Makanan siap saji dari negara Barat sudah merambah ke Asia berkat globalisasi dan makanan yang dinilai tidak bergizi itu telah jadi hal umum di Asia Timur dan Asia Tenggara.
"Banyak budaya menyambut (makanan siap saji dari negara Barat) karena itu adalah tanda ekonominya sedang berkembang," kata Andrew Odegaard, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Minnesota, ketua penelitian yang ditampilkan di jurnal Circulation itu.
Tim Odegaard, termasuk peneliti dari fakultas kesehatan masyarakat dari Universitas Nasional Singapura, mewawancara lebih dari 60.000 warga Singapura keturunan Tionghoa. Awalnya mereka diwawancara sejak 1990an, penelitian itu pun dipantau hingga satu dekade.
Partisipan terdiri dari usia 45-74 tahun. Selama masa penelitian, 1.397 orang meninggal dunia karena penyakit jantung dan 2.252 orang menderita diabetes tipe 2.
Peneliti menemukan, orang yang memakan makanan siap saji seminggu dua kali, atau lebih dari itu, punya risiko terkena diabetes 27 persen lebih besar, dan meninggal dunia karena penyakit jantung dengan risiko 56 persen lebih tinggi daripada orang yang hanya sedikit atau tidak mengonsumsi makanan siap saji.
Dari 811 partisipan yang mengonsumsi makanan siap saji empat atau lima kali seminggu, risiko kematian akibat sakit jantung meningkat menjadi 80 persen.
Di Singapura, masyarakat biasanya mengonsumsi makanan siap saji karena ingin meniru budaya Amerika dan itu adalah simbol dari status, berbeda seperti di Amerika sendiri yang melahap makanan siap saji karena praktis dan murah, jelas Odegaard.
Di Barat sendiri berkembang keyakinan bahwa komponen-komponen makanan siap saji --daging, lemak jenuh, serta karbohidrat-- telah meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, juga diabetes tipe 2, demikian tim Odegaard.
(nan)