Pertumbuhan ekonomi Kalbar sejauh ini selain masih didorong konsumsi rumah tangga juga tidak terlepas dari peranan aktivitas ekspor dan lainnya. Ekspor yang ada didominasi oleh komoditas CPO, alumina dan karet.
Namun seiiring dengan kondisi ekonomi global yang masih belum membaik dan ditambah lagi adanya perang dagang antara raksasa ekonomi dunia, China dan Amerika Sarikat maka tidak bisa dihindari Indonesia pada umumnya dan Kalbar khususnya terdampak.
Jika belum ada resolusi perang dagang China dan Amerika Sarikat maka akan ada kontraksi permintaan dari negara tujuan ekspor Kalbar. Kemudian ekonomi Kalbar terutama kinerja ekspor yang selama ini mampu menahan gejolak tentu akan juga bisa terdampak.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Kalbar mencatat ekonomi Kalbar pada Triwulan III 2019 tumbuh sebesar 4,95 persen. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya memang ada tren penurunan, Triwulan I sebesar 5,17 persen dan Triwulan II sebesar 5,07 persen.
"Namun untuk Triwulan IV di proyeksi akan lebih baik dari triwulan sebelumnya di tahun ini," ujar Kepala Fungsi Asesmen Ekonomi Surveilans KPw BI Kalbar, Miftahul Huda saat menjadi narasumber dalam kegiatan Forum Komunikasi Jurnalis BI di Singkawang, Minggu (17/11).
Kinerja perekonomian Kalbar pada triwulan III 2019 melambat didorong oleh perlambatan permintaan domestik, utamanya pada konsumsi rumah tangga sebagaimana pola historis akibat normalisasi permintaan pasca Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) di triwulan sebelumnya.
Padahal sumber pertumbuhan dari sisi pengeluaran di Kalbar hingga kini konsumsi rumah tangga menjadi primadona dengan andil terbesar 3,09 persen dari empat sumber lainnya, konsumsi pemerintah, investasi, ekspor dan impor.
Adanya penurunan sumber primadona ekonomi Kalbar tersebut tidak terlepas dari kenaikan tiket pesawat sejak awal tahun. Tiket naik dampaknya juga terhadap aktivitas berpergian atau berwisata serta lainnya. Sehingga konsumsi rumah tangga tidak selaju dari tahun sebelumnya.
"Secara historis dan pola yang ada pada Triwulan III memang sedikit penurunan karena pada periode tersebut tidak ada kegiatan wisata yang besar dan hari besar keagamaan yang mampu mendorong konsumsi rumah tangga yang tinggi," kata dia.
Sedangkan perlambatan ekonomi Kalbar Triwulan III 2019 lebih jauh tertahan oleh masih meningkatnya kinerja ekspor didukung oleh harga komoditas dunia yang masih cukup baik.
Sementara dari sisi lapangan usaha, kontraksi pertumbuhan pada konstruksi sebagai dampak dari melambat nya kinerja investasi menyebabkan perlambatan ekonomi Kalbar. Sumber pertumbuhan ekonomi Kalbar pada Triwulan III 2019 dari sisi lapangan usaha masih didominasi sektor pertanian sebesar 1,80 persen.
Miftahul menyebutkan Kalbar harus terus mendongkrak nilai ekspor nya. Meskipun di Triwulan III 2019 neraca perdagangan Kalbar masih mencatat surplus 0,88 miliar dolar AS. Nilai ekspor Kalbar sampai September 2019 sebesar 1,19 miliar dolar AS dan nilai impor sebesar 0,30 miliar dolar AS.
Apalagi jika tahun depan Pelabuhan Internasional Kijing di Mempawah sebagaimana target operasional sudah dilakukan maka itu akan menjadi pintu untuk meningkatkan ekspor Kalbar. Melalui Pelabuhan Kijing maka akan ada efisiensi produk sehingga memberikan nilai tambah lebih.
Dari sisi impor, jika masih tidak ada resolusi perang dagang China dan Amerika Sarikat maka Kalbar harus mengerem impor tersebut.
Solusi yang bisa diambil untuk mengerem impor terutama untuk konsumsi rumah tangga contohnya yakni menghadirkan barang subsitusi atau menghadirkan barang pengganti seperti tepung gandum diganti dengan tepung mocaf. Bagaimana juga terus mendorong cintai produk dalam negeri. Impor Kalbar kecil dan ekspor kita kencang maka akan surplus maksimal," jelas dia.
Dari sisi inflasi, Kalbar sejauh ini relatif stabil dan terkendali. Untuk inflasi bulanan, Oktober 2019 contohnya inflasi Kalbar hanya sebesar 0,04 persen. Meskipun angka tersebut masih di atas inflasi nasional yang hanya sebesar 0,02 persen.
