Pontianak  (Antara Kalbar) - Pengamat ekonomi dan politik migas Salamuddin Daeng mendesak pemerintah mengembalikan PT Pertamina (Persero) ke "tangan" negara untuk dijadikan sebagai Badan Layanan Publik (BLU) yang tidak berorientasi keuntungan.

"Dengan demikian Pertamina kembali pada roh pendiriannya sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan, kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat," kata Salamuddin Daeng saat dihubungi dari Pontianak, Rabu.

Ia menjelaskan berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, serta UU tentang BUMN, Pertamina bukan lagi BLU, tetapi sudah perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan.

Padahal perusahaan ini masih mendapatkan subsidi dari negara, meski di era pemerintahan Jokowi subsidi itu telah berkurang hingga sekitar 300 persen.

Sementara untuk mendapatkan keuntungan di tengah kondisi politik Indonesia yang carut-marut, ditambah dengan masalah otonomi daerah, sulit bagi Pertamina, katanya.

Menurut Salamuddin hal itu karena Pertamina dikendalikan oleh sindikat dan mafia yang berdiri dibalik kekuasaan pemerintahan. "Mereka mengendalikan impor, ekspor, belanja modal dan investasi yang kesemuanya dijadikan sebagai ajang "begal" mendapatkan jatah dalam belanja Pertamina," kata dia.

Kemudian keuntungan dan pendapatan Pertamina harus disetorkan kepada pemerintah pusat dan daerah sebagai penerimaan negara, sehingga perusahaan tidak dapat mengembangkan usahanya secara efektif.

Selain itu, para politisi yang berkuasa ditengarai menjadikan perusahaan Pertamina sebagai ajang pemerasan, mengeruk setoran, sebagai imbalan atas jabatan-jabatan dalam perusahaan yang ditentukan oleh pemerintah, ujarnya.

"Kemudian Pertamina diperas dengan berbagai macam pajak, bunga, dan lain sebagainya, sehingga biaya yang ditanggung perusahaan sangat tinggi. Biaya lifting, refinary dan transportasi (LRT) perusahan mencapai 24 dolar AS/barel, ditambah pajak 15 persen, dan beban bunga 10 persen, sehingga menjadikan Pertamina sebagai perusahaan dengan biaya paling mahal sedunia," ungkapnya.

Menurut dia dengan perhitungan kasar, dengan total pengolahan minyak 1,25 juta barel/hari Pertamina harus mengeluarkan biaya sekitar Rp476 triliun/tahun, untuk belanja minyak mentah, refinery, transportasi, pajak, bunga.

Sementara revenue yang diperoleh Pertamina pada tingkat harga yang berlaku sekarang, ditambah dengan subsidi APBN senilai Rp81 triliun atau masih tekor.

"Sekarang Pertamina dalam keadaan sekarat, manajemen telah mengumumkan secara resmi merugi sangat besar setiap bulan. Walaupun harga minyak telah dinaikan, atau dinaikkan lagi, tetap Pertamina akan rugi, sementara pemerintahan Jokowi tidak berkenan memberikan subsidi, karena subsidi katanya akan dialokasikan untuk infrastruktur," ujarnya.

Sehingga, menurut Salamuddin ditengah kondisi sekarang, dimana moral politisi jatuh pada tingkat paling rendah, pajak, bunga dan biaya-biaya siluman lainnya sangat tinggi, pemalakan dan pungutan pemerintah daerah yang ugal ugalan, maka perusahaan Pertamina hanya ibarat tinggal tulang belulang saja.

"Sementara utang luar negeri Pertamina di pasar keuangan global telah mencapai Rp100 triliun lebih. Pembelian blok-blok Migas di berbagai negara ternyata bodong atau tidak ada isi. Perusahaan ini terancam disita oleh sindikat keuangan internasional karena tidak sanggup membayar utang beserta bunganya," kata Salamuddin.

Menurut dia satu-satunya cara adalah dikembalikannya perusahaan Pertamina kepada negara, untuk dijadikan sebagai BLU yang tidak berorientasi keuntungan.



(U.A057/T011)

Pewarta: Andilala

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015