Anggota Komisi III Habiburokhman mewakili DPR RI menyatakan, keterlambatan insentif untuk tenaga kesehatan merupakan masalah implementasi dari keputusan Menteri Kesehatan, bukan karena inkonstitusionalitas norma dalam UU Wabah Penyakit Menular.

"Pencairan dan insentif tenaga kesehatan yang menangani keterlambatan sebagaimana diberitakan akhir-akhir ini, itu bukanlah masalah inkonstitusionalitas norma undang-undang tersebut," ujar Habiburokhman yang memberikan keterangan secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa.

Ia menuturkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 0107/Menkes/278/2020 yang merupakan ketentuan terbaru mengenai pemberian insentif dan santunan kematian untuk tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 mengatur pengusulan insentif yang saat ini sedang dalam proses verifikasi.

Sesuai KMK itu, proses verifikasi paling lambat sampai 30 Juni 2020, tetapi hingga kini verifikasi masih dilakukan dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota.

Atas proses yang sedang berjalan, DPR RI memandang usulan agar pemberian insentif kepada tenaga kesehatan saat wabah menjadi wajib tidak diperlukan karena pemerintah telah memenuhi hak-hak tenaga medis sesuai undang-undang yang diujikan.

Ada pun dalam permohonannya, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) menyoal masih terdapat tenaga kesehatan yang haknya belum terpenuhi selama wabah COVID-19, misalnya APD serta insentif, karena UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang dimohonkan untuk diuji tidak mewajibkan pemerintah memenuhi hal-hal tersebut.

Kementerian Kesehatan dalam sidang sebelumnya menyebut insentif untuk tenaga kesehatan terlibat penanganan COVID-19 yang disetujui sejak Maret hingga Juli 2020 sebesar Rp489,75 miliar, tetapi tidak menjelaskan alasan keterlambatan atau sampai mana pencairan dana tersebut.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020