Kemudian untuk inflasi tahunan Oktober 2019 inflasi di Kalbar sebesar 3,50 persen dan masih di atas inflasi nasional yang hanya 3,12 persen.
"Inflasi masih terkendali sesuai dengan rentang target inflasi nasional. Di Kalbar komoditas dari bahan makanan masih menjadi perhatian terhadap penyumbang inflasi. Sedangkan komoditas yang harganya diatur pemerintah seiring upaya pengendalian tarif angkutan udara berdampak pada tekanan inflasi yang lebih rendah," jelas dia.
Untuk perkembangan stabilitas sistem keuangan di Kalbar sendiri Triwulan III 2019 dilihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp59,43 triliun. Angka tersebut tumbuh sebesar 8,80 persen (yoy). Namun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 11,61 persen (yoy).
Komponen DPK terdiri dari tabungan dengan andil sebesar 50, 84 persen, deposito 33,34 persen dan giro 15,82 persen.
Perlambatan yang ada didorong oleh melambat nya pertumbuhan tabungan dan deposito yang menyumbang pangsa terbesar dalam DPK di Kalbar.
Pengumpulan DPK di Kalbar masih didominasi oleh bank konvensional sebesar 95 persen dan terkonsentrasi di Pontianak dengan proporsi hingga 48,67 persen.
Untuk total kredit sendiri sebesar Rp78,11 triliun atau tumbuh sebesar 4,48 persen (yoy). Angka yang ada melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,63 (yoy).
Perlambatan ini didorong oleh melambat nya pertumbuhan kredit pada sektor ekonomi utama di Kalbar seperti pertanian industri dan perdagangan.
Dari sisi kualitas kredit di Kalbar cukup baik dengan kredit macet atau NPL yang relatif rendah. NPL berdasarkan penggunaannya, untuk umum di kisaran 1,20 persen, modal kerja 1,44 persen, investasi 0,49 persen dan konsumsi 1,20 persen.
"Secara sektoral sektor lainnya menyumbang NPL terbesar kualitas kredit juga cukup terjaga pada tingkat rumah tangga, korporasi dan UMKM di tengah kinerja kredit yang melambat di tingkat RT dan korporasi melambat," Miftahul.
Tantangan Kalbar
Pengamat ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof Eddy Suratman menyebutkan perlambatan ekonomi dunia masih menjadi tantangan pertumbuhan di Kalbar bahkan nasional pada 2020 mendatang. Sehingga harus menjadi perhatian khususnya bagi Kabinet Indonesia Maju saat ini.
Eddy menyebutkan tahun ini ditargetkan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,9 persen dan kemungkinan hanya tercapai 3,7 persen saja. Sementara negara maju yang umumnya memiliki hubungan dengan Kalbar mengalami pertumbuhan seperti China cenderung turun bahkan diprediksikan tahun ini hanya 6,1 persen.
Ekonomi Amerika Serikat juga diprediksikan juga turun, Eropa juga begitu dan Jepang. Semua negara tersebut berhubungan langsung dengan Kalbar karena tujuan ekspor Kalbar. Sehingga dengan begitu tatanan ekonomi bisa terganggu.
Jika dengan daya beli tujuan ekspor Kalbar turun maka maka permintaan ke Kalbar dipastikan menurun pula. Hal itu tentu menjadi tantangan daerah dan kabinet pemerintahan baru di bawah presiden dan wakil presiden, Joko Widodo - Ma'ruf Amin.
Saat ini dari sisi moneter Indonesia cukup baik karena Bank Indonesia mempertahankan suku bunga tetap 5 persen. Suku bunga acuan yang rendah bisa memicu sektor rill karena investasi bisa meningkat.
Suku bunga rendah biaya investasi murah. Investasi masuk maka kesempatan kerja terbuka lebar, bahan baku terserap dan produksi bisa meningkat sehingga ekonomi bisa membaik.
Sementara dari sisi kebijakan fisikal dengan tantangan yang ada harus memperhatikan soal pajak. Pajak yang ada jangan terlalu ketat dan jika ada peluang untuk diturunkan maka lebih baik diturunkan. Pajak diturunkan agar bisa membuat ekonomi menggeliat. Pelaku usaha dapat bertahan dan mengembangkan dirinya dengan kebijakan pemerintah yang ada.
Selain itu perlu kebijakan fisikal berupa pemberian subsidi dan diarahkan ke hal yang tepat sasaran seperti ke petani. Pemerintah harus jelas mengarahkan subsidi agar tidak ada tumbang tindih antara kabupaten, provinsi dan pusat.
