Sejak dahulu banyak keluarga masyarakat Indonesia menetap hidup beranak pinak di negara jiran (tetangga) seperti Malaysia dan momen bagi pertemuan kerabat yang terpisah antarnegara tersebut antara lain Idul Fitri.
Seperti yang dialami keluarga besar Bun Ya (89) atau yang lebih dikenal dengan sapaan Malaysia, Haji Abon. Ia adalah anak warga Indonesia yang semula bermukim di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Ayahnya bernama Abdul Samad yang memiliki tujuh anak.Namun kemudian Bun Ya dibawa pindah kerabatnya ke Malaysia sejak kecil. Kini Bun Ya sudah menjadi warga Malaysia dan mendapat "nama" baru, Abon.
"Saya diajak pindah bibi saya. Dan disekolahkan di sini (Malaysia, red) sejak masih kanak-kanak," katanya ketika ditemui di Kampung Pichin, Tebakang, Sarawak beberapa waktu lalu.
Sejak dibawa pindah itu, ia tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. Saat ini usianya sudah 89 tahun. Bun Ya masih tampak sehat dan hidup bersama lima anak-anaknya, sementara istrinya telah lama meninggal.
Ketika Idul Fitri 1435 Hijriah, Haji Abon, dikunjungi keluarga dari Indonesia. Keluarga yang sudah tidak bertemu puluhan tahun lamanya. Haji Abon menyambut kedatangan kerabat dari Kalbar, Nazariyah DA Mansyur yang datang bersama 12 anggota keluarga, di rumah anak tertua H Abon, Nuriya Abon, di kampung Pichin pada Rabu (31/7) atau Lebaran hari ketiga.
Keluarga berbeda warga negara ini sudah tidak bertemu sekitar 23 tahun. Saat Idul Fitri dengan jadwal cuti bersama (Indonesia) yang lumayan panjang, menjadi momen istimewa silaturahim antarkeluarga tersebut.
Jarak tempuh Kota Pontianak, tempat tinggal Nazariyah DA Mansyur dengan tempat tinggal keluarga Haji Abon, sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya sekitar 8-9 jam perjalanan darat. Jika perjalanan ditempuh dari Pontianak ke Entikong-Tebedu (pintu perbatasan antarnegara) sekitar 314 kilometer. Sementara dari pintu batas ke kampung Pichin hanya 31 kilometer.
Namun untuk setiap warga antarnegara saling berkunjung dengan keluarga serumpun (satu nenek moyang), tidak mudah. Mereka harus menyiapkan paspor terlebih dahulu, selain menghitung hari yang pas sesuai jadwal libur.
Maka Idul Fitri 1435 Hijriah, menjadi momen yang pas, karena umat Muslim kedua negara sama-sama merayakan Lebaran dan mendapatkan libur kerja dan sekolah.
Nazariyah bersama anggota keluarganya mengunjungi kerabat di Malaysia dengan menumpang dua kendaraan roda empat. Mereka berangkat dari rumah di Pontianak pada Rabu (30/7) sekitar pukul 01.00 WIB dini hari.
Menempuh perjalanan sekitar 8 jam, melewati jalan trans Kalimantan ruas Ambawang-Tayan yang tampak mulus dan licin. Selepas ruas tersebut, masih harus melewati ruas Tayan-Batang Tarang, dimana sekitar 41 kilometer ke arah Sosok dalam kondisi rusak, berbatu, berdebu dan bergelombang.
Rombongan tiba di pintu batas negara, Entikong-Tebedu sekitar pukul 08.00 WIB. Melakukan pengecapan paspor dan pengecekan registrasi kendaraan yang digunakan sekitar 30 menit. Selepas itu, perjalanan berlanjut sekitar 31 kilometer menuju ke Kampung Pichin.
Namun perjalanan tersebut dapat "dibayar" dengan kebahagiaan, setelah Nazariyah dan keluarga melihat sambutan dari kerabatnya saat tiba di depan rumah warga Malaysia itu.
Tangisan haru pun mengisi menit-menit pertama pertemuan kerabat itu. Suasana kemudian menjadi cair dan "berwarna", karena saat yang sama, telah berkumpul pula anak, cucu dan cicit Haji Abon yang mencapai puluhan orang. Mereka datang dari Kota Serian, Kuching, Miri, dan Kuala Lumpur.
