Sejumlah buruh sawit dari wilayah Kalimantan dan Sumatera yang tergabung dalam Koalisi Buruh Sawit (KBS) Indonesia menggelar workshop untuk penguatan organisasi dan solidaritas buruh sawit yang dilaksanakan secara hibrida.
"Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid, dan difokuskan pelaksanaannya di kantor Link-AR Borneo, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat," kata Koordinator KBS Nasional, yang juga mewakili Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Ismet di Pontianak, Selasa.
Dia mengatakan, workshop ini diikuti 47 peserta yang berasal dari berbagai serikat buruh kebun sawit dan organisasi masyarakat sipil (CSO), baik anggota maupun non-anggota KBS.
Sebanyak 28 peserta dari luar Kalimantan Barat, termasuk perwakilan dari Serbundo Sumatera Utara, GSBI Sumatera Selatan, hingga Sawit Watch, yang mengikuti secara daring. Sementara itu, 19 peserta dari Kalimantan Barat hadir langsung di lokasi, termasuk perwakilan dari SBK PT MAR, LBH Pontianak, dan AGRA Kalbar.
Ismet menyampaikan bahwa workshop ini merupakan forum penting untuk memperkuat solidaritas buruh sawit di Indonesia. Mereka berharap forum ini dapat menjadi sarana saling bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam praktik advokasi buruh sawit dari berbagai daerah.
"Dengan adanya workshop ini, diharapkan serikat buruh kebun sawit semakin maju dan kuat dalam memperjuangkan hak-haknya," tuturnya.
Di tempat yang sama, Sekjen Serbundo, Lorent Aritonang, menambahkan bahwa kekuatan serikat buruh kebun harus didukung oleh sistem manajemen yang kuat, pendanaan, serta pemanfaatan mekanisme RSPO dan sarana lainnya. Sementara itu, perwakilan SERBUK Kalimantan Barat mengajak kolaborasi antara buruh dan masyarakat sekitar kebun sawit dalam memperjuangkan hak-hak yang adil.
Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, dalam penutupan acara menyampaikan pentingnya studi berkelanjutan terhadap sistem perkebunan sawit skala besar. Menurutnya, sistem ini sering mengandung pola eksploitasi ekonomi dan penindasan politik yang perlu diubah untuk menjunjung keadilan sosial-ekonomi bagi buruh dan petani plasma.
"Perubahan sistem perkebunan sawit harus memperhatikan keadilan, baik untuk buruh kebun, petani plasma, petani mandiri, maupun masyarakat terdampak," kata Syukri.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid, dan difokuskan pelaksanaannya di kantor Link-AR Borneo, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat," kata Koordinator KBS Nasional, yang juga mewakili Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Ismet di Pontianak, Selasa.
Dia mengatakan, workshop ini diikuti 47 peserta yang berasal dari berbagai serikat buruh kebun sawit dan organisasi masyarakat sipil (CSO), baik anggota maupun non-anggota KBS.
Sebanyak 28 peserta dari luar Kalimantan Barat, termasuk perwakilan dari Serbundo Sumatera Utara, GSBI Sumatera Selatan, hingga Sawit Watch, yang mengikuti secara daring. Sementara itu, 19 peserta dari Kalimantan Barat hadir langsung di lokasi, termasuk perwakilan dari SBK PT MAR, LBH Pontianak, dan AGRA Kalbar.
Ismet menyampaikan bahwa workshop ini merupakan forum penting untuk memperkuat solidaritas buruh sawit di Indonesia. Mereka berharap forum ini dapat menjadi sarana saling bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam praktik advokasi buruh sawit dari berbagai daerah.
"Dengan adanya workshop ini, diharapkan serikat buruh kebun sawit semakin maju dan kuat dalam memperjuangkan hak-haknya," tuturnya.
Di tempat yang sama, Sekjen Serbundo, Lorent Aritonang, menambahkan bahwa kekuatan serikat buruh kebun harus didukung oleh sistem manajemen yang kuat, pendanaan, serta pemanfaatan mekanisme RSPO dan sarana lainnya. Sementara itu, perwakilan SERBUK Kalimantan Barat mengajak kolaborasi antara buruh dan masyarakat sekitar kebun sawit dalam memperjuangkan hak-hak yang adil.
Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, dalam penutupan acara menyampaikan pentingnya studi berkelanjutan terhadap sistem perkebunan sawit skala besar. Menurutnya, sistem ini sering mengandung pola eksploitasi ekonomi dan penindasan politik yang perlu diubah untuk menjunjung keadilan sosial-ekonomi bagi buruh dan petani plasma.
"Perubahan sistem perkebunan sawit harus memperhatikan keadilan, baik untuk buruh kebun, petani plasma, petani mandiri, maupun masyarakat terdampak," kata Syukri.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024