"Alokasi subsidi harus tepat sasaran. Saat ini perlu diberikan subsidi dengan maksimal dengan tantangan yang ada yakni ke petani. Kita tahun saat ini nilai tukar petani semakin turun. Hal itu menunjukkan sektor itu harus diperhatikan dengan subsidi," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
Namun seiiring dengan kondisi ekonomi global yang masih belum membaik dan ditambah lagi adanya perang dagang antara raksasa ekonomi dunia, China dan Amerika Sarikat maka tidak bisa dihindari Indonesia pada umumnya dan Kalbar khususnya terdampak.
Jika belum ada resolusi perang dagang China dan Amerika Sarikat maka akan ada kontraksi permintaan dari negara tujuan ekspor Kalbar. Kemudian ekonomi Kalbar terutama kinerja ekspor yang selama ini mampu menahan gejolak tentu akan juga bisa terdampak.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Kalbar mencatat ekonomi Kalbar pada Triwulan III 2019 tumbuh sebesar 4,95 persen. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya memang ada tren penurunan, Triwulan I sebesar 5,17 persen dan Triwulan II sebesar 5,07 persen.
"Namun untuk Triwulan IV di proyeksi akan lebih baik dari triwulan sebelumnya di tahun ini," ujar Kepala Fungsi Asesmen Ekonomi Surveilans KPw BI Kalbar, Miftahul Huda saat menjadi narasumber dalam kegiatan Forum Komunikasi Jurnalis BI di Singkawang, Minggu (17/11).
Kinerja perekonomian Kalbar pada triwulan III 2019 melambat didorong oleh perlambatan permintaan domestik, utamanya pada konsumsi rumah tangga sebagaimana pola historis akibat normalisasi permintaan pasca Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) di triwulan sebelumnya.
Padahal sumber pertumbuhan dari sisi pengeluaran di Kalbar hingga kini konsumsi rumah tangga menjadi primadona dengan andil terbesar 3,09 persen dari empat sumber lainnya, konsumsi pemerintah, investasi, ekspor dan impor.
Adanya penurunan sumber primadona ekonomi Kalbar tersebut tidak terlepas dari kenaikan tiket pesawat sejak awal tahun. Tiket naik dampaknya juga terhadap aktivitas berpergian atau berwisata serta lainnya. Sehingga konsumsi rumah tangga tidak selaju dari tahun sebelumnya.
"Secara historis dan pola yang ada pada Triwulan III memang sedikit penurunan karena pada periode tersebut tidak ada kegiatan wisata yang besar dan hari besar keagamaan yang mampu mendorong konsumsi rumah tangga yang tinggi," kata dia.
Sedangkan perlambatan ekonomi Kalbar Triwulan III 2019 lebih jauh tertahan oleh masih meningkatnya kinerja ekspor didukung oleh harga komoditas dunia yang masih cukup baik.
Sementara dari sisi lapangan usaha, kontraksi pertumbuhan pada konstruksi sebagai dampak dari melambat nya kinerja investasi menyebabkan perlambatan ekonomi Kalbar. Sumber pertumbuhan ekonomi Kalbar pada Triwulan III 2019 dari sisi lapangan usaha masih didominasi sektor pertanian sebesar 1,80 persen.
Miftahul menyebutkan Kalbar harus terus mendongkrak nilai ekspor nya. Meskipun di Triwulan III 2019 neraca perdagangan Kalbar masih mencatat surplus 0,88 miliar dolar AS. Nilai ekspor Kalbar sampai September 2019 sebesar 1,19 miliar dolar AS dan nilai impor sebesar 0,30 miliar dolar AS.
Apalagi jika tahun depan Pelabuhan Internasional Kijing di Mempawah sebagaimana target operasional sudah dilakukan maka itu akan menjadi pintu untuk meningkatkan ekspor Kalbar. Melalui Pelabuhan Kijing maka akan ada efisiensi produk sehingga memberikan nilai tambah lebih.
Dari sisi impor, jika masih tidak ada resolusi perang dagang China dan Amerika Sarikat maka Kalbar harus mengerem impor tersebut.
Solusi yang bisa diambil untuk mengerem impor terutama untuk konsumsi rumah tangga contohnya yakni menghadirkan barang subsitusi atau menghadirkan barang pengganti seperti tepung gandum diganti dengan tepung mocaf. Bagaimana juga terus mendorong cintai produk dalam negeri. Impor Kalbar kecil dan ekspor kita kencang maka akan surplus maksimal," jelas dia.
Dari sisi inflasi, Kalbar sejauh ini relatif stabil dan terkendali. Untuk inflasi bulanan, Oktober 2019 contohnya inflasi Kalbar hanya sebesar 0,04 persen. Meskipun angka tersebut masih di atas inflasi nasional yang hanya sebesar 0,02 persen.
Kemudian untuk inflasi tahunan Oktober 2019 inflasi di Kalbar sebesar 3,50 persen dan masih di atas inflasi nasional yang hanya 3,12 persen.
