Jakarta (ANTARA) - Badan Informasi Geospasial (BIG) mengajak pakar dan akademisi geodesi dunia mengambil langkah nyata untuk memperkuat mitigasi kerawanan bencana kawasan pesisir imbas perubahan iklim global yang berlangsung lebih cepat, salah satunya dengan penanaman pohon mangrove.
Penanaman mangrove tersebut dilakukan dalam rangkaian kegiatan lokakarya internasional United Nations Global Geodetic Center of Excellence (UN-GGCE) yang bertajuk "The Integration of Terrestrial, Maritime, Built and Cadastral Domains: Joining Land and Sea" di kawasan pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara, Rabu petang.
Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar (IGD) BIG, Mohamad Arief Syafi’i saat ditemui di lokasi kegiatan mengatakan bahwa gerakan menanam mangrove ini penting, karena tumbuhan itu menjadi bagian dari strategi global dalam mitigasi perubahan iklim, karena kemampuannya menyerap karbon dan menstabilkan ekosistem pesisir.
"Selain itu, penanaman ini menegaskan peran penting mangrove lainnya, yakni sebagai solusi alami untuk mengurangi risiko bencana pesisir, seperti abrasi, banjir rob, dan penurunan muka tanah," kata dia.
Dia mengungkapkan bahwa bencana, seperti abrasi, banjir rob dan penurunan permukaan tanah imbas perubahan iklim global itu sudah terjadi secara nyata di Indonesia, khususnya kawasan pesisir Jakarta Utara.
Berdasarkan kajian tim BIG mendapati setidaknya ada dua tempat di Jakarta Utara yang mengalami penurunan muka tanah hingga mencapai empat meter, yaitu kawasan Kota Tua Jakarta dan Muara Angke.
"Itu fakta bahwa terjadi landslide accident atau penurunan muka tanah di Jakarta dari tahun 1974 sampai sekarang itu sudah mencapai empat meter turunnya," kata dia.
Menurutnya, kondisi tersebut yang mengharuskan Pemerintah Indonesia terus menggencarkan berbagai langkah mitigasi termasuk menanami kawasan pesisir dengan pohon mangrove, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak semakin masif.
BIG sebagai wali informasi geospasial Indonesia juga terus memberi dukungan analisis lingkungan yang lebih akurat dengan memanfaatkan penggunaan sistem referensi tunggal seperti Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI2013) dan kebijakan satu peta nasional.
"Dengan data yang terintegrasi, kita bisa merancang kebijakan mitigasi yang tepat dan berdampak luas. Hal ini juga dinilai mampu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana sekaligus mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan," kata Mohamad Arief Syafi’i didampingi Head of Office UN-GGCE Nicholas Brown dan Sekretaris Utama BIG, Belinda Arunarwati Margono.
Arief secara khusus mengapresiasi UN-GGCE yang mengajak para pakar, akademisi geodesi dan juga pemangku kepentingan dari 24 negara kawasan Eropa dan Asia Pasifik itu menggelar lokakarya di Indonesia.
BIG berharap kegiatan ini menjadi media kolaboratif untuk mengeksplorasi strategi, teknologi, dan kebijakan dalam membangun data geodesi global yang terpadu dan andal.