Minggu pagi itu (23/2), orang-orang Gwangju di daerah selatan Korea Selatan gempar membicarakan kabar tentang seorang pria muda berusia 24 tahun yang pingsan di terminal bus lokal karena diduga terinfeksi virus corona.
Menurut kabar, pria tersebut baru saja mengunjungi Kota Daegu yang selama dua hari terakhir jadi bahan perbincangan internasional karena mengalami lonjakan ratusan pasien COVID-19 dalam hitungan jam. Gwangju dan Daegu hanya berjarak 177 km.
"Jangan ke terminal bus."
"Terminal sudah tidak aman."
"Kalau mau keluar Gwangju lebih baik lewat jalur kereta atau udara."
Bersahutan bunyi peringatan mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia yang tengah kuliah di Gwangju dalam sebuah percakapan daring pagi itu.
Dengan berbekal doa yang menurut salah satu pejabat tinggi di Indonesia ampuh menghalau virus, sumber ANTARA memutuskan berangkat bersepeda untuk melihat terminal utama kota tersebut dari dekat. Tapi doa tentu saja harus disertai dengan usaha sehingga ia mempersenjatai diri dengan masker tebal dan disinfektan tangan.
Bersepeda ke terminal melewati anak Sungai Yeongsan seharusnya cukup menyenangkan karena hari itu cuaca cerah dengan suhu hangat 10 derajat. Apalagi waktu tempuh hanya 30 menit dari asrama mahasiswa Universitas Nasional Chonnam, tempat ia tinggal satu setengah tahun terakhir.
Tujuan pertama sebelum ke terminal adalah Gereja Shincheonji yang berjarak sekitar 100 meter dari kampus Universitas Nasional Chonnam, lokasi banyak mahasiswa Indonesia mengejar gelar master dan doktor. Ini gereja yang sedang menjadi huru-hara di media massa karena ratusan pengikutnya positif terjangkit corona.
Korea Selatan melaporkan total pasien terinfeksi virus corona di negara itu menjadi 763 orang menurut data Senin (24/2), sehari setelah pemerintah meningkatkan peringatan ke level tertinggi penyakit menular.
Dari kasus tersebut 115 diantaranya terkait dengan kebaktian gereja di Kota Daegu setelah jemaat perempuan berusia 61 tahun yang disebut "pasien 31" terbukti positif COVID-19.
Korea Selatan juga melaporkan korban meninggal COVID-19 ketujuh, seorang pria berusia 62 tahun dari rumah sakit di Cheongdo, daerah yang juga mengalami lonjakan kasus terkonfirmasi.
Biasanya pada hari Minggu Gereja Shincheonji padat oleh para jemaat yang rapi jali dengan pakaian hitam putih. Selain itu, mobil-mobil mereka juga memenuhi parkiran depan asrama mahasiswa Chonnam.
Tapi pada Minggu ini, tak ada satu pun jemaat yang terlihat berada di sana karena pemerintah sudah melarang segala bentuk aktivitas Shincheonji sejak Sabtu (22/2) .
"Bahaya," demikian tertera tulisan dalam pita merah di pintu masuk gereja. Membaca tulisan ini, ada sedikit perasaan menyesal dan gentar yang dirasakan oleh mahasiswa semester akhir itu, kenapa begitu nekat mendekat mara.
Tapi dayung terlanjur dikayuh, pantang mundur meski nyali sedikit ciut.
Sepanjang perjalanan menuju terminal, jalanan memang terlihat lebih sepi dari biasanya. Halte-halte bus kota kosong, hanya tampak satu-dua orang duduk dalam bus merah yang biasanya penuh sesak oleh manusia.
Sementara itu di pinggir sungai, beberapa orang berjalan-jalan menikmati sinar matahari yang lama tak nampak sepanjang musim dingin yang baru saja berakhir. Namun mereka juga tetap terlihat berhati-hati dengan memakai masker tebal dan menjaga jarak satu sama lain.
Perasaan semakin tak menentu mendera saat ia tiba di terminal, terutama ketika melewati kerumunan perokok di area pintu masuk karena beberapa orang tampak batuk dan meludah saat menghisap tembakau. Kebiasaan para perokok ini sebetulnya adalah pemandangan lazim namun di bawah bayang-bayang virus corona, semua menjadi tampak lebih menegangkan.
