Jakarta (Antara Kalbar) - Investor Jepang yang telah melakukan studi kelayakan proyek rel kereta api cepat serupa "Shinkansen" mengusulkan agar pemerintah Indonesia membentuk BUMN khusus operator moda transportasi mutakhir tersebut.
Usulan tersebut karena investor Jepang meyakini prospek bisnis kereta api cepat sangat menjanjikan dan membutuhkan manajemen bisnis yang kuat dan terpisah dari BUMN PT. Kereta Api Indonesia, kata Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Deddy Priatna di Jakarta, Jumat.
"Tapi tetap pemerintah boleh putuskan tetap di PT. KAI atau tidak. Dari studi kelayakan fase pertama, Jepang memang menginginkan BUMN baru karena bisnis yang sangat besar," kata dia.
Investor Jepang dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency/JICA), kata Deddy, baru saja merampungkan studi kelayakan fase pertama dari tiga fase yang direncanakan. Biaya untuk melakukan studi kelayakan tersebut senilai 15 juta dolar AS.
Studi kelayakan dari Jepang untuk fase pertama menghasilkan beberapa opsi pembangunan proyek senilai Rp60 triliun itu.
Menurut Deddy, dari studi fase pertama, rute kereta api cepat juga kemungkinan tidak hanya berhenti sampai di Bandung, tapi juga ke Cirebon, Semarang dan Surabaya.
Di Jakarta, akan bermula di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat dengan rel kereta api yang dibangun di bawah tanah. Dengan kereta api "Shinkansen" Indonesia ini, waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya 34 menit, dan Jakarta-Surabaya 2,5 jam.
Rencana rute kereta api cepat yang akan melewati Cirebon juga agar sarana perhubungan dapat terintegrasi dengan Bandara Kertajati yang sedang dibangun di Majalengka.
Deddy mengatakan manfaat ekonomi dari proyek ini akan sangat besar.
"Shinkansen itu banyak yang mengatakan hanya negara-negara dengan masyarakat menengah ke atas yang memiliki Shinkansen. Padahal tidak seperti itu. Dulu Jepang saat punya Shinkansen, 30 tahun yang lalu atau 25 tahun yang lalu, pendapatan per kapitanya tidak terlalu besar, tapi proyek ini bisa memboost-up ekonomi," kata dia.
Total investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini, dari studi kelayakan Jepang, sebesar Rp60 triliun. Dari skema yang ditawarkan Jepang, pemerintah juga diminta menanggung investasi sebesar 16 persen, selain BUMN pelaksana kereta api cepat sebesar 74 persen dan swasta 10 persen.
Peluang Kompetisi
Menurut Deddy, selain Jepang, pemerintah juga masih menunggu penawaran dari Tiongkok untuk bekerja sama mengerjakan proyek ini.
Deddy mengusulkan sebaiknya "kompetisi" pelaksana proyek tersebut juga dibuka untuk negara-negara lain agar Presiden Joko Widodo juga memperoleh banyak gambaran untuk proyek tersebut.
Menurut dia, pemerintah menargetkan dapat memutuskan siapa pelaksana proyek tersebut pada akhir 2015. Adapun awal pembangunan proyek tersebut diharapkan pemerintah dapat dimulai selambat-lambatnya pada 2019.
Pemerintah juga akan mempertimbangkan nilai keuntungan atau Financial Internal Rate of Return (FIRR) dari proyek itu. Hasil studi Jepang tentang proyek ini, nilai keuntungan BUMN pelaksana proyek ini akan cukup menguntungkan dalam estimasi waktu yang tidak terlalu lama.
Hal tersebut dikarenakan bunga yang ditawarkan dari Jepang cukup rendah di level 0,1 persen. Adapun, nilai FIRR untuk BUMN pelaksana proyek kereta api cepat ini dari studi kelayakan sebesar 0,97.
