Pontianak (Antara Kalbar) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Yohana Susana Yembise mengimbau para pemuda yang ada di Kalimantan Barat untuk tidak menikah muda, mengingat hal itu berdampak buruk bagi kesehatan.
"Pernikahan di usia terlalu muda dapat menyebabkan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Selain itu, menikah terlalu muda tentunya merenggut masa kanak-kanak, menghambat kesempatan anak untuk sekolah, hingga dampak ekonomi bagi pembangunan Indonesia," kata Yohana saat melakukan dialog bersama di Kota Pontianak, didampingi Sekda Pemprov Kalbar, M Zeet Hamdie Asyovie, Rabu.
Menurutnya, pernikahan usia dini terkadang juga didahului kasus kehamilan tindak diinginkan. Untuk itu, pendidikan seksual di sekolah atau kepada para anak atau remaja sangat penting.
Berdasarkan data, sebanyak 11,3 persen remaja perempuan telah menikah di usia 10 sampai 15 tahun dan 32 persen menikah di usia 16 sampai 18 tahun. Dari 43 persen remaja di bawah usia 18 ini sudah hamil saat menikah atau hamil setelah satu tahun menikah.
"Jika menikah terlalu muda, anak akan cenderung tidak mau lagi melanjutkan sekolah, sehingga anak sulit mendapat kesempatan bekerja yang lebih baik. Keuangan keluarga pun akan bermasalah," tuturnya.
Yohana mengingatkan kepada para orangtua untuk tidak membiarkan anak perempuan menikah di usia anak atau di bawah 18 tahun. Dia juga meminta agar anak-anak tidak menikah sebelum menamatkan pendidikannya terlebih dahulu agar bisa mendapat masa depan yang lebih baik.
Dalam kesempatan tersebut Yohana juga menanggapi berbagai permasalahan tentang pekerja anak, dijelaskannya kampanye menentang pekerja anak masih relevan terus didengungkan.
Hal ini karena secara global maupun di Indonesia sendiri, jumlah pekerja anak masih tinggi. Dalam konteks global, saat ini ada sekitar 168 juta anak-anak menjadi pekerja anak (ILO, 2014).
"Lebih dari setengahnya melakukan pekerjaan yang menempatkan kesehatan dan keselamatan mereka berisiko. Tingginya angka pekerja anak ini diikuti pula dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak jalanan," katanya.
Ditambahkannya, Komnas mencatat saat ini jumlah anak telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya hanya mencapai 4,5 juta.
Terkait pekerja anak ini, Indonesia menargetkan bebas dari pekerja anak pada 2020. Ada berbagai program yang dilakukan. Sejak 2002 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk Menghapus Pekerja Terburuk Anak (RAN-PK).
Sebagian pihak menganggap RAN ini tidak berhasil karena faktanya hingga sekarang jumlah pekerja anak masih saja tinggi, namun bukan berarti RAN ini tidak penting. RAN ini harusnya bisa menjadi panduan untuk mengoperasionalisasikan tujuan RAN ini ke sektor-sektor terkait di tingkat pusat maupun daerah.
Kelompok masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaruh perhatian pada isu pekerja anak, terutama yang di daerah-daerah sebaiknya menjadi pendamping perusahaan dan juga pekerja anak, sambil mengedukasi mereka tentang berbagai kebijakan terkait.
"Kampanye dari Pemerintah atau pun LSM terkait tentang pekerja anak harus lebih luas dilakukan, dengan harapan agar masyarakat luas nantinya bisa proaktif melapor ke polisi dan mengawasi keadaan sekitar, khususnya terhadap perusahaan di lingkungan setempat yang masih mempekerjakan anak," katanya.
Kemudian, lanjutnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) juga telah melakukan inisiasi terbentuknya Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia.
Asosiasi ini terdiri dari sejumlah perusahaan yang membuat kampanye agar perusahaan tak lagi mempekerjakan anak. Namun saat ini asosiasi belum maksimal karena baru diisi oleh perusahaan-perusahaan besar. Padahal, katanya, pekerja anak banyak terdapat pada perusahaan kecil dan mikro, untuk menyikapi hal ini, semua pihak memang harus mengambil peran.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus tegas menindak perusahaan yang masih mempekerjakan anak apalagi jika ditempatkan di pekerjaan dengan situasi terburuk.
"Saya berharap agar Forum Anak Daerah Kalimantan Barat yang sudah bekerja sangat baik keberadaannya di Kalbar, untuk ikut serta berperan aktif dalam mengkampanyekan atau mensosialisasikan agar tidak kawin muda serta tidak menjadi pekerja anak," harapnya.
