Pontianak (Antara Kalbar) - Anggota DPD RI Erma Suryani Ranik menilai DPR belum sepenuh hati memperjuangkan keadilan dan keberimbangan dalam rancangan keuangan bagi daerah, terutama yang mempunyai sumber daya alam berlimpah.
"Salah satunya tentang RUU yang mengatur perimbangan keuangan nasional dan daerah," kata Erma saat sosialisasi tentang hasil-hasil DPD RI di Pontianak, Kamis.
Menurut Erma Ranik yang bertugas di Komite IV, usulan itu sudah diajukan sejak tahun 2010. "Dan itu sudah kita perdebatkan," katanya.
Ia mengatakan salah satunya mengatur tentang dana bagi hasil. Dia mencontohkan Kalbar yang setiap tahun menghasilkan crude palm oil. Nilainya mencapai Rp1 triliun.
Namun, menurut dia, Kalbar sama sekali tidak mendapat nilai tambahnya. "Karena Kalbar tidak memiliki pelabuhan ekspor untuk CPO, malah daerah lain yang mendapatkannya," ujarnya.
Padahal, kata dia, Kalbar mengalami dampak negatif dari pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit.
"Dampak ke lingkungan, konflik sosial, kerusakan infrastruktur dan lainnya, Kalbar yang mengalami. Bukan daerah yang menjadi pelabuhan ekspor CPO asal Kalbar," katanya.
Berdasarkan kajian Komite IV DPD RI, dana bagi hasil tidaklah terlalu besar porsinya. Pihaknya mengusulkan 30 persen dari total nilai ekspor.
"Kemudian, 30 persen tadi dibagi sesuai porsi masing-masing daerah penghasil," kata Erma Ranik yang terpilih sebagai anggota DPR RI dapil Kalbar periode 2014 - 2019 dari Partai Demokrat.
Namun sayangnya hingga kini RUU tersebut mandeg di DPR RI. Selain itu, ada juga RUU yang belum selesai dibahas DPR RI. Seperti tentang keuangan negara dan daerah yang sudah diserahkan ke DPR RI pada 31 Juni 2012 tapi belum tuntas.
Ia berharap anggota DPD RI periode 2014 - 2019 dapat memperjuangkan itu ketika telah dilantik.
(T011/M008)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Salah satunya tentang RUU yang mengatur perimbangan keuangan nasional dan daerah," kata Erma saat sosialisasi tentang hasil-hasil DPD RI di Pontianak, Kamis.
Menurut Erma Ranik yang bertugas di Komite IV, usulan itu sudah diajukan sejak tahun 2010. "Dan itu sudah kita perdebatkan," katanya.
Ia mengatakan salah satunya mengatur tentang dana bagi hasil. Dia mencontohkan Kalbar yang setiap tahun menghasilkan crude palm oil. Nilainya mencapai Rp1 triliun.
Namun, menurut dia, Kalbar sama sekali tidak mendapat nilai tambahnya. "Karena Kalbar tidak memiliki pelabuhan ekspor untuk CPO, malah daerah lain yang mendapatkannya," ujarnya.
Padahal, kata dia, Kalbar mengalami dampak negatif dari pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit.
"Dampak ke lingkungan, konflik sosial, kerusakan infrastruktur dan lainnya, Kalbar yang mengalami. Bukan daerah yang menjadi pelabuhan ekspor CPO asal Kalbar," katanya.
Berdasarkan kajian Komite IV DPD RI, dana bagi hasil tidaklah terlalu besar porsinya. Pihaknya mengusulkan 30 persen dari total nilai ekspor.
"Kemudian, 30 persen tadi dibagi sesuai porsi masing-masing daerah penghasil," kata Erma Ranik yang terpilih sebagai anggota DPR RI dapil Kalbar periode 2014 - 2019 dari Partai Demokrat.
Namun sayangnya hingga kini RUU tersebut mandeg di DPR RI. Selain itu, ada juga RUU yang belum selesai dibahas DPR RI. Seperti tentang keuangan negara dan daerah yang sudah diserahkan ke DPR RI pada 31 Juni 2012 tapi belum tuntas.
Ia berharap anggota DPD RI periode 2014 - 2019 dapat memperjuangkan itu ketika telah dilantik.
(T011/M008)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014