Hidangan makanan
Soal hidangan makanan saat menyambut Lebaran, antara Indonesia dan Malaysia, ternyata juga memiliki kesamaan. Jika di Kalbar ada kue-kue kering dan basah (lapis), di Malaysia pun ada. Kue-kue itu disajikan di atas meja tamu, dengan minuman kalengan seperti soya (kacang kedelai) dan cincau.
Saat sarapan pagi, tamu dari Indonesia itu "dijamu" dengan makanan seperti mie tiaw dan sup tom yam (makanan khas Tailand) . Juga ada laksa, berupa bihun berkuah kari. Kemudian saat menjelang siang, sekitar pukul 11.30 WIB atau 12.30 waktu Malaysia, hidangan makan siang berupa nasi putih dengan rendang daging Petra, gulai kambing, dan gulai kepala ikan.
"Makanannya mirip juga dengan Indonesia, ada rendang daging, ada mie tiaw, gulai kambing," kata Nuriya Abon.
Keluarga Nazariyah juga menikmati hidangan makanan tersebut. "Pas di lidah. Hanya berbeda sedikit dibumbu yang lebih kuat (Malaysia)," kata Nazariyah.
Di Malaysia tampaknya hanya ada nasi. Tak tersedia ketupat ataupun lontong, yang menjadi khas saat Lebaran di Indonesia.
Sementara ketika berada di Serian, sekitar 20 menit dari Kampung Pichin, keluarga Halini Sayyid (anak kelima Haji Abon), menghidangkan makanan nasi Briyani, khas makanan Pakistan.
"Nasi ini biasa dihidangkan untuk menyambut tamu," kata Halini yang bersuamikan seorang Pakistan bernama Al Sayyid.
Ciri khas masakan negara jiran, sangat kuat dengan rasa bumbu kari. Tampak begitu agaknya karena karakteristik penduduk setempat yang perpaduan dari berbagai macam suku bangsa seperti Melayu, China, India dan Pakistan, dan lain-lainnya.
Namun bagi Nuriya dan Halini, meski berbeda negara, selalu ada kesamaan dalam menu makanan antara Indonesia dan Malaysia. Karena serumpun, satu nenek moyang, satu keturunan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Seperti yang dialami keluarga besar Bun Ya (89) atau yang lebih dikenal dengan sapaan Malaysia, Haji Abon. Ia adalah anak warga Indonesia yang semula bermukim di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Ayahnya bernama Abdul Samad yang memiliki tujuh anak.Namun kemudian Bun Ya dibawa pindah kerabatnya ke Malaysia sejak kecil. Kini Bun Ya sudah menjadi warga Malaysia dan mendapat "nama" baru, Abon.
"Saya diajak pindah bibi saya. Dan disekolahkan di sini (Malaysia, red) sejak masih kanak-kanak," katanya ketika ditemui di Kampung Pichin, Tebakang, Sarawak beberapa waktu lalu.
Sejak dibawa pindah itu, ia tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. Saat ini usianya sudah 89 tahun. Bun Ya masih tampak sehat dan hidup bersama lima anak-anaknya, sementara istrinya telah lama meninggal.
Ketika Idul Fitri 1435 Hijriah, Haji Abon, dikunjungi keluarga dari Indonesia. Keluarga yang sudah tidak bertemu puluhan tahun lamanya. Haji Abon menyambut kedatangan kerabat dari Kalbar, Nazariyah DA Mansyur yang datang bersama 12 anggota keluarga, di rumah anak tertua H Abon, Nuriya Abon, di kampung Pichin pada Rabu (31/7) atau Lebaran hari ketiga.
Keluarga berbeda warga negara ini sudah tidak bertemu sekitar 23 tahun. Saat Idul Fitri dengan jadwal cuti bersama (Indonesia) yang lumayan panjang, menjadi momen istimewa silaturahim antarkeluarga tersebut.
Jarak tempuh Kota Pontianak, tempat tinggal Nazariyah DA Mansyur dengan tempat tinggal keluarga Haji Abon, sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya sekitar 8-9 jam perjalanan darat. Jika perjalanan ditempuh dari Pontianak ke Entikong-Tebedu (pintu perbatasan antarnegara) sekitar 314 kilometer. Sementara dari pintu batas ke kampung Pichin hanya 31 kilometer.