(U.KR-RDO/N005)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Pernikahan di usia terlalu muda dapat menyebabkan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Selain itu, menikah terlalu muda tentunya merenggut masa kanak-kanak, menghambat kesempatan anak untuk sekolah, hingga dampak ekonomi bagi pembangunan Indonesia," kata Yohana saat melakukan dialog bersama di Kota Pontianak, didampingi Sekda Pemprov Kalbar, M Zeet Hamdie Asyovie, Rabu.
Menurutnya, pernikahan usia dini terkadang juga didahului kasus kehamilan tindak diinginkan. Untuk itu, pendidikan seksual di sekolah atau kepada para anak atau remaja sangat penting.
Berdasarkan data, sebanyak 11,3 persen remaja perempuan telah menikah di usia 10 sampai 15 tahun dan 32 persen menikah di usia 16 sampai 18 tahun. Dari 43 persen remaja di bawah usia 18 ini sudah hamil saat menikah atau hamil setelah satu tahun menikah.
"Jika menikah terlalu muda, anak akan cenderung tidak mau lagi melanjutkan sekolah, sehingga anak sulit mendapat kesempatan bekerja yang lebih baik. Keuangan keluarga pun akan bermasalah," tuturnya.
Yohana mengingatkan kepada para orangtua untuk tidak membiarkan anak perempuan menikah di usia anak atau di bawah 18 tahun. Dia juga meminta agar anak-anak tidak menikah sebelum menamatkan pendidikannya terlebih dahulu agar bisa mendapat masa depan yang lebih baik.
Dalam kesempatan tersebut Yohana juga menanggapi berbagai permasalahan tentang pekerja anak, dijelaskannya kampanye menentang pekerja anak masih relevan terus didengungkan.
Hal ini karena secara global maupun di Indonesia sendiri, jumlah pekerja anak masih tinggi. Dalam konteks global, saat ini ada sekitar 168 juta anak-anak menjadi pekerja anak (ILO, 2014).
"Lebih dari setengahnya melakukan pekerjaan yang menempatkan kesehatan dan keselamatan mereka berisiko. Tingginya angka pekerja anak ini diikuti pula dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak jalanan," katanya.
Ditambahkannya, Komnas mencatat saat ini jumlah anak telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya hanya mencapai 4,5 juta.
Terkait pekerja anak ini, Indonesia menargetkan bebas dari pekerja anak pada 2020. Ada berbagai program yang dilakukan. Sejak 2002 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk Menghapus Pekerja Terburuk Anak (RAN-PK).
Sebagian pihak menganggap RAN ini tidak berhasil karena faktanya hingga sekarang jumlah pekerja anak masih saja tinggi, namun bukan berarti RAN ini tidak penting. RAN ini harusnya bisa menjadi panduan untuk mengoperasionalisasikan tujuan RAN ini ke sektor-sektor terkait di tingkat pusat maupun daerah.
Kelompok masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaruh perhatian pada isu pekerja anak, terutama yang di daerah-daerah sebaiknya menjadi pendamping perusahaan dan juga pekerja anak, sambil mengedukasi mereka tentang berbagai kebijakan terkait.
"Kampanye dari Pemerintah atau pun LSM terkait tentang pekerja anak harus lebih luas dilakukan, dengan harapan agar masyarakat luas nantinya bisa proaktif melapor ke polisi dan mengawasi keadaan sekitar, khususnya terhadap perusahaan di lingkungan setempat yang masih mempekerjakan anak," katanya.
Kemudian, lanjutnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) juga telah melakukan inisiasi terbentuknya Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia.
Asosiasi ini terdiri dari sejumlah perusahaan yang membuat kampanye agar perusahaan tak lagi mempekerjakan anak. Namun saat ini asosiasi belum maksimal karena baru diisi oleh perusahaan-perusahaan besar. Padahal, katanya, pekerja anak banyak terdapat pada perusahaan kecil dan mikro, untuk menyikapi hal ini, semua pihak memang harus mengambil peran.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus tegas menindak perusahaan yang masih mempekerjakan anak apalagi jika ditempatkan di pekerjaan dengan situasi terburuk.
"Saya berharap agar Forum Anak Daerah Kalimantan Barat yang sudah bekerja sangat baik keberadaannya di Kalbar, untuk ikut serta berperan aktif dalam mengkampanyekan atau mensosialisasikan agar tidak kawin muda serta tidak menjadi pekerja anak," harapnya.
(U.KR-RDO/N005)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017