"Inflasi masih terkendali sesuai dengan rentang target inflasi nasional. Di Kalbar komoditas dari bahan makanan masih menjadi perhatian terhadap penyumbang inflasi. Sedangkan komoditas yang harganya diatur pemerintah seiring upaya pengendalian tarif angkutan udara berdampak pada tekanan inflasi yang lebih rendah," jelas dia.
Untuk perkembangan stabilitas sistem keuangan di Kalbar sendiri Triwulan III 2019 dilihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp59,43 triliun. Angka tersebut tumbuh sebesar 8,80 persen (yoy). Namun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 11,61 persen (yoy).
Komponen DPK terdiri dari tabungan dengan andil sebesar 50, 84 persen, deposito 33,34 persen dan giro 15,82 persen.
Perlambatan yang ada didorong oleh melambat nya pertumbuhan tabungan dan deposito yang menyumbang pangsa terbesar dalam DPK di Kalbar.
Pengumpulan DPK di Kalbar masih didominasi oleh bank konvensional sebesar 95 persen dan terkonsentrasi di Pontianak dengan proporsi hingga 48,67 persen.
Untuk total kredit sendiri sebesar Rp78,11 triliun atau tumbuh sebesar 4,48 persen (yoy). Angka yang ada melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,63 (yoy).
Perlambatan ini didorong oleh melambat nya pertumbuhan kredit pada sektor ekonomi utama di Kalbar seperti pertanian industri dan perdagangan.
Dari sisi kualitas kredit di Kalbar cukup baik dengan kredit macet atau NPL yang relatif rendah. NPL berdasarkan penggunaannya, untuk umum di kisaran 1,20 persen, modal kerja 1,44 persen, investasi 0,49 persen dan konsumsi 1,20 persen.
"Secara sektoral sektor lainnya menyumbang NPL terbesar kualitas kredit juga cukup terjaga pada tingkat rumah tangga, korporasi dan UMKM di tengah kinerja kredit yang melambat di tingkat RT dan korporasi melambat," Miftahul.
Tantangan Kalbar
Pengamat ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof Eddy Suratman menyebutkan perlambatan ekonomi dunia masih menjadi tantangan pertumbuhan di Kalbar bahkan nasional pada 2020 mendatang. Sehingga harus menjadi perhatian khususnya bagi Kabinet Indonesia Maju saat ini.
Eddy menyebutkan tahun ini ditargetkan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,9 persen dan kemungkinan hanya tercapai 3,7 persen saja. Sementara negara maju yang umumnya memiliki hubungan dengan Kalbar mengalami pertumbuhan seperti China cenderung turun bahkan diprediksikan tahun ini hanya 6,1 persen.
Ekonomi Amerika Serikat juga diprediksikan juga turun, Eropa juga begitu dan Jepang. Semua negara tersebut berhubungan langsung dengan Kalbar karena tujuan ekspor Kalbar. Sehingga dengan begitu tatanan ekonomi bisa terganggu.
Jika dengan daya beli tujuan ekspor Kalbar turun maka maka permintaan ke Kalbar dipastikan menurun pula. Hal itu tentu menjadi tantangan daerah dan kabinet pemerintahan baru di bawah presiden dan wakil presiden, Joko Widodo - Ma'ruf Amin.
Saat ini dari sisi moneter Indonesia cukup baik karena Bank Indonesia mempertahankan suku bunga tetap 5 persen. Suku bunga acuan yang rendah bisa memicu sektor rill karena investasi bisa meningkat.
Suku bunga rendah biaya investasi murah. Investasi masuk maka kesempatan kerja terbuka lebar, bahan baku terserap dan produksi bisa meningkat sehingga ekonomi bisa membaik.
Sementara dari sisi kebijakan fisikal dengan tantangan yang ada harus memperhatikan soal pajak. Pajak yang ada jangan terlalu ketat dan jika ada peluang untuk diturunkan maka lebih baik diturunkan. Pajak diturunkan agar bisa membuat ekonomi menggeliat. Pelaku usaha dapat bertahan dan mengembangkan dirinya dengan kebijakan pemerintah yang ada.
Selain itu perlu kebijakan fisikal berupa pemberian subsidi dan diarahkan ke hal yang tepat sasaran seperti ke petani. Pemerintah harus jelas mengarahkan subsidi agar tidak ada tumbang tindih antara kabupaten, provinsi dan pusat.
"Alokasi subsidi harus tepat sasaran. Saat ini perlu diberikan subsidi dengan maksimal dengan tantangan yang ada yakni ke petani. Kita tahun saat ini nilai tukar petani semakin turun. Hal itu menunjukkan sektor itu harus diperhatikan dengan subsidi," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019