Namun, dalam mengambil keputusan, pemerintah juga akan mempertimbangkan nilai kebutuhan investasi yang ditawarkan Jepang dan Tiongkok, atau mitra lain yang tertarik dengan proyek ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
Usulan tersebut karena investor Jepang meyakini prospek bisnis kereta api cepat sangat menjanjikan dan membutuhkan manajemen bisnis yang kuat dan terpisah dari BUMN PT. Kereta Api Indonesia, kata Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Deddy Priatna di Jakarta, Jumat.
"Tapi tetap pemerintah boleh putuskan tetap di PT. KAI atau tidak. Dari studi kelayakan fase pertama, Jepang memang menginginkan BUMN baru karena bisnis yang sangat besar," kata dia.
Investor Jepang dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency/JICA), kata Deddy, baru saja merampungkan studi kelayakan fase pertama dari tiga fase yang direncanakan. Biaya untuk melakukan studi kelayakan tersebut senilai 15 juta dolar AS.
Studi kelayakan dari Jepang untuk fase pertama menghasilkan beberapa opsi pembangunan proyek senilai Rp60 triliun itu.
Menurut Deddy, dari studi fase pertama, rute kereta api cepat juga kemungkinan tidak hanya berhenti sampai di Bandung, tapi juga ke Cirebon, Semarang dan Surabaya.
Di Jakarta, akan bermula di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat dengan rel kereta api yang dibangun di bawah tanah. Dengan kereta api "Shinkansen" Indonesia ini, waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya 34 menit, dan Jakarta-Surabaya 2,5 jam.
Rencana rute kereta api cepat yang akan melewati Cirebon juga agar sarana perhubungan dapat terintegrasi dengan Bandara Kertajati yang sedang dibangun di Majalengka.
Deddy mengatakan manfaat ekonomi dari proyek ini akan sangat besar.
"Shinkansen itu banyak yang mengatakan hanya negara-negara dengan masyarakat menengah ke atas yang memiliki Shinkansen. Padahal tidak seperti itu. Dulu Jepang saat punya Shinkansen, 30 tahun yang lalu atau 25 tahun yang lalu, pendapatan per kapitanya tidak terlalu besar, tapi proyek ini bisa memboost-up ekonomi," kata dia.
Total investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini, dari studi kelayakan Jepang, sebesar Rp60 triliun. Dari skema yang ditawarkan Jepang, pemerintah juga diminta menanggung investasi sebesar 16 persen, selain BUMN pelaksana kereta api cepat sebesar 74 persen dan swasta 10 persen.
Peluang Kompetisi
Menurut Deddy, selain Jepang, pemerintah juga masih menunggu penawaran dari Tiongkok untuk bekerja sama mengerjakan proyek ini.
Deddy mengusulkan sebaiknya "kompetisi" pelaksana proyek tersebut juga dibuka untuk negara-negara lain agar Presiden Joko Widodo juga memperoleh banyak gambaran untuk proyek tersebut.
Menurut dia, pemerintah menargetkan dapat memutuskan siapa pelaksana proyek tersebut pada akhir 2015. Adapun awal pembangunan proyek tersebut diharapkan pemerintah dapat dimulai selambat-lambatnya pada 2019.
Pemerintah juga akan mempertimbangkan nilai keuntungan atau Financial Internal Rate of Return (FIRR) dari proyek itu. Hasil studi Jepang tentang proyek ini, nilai keuntungan BUMN pelaksana proyek ini akan cukup menguntungkan dalam estimasi waktu yang tidak terlalu lama.
Hal tersebut dikarenakan bunga yang ditawarkan dari Jepang cukup rendah di level 0,1 persen. Adapun, nilai FIRR untuk BUMN pelaksana proyek kereta api cepat ini dari studi kelayakan sebesar 0,97.
Namun, dalam mengambil keputusan, pemerintah juga akan mempertimbangkan nilai kebutuhan investasi yang ditawarkan Jepang dan Tiongkok, atau mitra lain yang tertarik dengan proyek ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015