Namun keadaan yang mengejutkan justru tampak di dalam terminal. Jauh dari kesan sepi dan hening, situasi di terminal itu justru tampak normal, kecuali tutupnya loket berpenjaga petugas dan hanya loket mesin otomatis yang tetap beroperasi. Di sini, ratusan orang masih mengantri menunggu bus dan beberapa di antara mereka nampak duduk di depan pintu gerbang bus menuju Daegu. Kota Daegu dinyatakan berada dalam keadaan darurat oleh Pemerintah Korea Selatan namun warga masih diizinkan untuk masuk dan keluar kota itu dengan bebas.
Ranjau corona
Mengelilingi terminal yang baru saja dikunjungi orang pingsan dari Daegu itu -- meskipun belum ada konfirmasi resmi bahwa pria tersebut terjangkit COVID-19 dan otoritas kesehatan sudah mensterilkan terminal sejak pagi -- seperti berjalan di medan penuh ranjau.
Otomatis mata sibuk memindai wajah-wajah pucat di balik masker, menjauh saat mendengar batuk, dan membasuh tangan dengan disinfektan setiap kali membuka pintu-pintu terminal. Aktivitas bersahaja menjadi seperti menonton film perang. Tegang.
Tapi sumber ANTARA tidak sendirian dalam upayanya berkelit dari ranjau corona. Di Gwangju, orang-orang Indonesia menggunakan dan berbagi semua sumber daya informasi lengkap yang disediakan oleh pemerintah Korea Selatan.
Salah satu sumber daya tersebut adalah laman [coronomap.site] yang melacak semua tempat-tempat yang pernah dikunjungi pasien COVID-19. Dari titik-titik dalam peta itu, warga Indonesia di Korea Selatan bisa mengetahui tempat-tempat yang haram dikunjungi berlama-lama.
"Kami sering membagi informasi penting ini di grup WhatsApp untuk saling mengingatkan," kata Ardiansyah, mahasiswa doktoral di Universitas Nasional Chonnam asal Sragen.
Karena sumber daya lengkap itu, Ardi mengaku tidak panik membaca berita-berita menyeramkan tentang corona di Korea Selatan yang kini menjadi negara dengan tingkat infeksi corona tertinggi kedua di dunia setelah China.
Ia mencontohkan bagaimana otoritas setempat sudah memeriksa lebih dari 20.000 orang yang diduga terpapar corona dan hanya sekitar 600 yang positif terinveksi.
"Dengan prosentase yang kecil ini, kami sebenarnya masih aman," kata Ardi yang mengaku geram mambaca berita-berita berlebihan di Indonesia yang membuat panik para orang tua di tanah air.
Waspada tapi tenang
Kunjungan di terminal berlangsung tidak lebih dari lima menit karena memang terlalu berbahaya berlama-lama di tengah keramaian. Namun sebelum mengakhiri hari, tidak ada salahnya bersepeda ke pusat kota kawasan pusat belanja.
Seperti yang sudah diperkirakan, situasi sepi meski toko-toko masih tetap buka. Pelataran Asia Culture Center yang biasanya menjadi arena permainan selancar dan musik anak-anak muda terlihat kosong meski ada beberapa orang yang melintas dengan tergesa-gesa.
Tapi keadaan ini, tidak semencekam berita-berita yang tersiar selama dua hari terakhir dan kata "kiamat" (apocalypse) yang digunakan Reuters untuk merujuk situasi Daegu tidak tercermin di Gwangju, yang berbatasan dengan kota itu.
Sebagian orang di Gwangju mendatangi keramaian di terminal atau menikmati matahari hangat di pinggir anak Sungai Yeongsan. Mereka, sebagaimana juga warga Indonesia di kota yang sama, tidak menunjukkan ketakutan berlebihan terhadap paparan corona.
Mereka waspada tapi tetap tenang.
