan dengan kecamatan lain, kesehatan di daerah perbatasan relatif lebih baik, tapi kalau dengan negara tetangga, seperti Malaysia, masih tertinggal," katanya.

Memelihara dan menjaga kesehatan masyarakat di batas negara, bukan perkara gampang bagi seorang Hidayat Samiaji. Jika fasilitas tidak memadai dan akses jalan yang masih tetap buruk seperti saat ini, maka pilihannya tetap lebih baik berobat ke negara jiran.

"Harapannya, tentu perhatian yang terus-menerus dari pemerintah...," kata Alumni Undip itu.

Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013