Pengamat kebencanaan Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Teuku Alvisyahrin, Ph.D, mengatakan dibutuhkan kesadaran kolektif masyarakat Aceh yang berkelanjutan sehingga tujuan pengurangan risiko bencana dapat dicapai secara baik.
"Mitigasi dan kesiapsiagaan bencana harus dilaksanakan secara berkelanjutan dengan melibatkan pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, media, dan dunia usaha secara kolaboratif agar tujuan pengurangan risiko bencana dapat dicapai secara efektif," kata dia saat dihubungi dari Medan, Senin.
Tanpa adanya sinergi di antara pemangku kepentingan kebencanaan tersebut, menurut akademisi kebencanaan USK Aceh, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi berbagai ancaman bencana ke depan tidak dapat diwujudkan dengan baik.
"Hemat saya saat ini, kesiapsiagaan Aceh terhadap bencana dalam berbagai dimensi masih kurang sehingga perlu langkah langkah konkret untuk penguatannya. Dalam arti menganalisis kembali semua persoalan dan tantangan yang ada dan mencari terobosan baru untuk solusinya," kata dia menambahkan.
Itu penting, katanya karena seluruh wilayah di Indonesia termasuk Provinsi Aceh berada dalam zona "Cincin Api atau Ring of Fire" yang lempeng tektoniknya sangat aktif sehingga sering menyebabkan terjadinya gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami dalam berbagai skala.
Dengan dinamika kebumian yang demikian, ditambah lagi ancaman bencana hidrometeorologis (banjir, longsor, angin puting beliung, kekeringan dan sebagainya), adalah sangat penting dilakukan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana secara konsisten dan berkelanjutan.
"Hal itu penting agar risiko bencana, baik dalam konteks kehilangan nyawa manusia maupun kerugian harta benda dapat kita kurangi," kata Teuku Alvisyahrin.
Menurutnya, salah satu strategi penting dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah mengintegrasikan aspek pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam rencana pembangunan.
Hal itu penting dilakukan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dalam arti mengurangi kehilangan aset-aset pembangunan akibat dampak bencana, menjaga stabilitas ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Khusus di Aceh, ia menyebutkan ancaman dan risiko multi bencana masih relatif tinggi sehingga pengintegrasian PRB ke dalam rencana pembangunan daerah menjadi suatu keharusan.
Oleh karena itu, Alvisyahrin berpendapat rencana pembangunan daerah dan nasional yang berwawasan PRB, baik jangka menengah maupun panjang, seharusnya mampu menurunkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana dan meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam menanggulangi bencana.
Sebagai bagian dari strategi pembangunan yang berwawasan mitigasi bencana, ia berharap penyusunan RTRW juga harus mengintegrasikan PRB ke dalamnya, terutama menyangkut zonasi wilayah yang dekat atau terpapar langsung dengan ancaman bencana yang berpotensi menimbulkan risiko.
Ia menilai meski pada tataran kebijakan, prinsip tersebut sudah dilaksanakan, namun pada level implementasi, masih ditemukan berbagai kendala di lapangan.
Alvisyahrin mencontohkan kawasan pesisir di perkotaan yang mempunyai risiko bencana tsunami masih menjadi areal pemukiman penduduk dengan struktur dan pola ruang yang tidak kondusif untuk PRB.
"Diperlukan terobosan baru pada tataran kebijakan dan implementasi RTRW secara inklusif dan partisipatif selain upaya mitigasi dan adaptasi terhadap bencana yang harus dilakukan agar risiko tsunami dan bencana lainnya dapat diperkecil ke depan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024