Selasa pagi (15/7) itu hari kedua siswa di Kubu Raya memasuki sekolah. Wajah-wajah mereka dihiasi semangat. Semester baru dengan energi baru.

Pada hari pertama masuk sekolah, jam setengah enam pagi, anak-anak sudah bermunculan ke sekolah. Kutahu kedatangan mereka yang di awal itu karena aku tinggal di sebuah ruangan di perpustakaan sekolah itu. Jadi suara hentakan kaki dan nyaringnya suara mereka terdengar hingga ke ruangan saya.

Sebenarnya pada Senin (14/7) akan dilaksanakan rapat terkait proses pembelajaran seperti apa yang harus dijalankan oleh para guru. Tapi karena kepala sekolah ada kepentingan ke kantor dinas kabupaten, akhirnya rapat akan diadakan Seasa ini. Tapi sayang sekali, rapat kembali ditunda karena pagi ini kepala sekolah juga ada keperluan di UPT

Meski telah ada penetapan guru  wali kelas untuk masing-masing, namun karena ketidakpastian kurikulum apa yang akan diterapkan membuat guru menjadi bingung.

Guru ingin mengajar di kelas sesuai instruksi kepala sekolah sebelum libur dulu yaitu, kurikulum 2013. Namun sayang sekali buku sebagai media belajar siswa malah tidak ada. Jadi ketika para guru saling berdiskusi tentang hal ini, saya memutuskan untuk menangani para siswa yang berkeliaran di halaman sekolah. Semua siswa saya arahkan untuk segera masuk kelas.

Karena pembelajaran belum berjalan efektif, jadi saya hanya mengakali apa yang bisa saya lakukan untuk mereka. Karena sebagian besar para siswa suka menggambar, jadi pagi ini siswa kelas satu hingga kelas empat saya minta untuk menggambar.

 Sedangkan siswa kelas lima, saya minta mereka untuk menulis surat. Surat bukan sembarangan surat. Melainkan surat untuk presiden. Di dalam kelas yang hanya dibatasi susunan papan pembatas kelas, saya pun mulai bersuara setelah mengajak mereka untuk “tepuk semangat.”
“Ibu pengin nanya, adakah dari kalian yang tahu kegiatan apa yang dilakukan serentak di Indonesia tanggal 9 Juli lalu?”

“Pemilu, Bu,” jawab seorang anak laki-laki berambut cepak lurus yang duduk di barisan meja kedua.

“Bagus. Memilih siapakah kita?” tanyaku lanjut.

“Prabowo, Bu”. Celetuk siswi berkulit hitam manis yang langsung menyebutkan nama presiden jagoannya.

“Iya, maksud Ibu, Prabowo itu calon apa?” tanyaku selanjutnya. Tapi mereka masih bingung.

“Apakah kita memilih kepala desa? Kepala camat? Bupati? Atau presiden?” tanyaku selanjutnya kepada para siswa itu.

“Presiden, Bu!” jawab 23 siswa di kelas itu serentak.

“Mantap! Meskipun kemarin pemilihan presiden telah dilakukan, namun kita belum tahu siapa yang akan terpilih menjadi pemimpin Negara ini selanjutnya.”

“Ada yang tahu siapa calon presiden kita yang satunya lagi?” tanyaku lagi.

“Jokowi, Bu,” jawab cepat seorang anak laki-laki yang duduk di barisan paling belakang.

“Bagus. Pintar ya anak Ibu,” ucapku memuji anak itu.

 â€œOke, sekarang Ibu mau kalian menulis surat untuk presiden kita yang baru. Ibu mau kalian menuliskan semua harapan kalian kepada presiden baru kita nanti. Tuliskan keinginan kalian. Tuliskan ya, apa yang kalian mau dari presiden kita yang baru nanti di kertas selembar. Kalau sudah selesai, nanti suratnya akan Ibu kumpulkan.,” jelasku kemudian.

Tak lama setelah mendengar instruksi dariku, para siswa itu pun mulai bekerja. Menuliskan apa yang mereka harapkan dari seorang presiden yang terpilih nanti.

Agar mereka semakin semangat mengerjakan, saya mengiming-imingi hadiah kepada siswa yang paling bagus isi suratnya. Dan ternyata benar. Mereka pun berlomba-lomba merangkai kata yang ingin mereka sampaikan kepada calon pak presiden.

Sembari menunggu para siswa kelas lima menuliskan keinginan mereka, saya pun beranjak ke kelas enam. Saya pun kembali mengintruksikan hal yang sama kepada siswa kelas enam itu. Meminta mereka menuliskan apa yang mereka inginkan dari presiden baru kita nanti. Dan saya juga menjanjikan hadiah untuk siswa yang paling bagus isi suratnya.

