Pontiana (Antara Kalbar) - Ketua Korwil Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Kalimantan Barat Jasmin Sibarani mengatakan banyak perusahaan yang belum menerapkan aturan baru kenaikan upah minimum 11,5 persen mulai 1 Januari.

     "Dengan memperingati Hari Buruh pada 1 Mei ini, kita harapkan bisa membuka mata hati pemilik perusahaan yang masih belum kooperatif dengan nasib para buruh. Bayangkan saja, meski pemerintah sudah menaikkan UMR sebesar 11,5 persen, namun sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum menaikkan gaji karyawannya," kata Jasmin di Pontianak, Minggu.

    Dia mencontohkan, untuk Kota Pontianak di perusahaan PT Kota Niaga Raya dan PD Anugrah Fajar, dimana sampai saat ini pihaknya bersama buruh yang ada didua perusahaan itu masih bergumul untuk memperjuangkan kenaikan gaji.

    "Ditengah kenaikan harga bahan pokok yang terus terjadi saat ini, namun tidak diimbangi dengan kenaikan upah yang layak bagi para buruh. Tentu ini menjadi kenyataan yang sangat miris yang kita hadapi saat ini," tuturnya.

     Untuk itu, pihaknya meminta kepada setiap perusahaan yang ada di Kalimantan Barat agar lebih bisa memperhatikan nasib para buruh yang sudah memberikan kontribusi dalam mengembangkan usaha mereka.

    Selain itu, setiap perusahaan yang ada untuk tidak anti terhadap serikat buruh, karena serikat buruh hadir untuk menjalin hubungan kerja yang harmonis dengan pengusaha dengan cara membuat PKB yang disepakati bersama dimana hak dan kewajiban para pihak termaktub di dalam PKB tersebut.

    "Kami dari SBSI tetap konsisten melakukan sosialisasi dan konsolidasi supaya buruh berani berserikat dan memposisikan buruh setara dengan pengusaha untuk membuat kebijakan dalam mencapai keuntungan bersama," katanya.

     Di tempat yang sama, Sekretaris Korwil SBSI Kalbar, Aida Mochtar mengatakan pihaknya snagat mengharapkan diterapkannya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan yang penegakan hukumnya dinilai masih sangat lemah.

    "Contohnya, status buruh yang marak dengan buruh kontrak padahal mereka diperkerjakan pada proses produksi atau pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Itu sudah melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja", katanya.

    Status buruh itu, katanya, seharusnya sudah menjadi buruh tetap, itu dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang pekerjaan dilakukan secara terus menerus harus ditetapkan sebagai buruh tetap.

    Namun, hal itu tidak dilaksanakan oleh perusahaan, bahkan beberapa perusahaan yang tergolong nakal mengubah status buruh yang bekerja berpuluh tahun, tetap menjadi buruh kontrak.

    Perusahaan mengelak pembayaran uang pesangon atau uang pensiun dan hak-hak normatif sebagai status buruh tetap. "Praktik buruh kontrak ini terjadi karena tidak adanya penegakan hukum baik sanksi secara pidana maupun secara administratif," cetus Apoan.

     Padahal, menurut UU Tenaga Kerja pasal 183, 184 dan 185 pelanggaran terhadap UU Tenaga Kerja merupakan tindak pidana kejahatan. Disamping dijatuhkan sanksi pidana juga dikenakan sanksi administratif.

     "Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerja ini, sebenarnya cukup tegas untuk melindungi nasib buruh, namun di tingkat pelaksanaan dan penegekan hukumnya sangat memprihatinkan," kata Aida.

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016