Jakarta (Antara Kalbar) - Pengadilan menghukum mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dalam perkara korupsi pengurusan penambahan kuota impor daging sapi dan pencucian uang.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, secara bersama-sama menjatuhkan pidana penjara 16 tahun, denda Rp1 miliar, diganti kurungan 1 tahun," kata ketua majelis hakim Gusrizal Lubis dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding jaksa penuntut umum KPK yang meminta pengadilan menghukum Luthfi selama 18 tahun penjara yaitu 10 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara untuk tindak pidana pidana korupsi dan 8 tahun penjara untuk kejahatan pencucian uang ditambah denda sebesar Rp1,5 miliar.

Hakim berpendapat Luthfi bersalah melakukan tindak pidana korupsi dari pasal 12 huruf a UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan untuk TPPU, vonis tersebut berdasarkan pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU no 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Selanjutnya pasal 3 dan pasal 5 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Namun hakim menolak permohonan jaksa untuk mencabut hak politik Luthfi karena menilainya berlebihan.

"Permohonan agar terdakwa dicabut hak politiknya berlebihan karena dengan sendirinya akan terseleksi dengan organisasi politik yang bersangkutan," kata Gusrizal.

Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa Luthfi bersama orang dekatnya, Ahmad Fathanah memang menjanjikan pengurusan penambahan kuota impor daging sapi dengan imbalan "fee" sebesar Rp40 miliar dengan perhitungan Rp5000 untuk setiap kilogram kuota impor daging sapi.

"Fathanah sudah dua kali menerima uang dari saksi Maria Elizabeth Liman yaitu masing-masih Rp300 juta dari saksi Elda Devianne Adiningrat dan Rp1 miliar yang diambil langsung dari PT Indoguna Utama, sehingga Rp1,3 dari Maria Elizabeth Liman atau PT Indoguna sudah terelaisasi sebagian dari yang dijanjikan yaitu apabila mendapat kuota 8 ribu ton mendapat Rp40 miliar," kata anggota majelis hakim I Made Hendra.

Luthfi, menurut hakim bahkan mengatakan akan membantu lebih banyak yaitu hingga 10 ribu ton agar mendapat komisi Rp50 miliar.

"Di persidangan terungkap kata-kata membantu rekomendasi 10 ribu ton adalah candaan belaka yang biasa dilakukan antara Fathanah dan terdakwa tapi setelah mendengar rekaman, majelis berpendapat pernyataan itu tidak mengandung unsur bercanda, tidak tertawa-tertawa dan menunjukkan keseriusan sehingga kesaksian itu harus dikesampingkan," ungkap hakim I Made Hendra.

Meski Luthfi membela diri dengan menyatakan bahwa janji Rp40 miliar tersebut hanya pembicaraan antara Fathanah dan Maria Elizabeth Liman sehingga Fathanah menipu Maria dengan menunjukkan seolah-olah untuk kepentingan Luthfi atau PKS.

 "Majelis berpendapat terdakwa tahu akan membantu realisasi bahwakn mengatakan akan membantu tambahan 10 ribu ton untuk mendapat 'fee' Rp50 miliar sehingga terdakwa mulai bergerak dengan mempertemukan Maria dengan Menteri Suswono di Medan dan menindaklanjuti dengan memberikan data yang diminta Mentan, jadi Maria mendapat kepastian memperoleh rekomendasi ddar terdakwa sehingga memberikan Rp300 juta lalu RpRp1 miliar kepada Fathanah," tambah hakim.

Walaupun PT Indoguna Utama tidak mendapt tambahan kuota, tapi hakim melihat bahwa penambahan kuota tidak perlu terpenuhi untuk membuktikan unsur pidana.

"Bahwa tidak ada penambahan kuota impor daging sapi, hal ini tidak perlu tercapai dalam perbuatan tindak pidana yang dipersyaratkan karena perbuatan terdakwa digerakkan oleh janji Maria," kata hakim Djoko Subagyo.

Selanjutnya mengenai tindak pidana pencucian uang hakim menyetujui bahwa Luthfi sengaja tidak melaporkan tiga rekening di BCA ke Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang merupakan kewajiban Luthfi sebagai penyelenggara negara.

"Ada tiga rekening koran BCA yang tidak dilaporkan dalam LHKPN dan terdakwa mengatakan rekening itu hanya lalu lintas dana dari penghasilan tetap, berbisnis, utang-piutang dan yayasan terdakwa, tapi terdakwa tidak melaporkannya adalah sudah bisa disebut menyembunyikan harta kekayaan," kata anggota hakim Purwono Edi Santosa.

Luthfi juga sengaja membelanjakan uang dalam rekening tersebut untuk menyembunykan harta kekayaannya, misalnya membeli rumah senilai Rp1,5 miliar dari Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminuddin, membeli rumah senilai Rp3,5 miliar dari Hambali yang di atasnya berdiri pabrik genteng dengan luas seluruhnya 6-7 hektare, membeli mobil Nissan Navara dari Hilmi senilai Rp300 juta dan dibaliknamakan atas nama Rantala Sikayo.

"Patut diduga terjadi unsur tindak pidana karena mobil Nissan Navara setelah lunas dibaliknamakan menggunakan Rantala Sikayo yaitu asisten terdakwa adalah untuk menyembunyikan asal usul, sedangkan rumah juga tidak dibaliknamakan sehingga masih atas nama Yoppie Sangkot Batubara dan dibeli di bawah harga pasar dan keduanya tidak masuk dalam LHKPN Perubahan 2009," jelas hakim Purwono.

Hilmi yang tercatat sebagai direktur PT Sirat Inti Buana juga tidak menerima keuntungan atau gaji dari perusahaan tersebut sehingga pengakuan bahwa uang itu berasal dari PT Sirat menurut hakim harus dikesampingkan.

Hakim juga mencatat bahwa pada periode Januari 2005 - Desember 2009 Luthfi membelanjakan uang Rp1,6 miliar untuk sejumlah mobil, sedangkan pada April 2012-Januari 2013 Luthfi membelanjakan secara bertahap hingga Rp10,2 miliar seperti untuk kendaraan lain seperti mobil Volvo senilai Rp1,25 miliar, mobil Volkswagen Rp1,09 miliar serta pembelian rumah di Kebagusan senilai lebih dari Rp1 miliar.

"Terdakwa tidak mau membuktikan asal-usul kekayaannya sehingga majelis berpendapat terdakwa menerima transfer dengan tidak wajar karena dari nomor rekening yang tidak dilaporkan ke LHKPN, jadi ada niat untuk menyembunyikan harta kekayaan sehingga mempersulit untuk mengetahui sumber-sumber penerimaan sebagai penyelenggara negara," ungkap hakim Purwono.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013