Baca juga: Hoaks corona, masyarakat harus bijak dalam memilih informasi
Baca juga: Otoritas Hong Kong hukum WNI yang mencuri ribuan masker
Baca juga: PT WHW laksanakan prosedur pencegahan COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
Menurut kabar, pria tersebut baru saja mengunjungi Kota Daegu yang selama dua hari terakhir jadi bahan perbincangan internasional karena mengalami lonjakan ratusan pasien COVID-19 dalam hitungan jam. Gwangju dan Daegu hanya berjarak 177 km.
"Jangan ke terminal bus."
"Terminal sudah tidak aman."
"Kalau mau keluar Gwangju lebih baik lewat jalur kereta atau udara."
Bersahutan bunyi peringatan mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia yang tengah kuliah di Gwangju dalam sebuah percakapan daring pagi itu.
Dengan berbekal doa yang menurut salah satu pejabat tinggi di Indonesia ampuh menghalau virus, sumber ANTARA memutuskan berangkat bersepeda untuk melihat terminal utama kota tersebut dari dekat. Tapi doa tentu saja harus disertai dengan usaha sehingga ia mempersenjatai diri dengan masker tebal dan disinfektan tangan.
Bersepeda ke terminal melewati anak Sungai Yeongsan seharusnya cukup menyenangkan karena hari itu cuaca cerah dengan suhu hangat 10 derajat. Apalagi waktu tempuh hanya 30 menit dari asrama mahasiswa Universitas Nasional Chonnam, tempat ia tinggal satu setengah tahun terakhir.
Tujuan pertama sebelum ke terminal adalah Gereja Shincheonji yang berjarak sekitar 100 meter dari kampus Universitas Nasional Chonnam, lokasi banyak mahasiswa Indonesia mengejar gelar master dan doktor. Ini gereja yang sedang menjadi huru-hara di media massa karena ratusan pengikutnya positif terjangkit corona.
Korea Selatan melaporkan total pasien terinfeksi virus corona di negara itu menjadi 763 orang menurut data Senin (24/2), sehari setelah pemerintah meningkatkan peringatan ke level tertinggi penyakit menular.
Dari kasus tersebut 115 diantaranya terkait dengan kebaktian gereja di Kota Daegu setelah jemaat perempuan berusia 61 tahun yang disebut "pasien 31" terbukti positif COVID-19.
Korea Selatan juga melaporkan korban meninggal COVID-19 ketujuh, seorang pria berusia 62 tahun dari rumah sakit di Cheongdo, daerah yang juga mengalami lonjakan kasus terkonfirmasi.
Biasanya pada hari Minggu Gereja Shincheonji padat oleh para jemaat yang rapi jali dengan pakaian hitam putih. Selain itu, mobil-mobil mereka juga memenuhi parkiran depan asrama mahasiswa Chonnam.
Tapi pada Minggu ini, tak ada satu pun jemaat yang terlihat berada di sana karena pemerintah sudah melarang segala bentuk aktivitas Shincheonji sejak Sabtu (22/2) .
"Bahaya," demikian tertera tulisan dalam pita merah di pintu masuk gereja. Membaca tulisan ini, ada sedikit perasaan menyesal dan gentar yang dirasakan oleh mahasiswa semester akhir itu, kenapa begitu nekat mendekat mara.
Tapi dayung terlanjur dikayuh, pantang mundur meski nyali sedikit ciut.
Sepanjang perjalanan menuju terminal, jalanan memang terlihat lebih sepi dari biasanya. Halte-halte bus kota kosong, hanya tampak satu-dua orang duduk dalam bus merah yang biasanya penuh sesak oleh manusia.
Sementara itu di pinggir sungai, beberapa orang berjalan-jalan menikmati sinar matahari yang lama tak nampak sepanjang musim dingin yang baru saja berakhir. Namun mereka juga tetap terlihat berhati-hati dengan memakai masker tebal dan menjaga jarak satu sama lain.
Perasaan semakin tak menentu mendera saat ia tiba di terminal, terutama ketika melewati kerumunan perokok di area pintu masuk karena beberapa orang tampak batuk dan meludah saat menghisap tembakau. Kebiasaan para perokok ini sebetulnya adalah pemandangan lazim namun di bawah bayang-bayang virus corona, semua menjadi tampak lebih menegangkan.