Namun untuk setiap warga antarnegara saling berkunjung dengan keluarga serumpun (satu nenek moyang), tidak mudah. Mereka harus menyiapkan paspor terlebih dahulu, selain menghitung hari yang pas sesuai jadwal libur.
Maka Idul Fitri 1435 Hijriah, menjadi momen yang pas, karena umat Muslim kedua negara sama-sama merayakan Lebaran dan mendapatkan libur kerja dan sekolah.
Nazariyah bersama anggota keluarganya mengunjungi kerabat di Malaysia dengan menumpang dua kendaraan roda empat. Mereka berangkat dari rumah di Pontianak pada Rabu (30/7) sekitar pukul 01.00 WIB dini hari.
Menempuh perjalanan sekitar 8 jam, melewati jalan trans Kalimantan ruas Ambawang-Tayan yang tampak mulus dan licin. Selepas ruas tersebut, masih harus melewati ruas Tayan-Batang Tarang, dimana sekitar 41 kilometer ke arah Sosok dalam kondisi rusak, berbatu, berdebu dan bergelombang.
Rombongan tiba di pintu batas negara, Entikong-Tebedu sekitar pukul 08.00 WIB. Melakukan pengecapan paspor dan pengecekan registrasi kendaraan yang digunakan sekitar 30 menit. Selepas itu, perjalanan berlanjut sekitar 31 kilometer menuju ke Kampung Pichin.
Namun perjalanan tersebut dapat "dibayar" dengan kebahagiaan, setelah Nazariyah dan keluarga melihat sambutan dari kerabatnya saat tiba di depan rumah warga Malaysia itu.
Tangisan haru pun mengisi menit-menit pertama pertemuan kerabat itu. Suasana kemudian menjadi cair dan "berwarna", karena saat yang sama, telah berkumpul pula anak, cucu dan cicit Haji Abon yang mencapai puluhan orang. Mereka datang dari Kota Serian, Kuching, Miri, dan Kuala Lumpur.
Hidangan makanan
Soal hidangan makanan saat menyambut Lebaran, antara Indonesia dan Malaysia, ternyata juga memiliki kesamaan. Jika di Kalbar ada kue-kue kering dan basah (lapis), di Malaysia pun ada. Kue-kue itu disajikan di atas meja tamu, dengan minuman kalengan seperti soya (kacang kedelai) dan cincau.
Saat sarapan pagi, tamu dari Indonesia itu "dijamu" dengan makanan seperti mie tiaw dan sup tom yam (makanan khas Tailand) . Juga ada laksa, berupa bihun berkuah kari. Kemudian saat menjelang siang, sekitar pukul 11.30 WIB atau 12.30 waktu Malaysia, hidangan makan siang berupa nasi putih dengan rendang daging Petra, gulai kambing, dan gulai kepala ikan.
"Makanannya mirip juga dengan Indonesia, ada rendang daging, ada mie tiaw, gulai kambing," kata Nuriya Abon.
Keluarga Nazariyah juga menikmati hidangan makanan tersebut. "Pas di lidah. Hanya berbeda sedikit dibumbu yang lebih kuat (Malaysia)," kata Nazariyah.
Di Malaysia tampaknya hanya ada nasi. Tak tersedia ketupat ataupun lontong, yang menjadi khas saat Lebaran di Indonesia.
Sementara ketika berada di Serian, sekitar 20 menit dari Kampung Pichin, keluarga Halini Sayyid (anak kelima Haji Abon), menghidangkan makanan nasi Briyani, khas makanan Pakistan.
"Nasi ini biasa dihidangkan untuk menyambut tamu," kata Halini yang bersuamikan seorang Pakistan bernama Al Sayyid.
Ciri khas masakan negara jiran, sangat kuat dengan rasa bumbu kari. Tampak begitu agaknya karena karakteristik penduduk setempat yang perpaduan dari berbagai macam suku bangsa seperti Melayu, China, India dan Pakistan, dan lain-lainnya.
Namun bagi Nuriya dan Halini, meski berbeda negara, selalu ada kesamaan dalam menu makanan antara Indonesia dan Malaysia. Karena serumpun, satu nenek moyang, satu keturunan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014