Saya sengaja menugasi siswa kelas lima dan enam ini menulis surat untuk pak presiden baru. Selain mereka belajar menuangkan isi fikiran mereka melalui tulisan, mereka pun diingatkan bahwa presiden kita akan segera berganti. Indonesia akan dipimpin oleh orang baru melalui pemilu. Jadi kegiatan menuliskan harapan mereka melalui kertas telah mengintegrasikan pelajaran bahasa Indonesia dan IPS, tematik sesuai kurikulum 2013.

Selang waktu lebih kurang tiga puluh menit, saya bergantian ke kelas lima dan enam mengumpulkan surat-surat mereka.  Ada 53  lebar surat, gabungan siswa kelas lima dan enam ini. Saya baca satu persatu.

Sekian banyak surat yang saya baca, saya tertarik dengan sepucuk surat dari seorang siswa laki-laki kelas enam yang bernama Harianto. Begini isi suratnya:

"Kepada Bapak presiden yang terhormat.
Bapak presiden, saya berharap Indonesia bisa maju dan damai.
Siapa saja bapak Presiden 2014/2019, Saya ingin Bapak presiden memperhatikan rakyatnya. Dan saya juga ingin sekolah kami maju dan bagus, Pak. Tolong bantu kami untuk membangun sekolah kami, Pak.
Tolong turunkan BBM, Pak. Dan tolong naikkan getah karet kami, Pak. Tanpa karet Pak, rakyat disini susah untuk hidup Pak.
Saya juga ingin Bapak membangun jalan kami, Pak. Jalan kami banyak yang berlubang, Pak.
Dan akhirnya dari saya, Assalamu’alaikum werohmatallahi weberokatuh."

Inilah sedikit harapan dari anak polos Madura yang menuliskan salam dengan tulisan yang tidak pas. Ada lagi siswa yang bernama Satijeh kelas enam  yang penggalan isi suratnya seperti ini:

Kepada Pak presiden yang terhormat, Prabowo maupun Jokowi, kami minta sama pak presiden agar bisa memajukan desa kami, Pak. Dan bisa memberikan pekerjaan kepada warga yang tidak mempunyai pekerjaan agar warga bisa menafkahi keluarganya, Pak.

Ada beberapa penggalan isi surat Safitri yang cukup menyentuh saya.

Maaf, Pak. Aku memberi tahu bapak kelas kami rusak. Dan pintunya ga ada kuncinya. Dan lantai kami bolong banyak pasirnya.

Dan ini beberapa kalimat yang terdapat dalam surat Siti Munaweroh yang membuat saya tersenyum karena begitu sederhanya keinginan anak ini:

Kami ingin Bapak peduli kepada Kami. Kami ingin seperti Bapak. Makan pakai ayam, daging dan susu. Kami bosan makan ikan asin terus dan makan ubi setiap hari, Pak. Semoga Bapak peduli sama kami.

Itulah beberapa penggalan surat yang ditulis oleh siswa yang sekolah di SD yang berada di salah satu desa di Kabupaten. Kubu Raya, Kalimantan barat.

Dari rangkaian kata yang tertulis di dalam surat mereka, tertuang begitu banyak asa yang mereka gantung di pundak Pak presiden nanti. Mulai dari harapan mereka atas bantuan untuk memperbaiki sekolah mereka, memperbaiki jalan-jalan dikampung mereka dan bahkan salah seorang anak berharap agar harga getah dapat dinaikkan.

Memang tak dapat dipungkiri, sebagian besar mata pencarian warga di desa ini adalah menoreh karet. Mengumpulkan getah karet yang menetes sedikit demi sedikit untuk membeli beras dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi sayang sekali, harga karet yang enam bulan lalu dapat dijual Rp 12.000/kg, kini turun menjadi Rp 4000/kg bahkan Rp 3000/kg.

Rasanya tak terbayar pengorbanan orang tua mereka yang telah bangun pukul dua bahkan pukul satu dini hari untuk menoreh pohon karet hingga subuh jika hanya dibeli dengan harga yang begitu murah oleh para toke karet. Jika seandainya dalam sehari karet yang terkumpul hanya 5 Kg, berarti mereka hanya mendapat uang Rp15.000 sehari dari karet itu.

Mereka mendapatkan uang sebanyak itu kalau mereka yang memiliki ladang karet.. Jika orang Tionghoa yang punya, maka dibagi dualah hasil penjualan getah karet itu. Jika demikian, pantaslah anak-anak di desa ini kebanyakan hanya makan ikan asin dan ubi.

Oleh karena itu, begitu besar harapan anak negeri ini agar presiden yang baru dapat memberikan sedikit perhatian kepada mereka. Begitu pun saya sebagai guru relawan SGI yang dikirimkan oleh dompet dhuafa juga berharap, semoga siapapun presiden kita nanti, dapat memberikan perubahan yang nyata bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

(*Guru Muda Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa/Jurnalisme Warga)

Pewarta: Sri Wahyuni*

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014