Namun keadaan yang mengejutkan justru tampak di dalam terminal. Jauh dari kesan sepi dan hening, situasi di terminal itu justru tampak normal, kecuali tutupnya loket berpenjaga petugas dan hanya loket mesin otomatis yang tetap beroperasi. Di sini, ratusan orang masih mengantri menunggu bus dan beberapa di antara mereka nampak duduk di depan pintu gerbang bus menuju Daegu. Kota Daegu dinyatakan berada dalam keadaan darurat oleh Pemerintah Korea Selatan namun warga masih diizinkan untuk masuk dan keluar kota itu dengan bebas.
Ranjau corona
Mengelilingi terminal yang baru saja dikunjungi orang pingsan dari Daegu itu -- meskipun belum ada konfirmasi resmi bahwa pria tersebut terjangkit COVID-19 dan otoritas kesehatan sudah mensterilkan terminal sejak pagi -- seperti berjalan di medan penuh ranjau.
Otomatis mata sibuk memindai wajah-wajah pucat di balik masker, menjauh saat mendengar batuk, dan membasuh tangan dengan disinfektan setiap kali membuka pintu-pintu terminal. Aktivitas bersahaja menjadi seperti menonton film perang. Tegang.
Tapi sumber ANTARA tidak sendirian dalam upayanya berkelit dari ranjau corona. Di Gwangju, orang-orang Indonesia menggunakan dan berbagi semua sumber daya informasi lengkap yang disediakan oleh pemerintah Korea Selatan.
Salah satu sumber daya tersebut adalah laman [coronomap.site] yang melacak semua tempat-tempat yang pernah dikunjungi pasien COVID-19. Dari titik-titik dalam peta itu, warga Indonesia di Korea Selatan bisa mengetahui tempat-tempat yang haram dikunjungi berlama-lama.
"Kami sering membagi informasi penting ini di grup WhatsApp untuk saling mengingatkan," kata Ardiansyah, mahasiswa doktoral di Universitas Nasional Chonnam asal Sragen.
Karena sumber daya lengkap itu, Ardi mengaku tidak panik membaca berita-berita menyeramkan tentang corona di Korea Selatan yang kini menjadi negara dengan tingkat infeksi corona tertinggi kedua di dunia setelah China.
Ia mencontohkan bagaimana otoritas setempat sudah memeriksa lebih dari 20.000 orang yang diduga terpapar corona dan hanya sekitar 600 yang positif terinveksi.
"Dengan prosentase yang kecil ini, kami sebenarnya masih aman," kata Ardi yang mengaku geram mambaca berita-berita berlebihan di Indonesia yang membuat panik para orang tua di tanah air.
Waspada tapi tenang
Kunjungan di terminal berlangsung tidak lebih dari lima menit karena memang terlalu berbahaya berlama-lama di tengah keramaian. Namun sebelum mengakhiri hari, tidak ada salahnya bersepeda ke pusat kota kawasan pusat belanja.
Seperti yang sudah diperkirakan, situasi sepi meski toko-toko masih tetap buka. Pelataran Asia Culture Center yang biasanya menjadi arena permainan selancar dan musik anak-anak muda terlihat kosong meski ada beberapa orang yang melintas dengan tergesa-gesa.
Tapi keadaan ini, tidak semencekam berita-berita yang tersiar selama dua hari terakhir dan kata "kiamat" (apocalypse) yang digunakan Reuters untuk merujuk situasi Daegu tidak tercermin di Gwangju, yang berbatasan dengan kota itu.
Sebagian orang di Gwangju mendatangi keramaian di terminal atau menikmati matahari hangat di pinggir anak Sungai Yeongsan. Mereka, sebagaimana juga warga Indonesia di kota yang sama, tidak menunjukkan ketakutan berlebihan terhadap paparan corona.
Mereka waspada tapi tetap tenang.
Baca juga: Hoaks corona, masyarakat harus bijak dalam memilih informasi
Baca juga: Otoritas Hong Kong hukum WNI yang mencuri ribuan masker
Baca juga: PT WHW laksanakan prosedur pencegahan COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020