Long Bagun (Antara Kalbar) - Warga etnis Dayak di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, masih menjalankan tradisi menanam padi atau berladang dengan cara berpindah-pindah, karena sudah menjadi tradisi turun temurun.
"Ada beberapa etnis Dayak yang sampai sekarang masih memegang pola ladang berpindah, seperti kami dari Dayak Penihing atau Dayak Aoheng ini, kemudian ada Dayak Kenyah, Bahau Busang, Bukat, dan Dayak Seputan," ujar Mikail Poan, warga Kampung Long Bagun Ilir, saat ditemui Antara di Long Bagun, Kamis.
Ia menjelaskan, pola ladang berpindah bukan hanya dilakukan warga yang bermukim di Kecamatan Long Bagun, tetapi masih berlaku pula di kecamatan bagian hulu Long Bagun, yakni etnis yang menghuni Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai.
Poan yang dilahirkan di Kampung Tiong Ohang, Long Pahangai, menuturkan bahwa ada dua cara yang diterapkan dalam menjalankan tradisi ladang berpindah, yakni pola pertama adalah tiap tahun pindah ladang, namun masih di sekitar areal tersebut.
Pola kedua adalah seperti pola pertama tetapi dalam rentang waktu 10-20 tahun pindah ke lokasi yang jauh dengan membawa keluarga.
Menurutnya, pola kedua untuk zaman sekarang sudah jarang dilakukan, namun untuk pola pertama masih umum dilakukan oleh warga setempat.
"Makanya, jangan heran kalau ada orang Dayak yang tanahnya banyak sampai puluhan hektare, bahkan ratusan hektare, karena kami suka berpindah menanam padi dan berladang secara berpindah," ucap pria yang kini berusia hampir 60 tahun ini.
Pada tahun 1973, Poan bersama keluarga dan kelompoknya pindah dari Tiong Ohang ke Long Bagun. Saat itu mereka datang berombongan secara bertahap dengan total sebanyak 200 orang yang akhirnya menetap di Long Bagun.
Setiap keberangkatan ke hilir Sungai Mahakam dengan membawa sekitar 5-7 perahu per sekali perjalanan dengan muatan satu perahu antara 4-6 penumpang. Sedangkan waktu tempuh perjalanan dari Tiong Ohang ke Long Bagun sekitar satu minggu.
Ia juga mengatakan bahwa dalam pola berladang pindah-pindah ini juga ada tradisi "lembo", yakni menanam pohon buah-buahan sebagai tanda bahwa lahan tersebut sudah ada yang memiliki, sehingga orang lain tidak boleh mengambil lahan tersebut.
"Ketika kami menanam padi ladang dengan masa panen setahun sekali, di situ pula kebiasaan kami adalah menanam pohon buah berbagai jenis. Setelah menetap antara 10-20 tahun di lokasi tersebut, tentu pohon buah tersebut sudah besar, bahkan ada yang sudah berbuah," katanya.
Ketika pohon yang ditanam maupun biji buah-buahan yang ditebar asal sudah besar, lanjut dia, tentu di lokasi itu tidak bisa lagi ditanami padi sehingga mereka pindah lagi ke lokasi yang jauh untuk mencari lahan subur yang bisa menghasilkan padi berkualitas.
Ia menjelaskan bahwa semua warga setempat sudah mengetahui jika ada "lembo", maka tidak mau membuka ladang di situ karena pemiliknya suatu saat akan kembali untuk menengok atau berladang, namun buah di pohon yang ditanam orang beberapa tahun sebelumnya, boleh saja diambil karena hal itu sudah tradisi.
"Kamu nanti kalau ada waktu, bisa saya ajak ke kebun saya, banyak buah-buah-buahan yang bisa diambil, kolam ikan saya juga ada di kebun itu. Di hulu anak sungai tempat saya berladang itu ada juga yang mendulang emas secara tradisional," kata Poan sambil menawarkan kebaikannya untuk masak-masak dan makan bersama di kwbunnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Ada beberapa etnis Dayak yang sampai sekarang masih memegang pola ladang berpindah, seperti kami dari Dayak Penihing atau Dayak Aoheng ini, kemudian ada Dayak Kenyah, Bahau Busang, Bukat, dan Dayak Seputan," ujar Mikail Poan, warga Kampung Long Bagun Ilir, saat ditemui Antara di Long Bagun, Kamis.
Ia menjelaskan, pola ladang berpindah bukan hanya dilakukan warga yang bermukim di Kecamatan Long Bagun, tetapi masih berlaku pula di kecamatan bagian hulu Long Bagun, yakni etnis yang menghuni Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai.
Poan yang dilahirkan di Kampung Tiong Ohang, Long Pahangai, menuturkan bahwa ada dua cara yang diterapkan dalam menjalankan tradisi ladang berpindah, yakni pola pertama adalah tiap tahun pindah ladang, namun masih di sekitar areal tersebut.
Pola kedua adalah seperti pola pertama tetapi dalam rentang waktu 10-20 tahun pindah ke lokasi yang jauh dengan membawa keluarga.
Menurutnya, pola kedua untuk zaman sekarang sudah jarang dilakukan, namun untuk pola pertama masih umum dilakukan oleh warga setempat.
"Makanya, jangan heran kalau ada orang Dayak yang tanahnya banyak sampai puluhan hektare, bahkan ratusan hektare, karena kami suka berpindah menanam padi dan berladang secara berpindah," ucap pria yang kini berusia hampir 60 tahun ini.
Pada tahun 1973, Poan bersama keluarga dan kelompoknya pindah dari Tiong Ohang ke Long Bagun. Saat itu mereka datang berombongan secara bertahap dengan total sebanyak 200 orang yang akhirnya menetap di Long Bagun.
Setiap keberangkatan ke hilir Sungai Mahakam dengan membawa sekitar 5-7 perahu per sekali perjalanan dengan muatan satu perahu antara 4-6 penumpang. Sedangkan waktu tempuh perjalanan dari Tiong Ohang ke Long Bagun sekitar satu minggu.
Ia juga mengatakan bahwa dalam pola berladang pindah-pindah ini juga ada tradisi "lembo", yakni menanam pohon buah-buahan sebagai tanda bahwa lahan tersebut sudah ada yang memiliki, sehingga orang lain tidak boleh mengambil lahan tersebut.
"Ketika kami menanam padi ladang dengan masa panen setahun sekali, di situ pula kebiasaan kami adalah menanam pohon buah berbagai jenis. Setelah menetap antara 10-20 tahun di lokasi tersebut, tentu pohon buah tersebut sudah besar, bahkan ada yang sudah berbuah," katanya.
Ketika pohon yang ditanam maupun biji buah-buahan yang ditebar asal sudah besar, lanjut dia, tentu di lokasi itu tidak bisa lagi ditanami padi sehingga mereka pindah lagi ke lokasi yang jauh untuk mencari lahan subur yang bisa menghasilkan padi berkualitas.
Ia menjelaskan bahwa semua warga setempat sudah mengetahui jika ada "lembo", maka tidak mau membuka ladang di situ karena pemiliknya suatu saat akan kembali untuk menengok atau berladang, namun buah di pohon yang ditanam orang beberapa tahun sebelumnya, boleh saja diambil karena hal itu sudah tradisi.
"Kamu nanti kalau ada waktu, bisa saya ajak ke kebun saya, banyak buah-buah-buahan yang bisa diambil, kolam ikan saya juga ada di kebun itu. Di hulu anak sungai tempat saya berladang itu ada juga yang mendulang emas secara tradisional," kata Poan sambil menawarkan kebaikannya untuk masak-masak dan makan bersama di kwbunnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017