Pontianak (Antara Kalbar) - Indonesia CPO Watch mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah tentang Penghimpunan Dana Perkebenunan karena hanya menyesengsarakan petani sawit di Indonesia.
Ketua Umum Indonesia CPO Watch, Bartholomeus Anikus dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Selasa, menyatakan kebijakan pungutan "Supporting Fund CPO" sebesar 50 dolar AS yang diambil dari setiap satu ton CPO yang akan diekspor, ternyata hanya akan menguntungkan empat perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia seperti PT Wilmar, PT Smart, Salim Group dan Group AstraAgri.
Ia menjelaskan, begini keuntungan dan akal-akalan mereka ketika mengusulkan pada pemerintah perlunya dibuat peraturan pungutan ekpor CPO yang bukan masuk kategori pungutan pajak tetapi masuk ke departemen pajak. Tetapi dihimpun di badan layanan umum dimana mereka punya hak menempatkan wakilnya untuk duduk di BLU yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
"Ternyata dana yang dihimpun dari pungutan ekpor CPO tersebut akan disalurkan lebih banyak untuk subsidi produsen biodiesel dari minyak CPO, yang mana keempat group bisnis tersebutlah yang paling besar memproduksi biodiesel, dan paling besar memiliki perkebunan di Indonesia," ungkapnya.
Itu, artinya sama saja kebijakan pungutan ekpor CPO yang sudah dibuat PP, yaitu lewat PP No. 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, dan Peraturan Presiden No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Berdampak pada penurunan pendapatan dan kemampuan pembayaran kredit para petani plasma sawit dan petani sawit mandiri, katanya.
"Skenario busuk lahirnya PP Penghimpunan Dana Perkebunan dari ekspor CPO bisa jadi merupakan cara perusahaan pemilik kebun sawit terbesar untuk menguasai kebun-kebun sawit milik petani plasma dan mandiri," ujarnya.
Sebab dengan dibebankannya pungutan ekspor CPO sebesar 50 dolar AS, maka pemilik pabrik kelapa sawit akan membebankan pada harga beli tandan buah segar sawit (TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun kebun milik petani.
Apalagi, menurut dia, dengan jatuhnya harga TBS akhirnya petani tidak bisa membayar kredit kepemilikan kebun plasma yang dipotong 30 persen setiap penjualan TBS, yang akhirnya petani terpaksa menjual kebun sawitnya pada pemilik kebun induk.
"Petani kemudian hanya menjadi buruh perkebunan dengan upah murah," kata Bartholomeus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
Ketua Umum Indonesia CPO Watch, Bartholomeus Anikus dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Selasa, menyatakan kebijakan pungutan "Supporting Fund CPO" sebesar 50 dolar AS yang diambil dari setiap satu ton CPO yang akan diekspor, ternyata hanya akan menguntungkan empat perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia seperti PT Wilmar, PT Smart, Salim Group dan Group AstraAgri.
Ia menjelaskan, begini keuntungan dan akal-akalan mereka ketika mengusulkan pada pemerintah perlunya dibuat peraturan pungutan ekpor CPO yang bukan masuk kategori pungutan pajak tetapi masuk ke departemen pajak. Tetapi dihimpun di badan layanan umum dimana mereka punya hak menempatkan wakilnya untuk duduk di BLU yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
"Ternyata dana yang dihimpun dari pungutan ekpor CPO tersebut akan disalurkan lebih banyak untuk subsidi produsen biodiesel dari minyak CPO, yang mana keempat group bisnis tersebutlah yang paling besar memproduksi biodiesel, dan paling besar memiliki perkebunan di Indonesia," ungkapnya.
Itu, artinya sama saja kebijakan pungutan ekpor CPO yang sudah dibuat PP, yaitu lewat PP No. 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, dan Peraturan Presiden No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Berdampak pada penurunan pendapatan dan kemampuan pembayaran kredit para petani plasma sawit dan petani sawit mandiri, katanya.
"Skenario busuk lahirnya PP Penghimpunan Dana Perkebunan dari ekspor CPO bisa jadi merupakan cara perusahaan pemilik kebun sawit terbesar untuk menguasai kebun-kebun sawit milik petani plasma dan mandiri," ujarnya.
Sebab dengan dibebankannya pungutan ekspor CPO sebesar 50 dolar AS, maka pemilik pabrik kelapa sawit akan membebankan pada harga beli tandan buah segar sawit (TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun kebun milik petani.
Apalagi, menurut dia, dengan jatuhnya harga TBS akhirnya petani tidak bisa membayar kredit kepemilikan kebun plasma yang dipotong 30 persen setiap penjualan TBS, yang akhirnya petani terpaksa menjual kebun sawitnya pada pemilik kebun induk.
"Petani kemudian hanya menjadi buruh perkebunan dengan upah murah," kata Bartholomeus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016