Kupang (ANTARA Kalbar) - Antropolog sosial budaya Pater Gregor Neonbasu PhD mengatakan munculnya konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan di Indonesia dalam satu dekade terakhir, sebagai akibat dari lemahnya kreativitas aparat penegak hukum dalam memelihara spirit toleransi.
"Kreativitas para penegak hukum seakan serba kurang, sehingga gagal memelihara spirit toleransi serta tidak mampu meremajakan dalam dada kehidupan setiap warga akan roh solidaritas," kata antropolog sosial budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu di Kupang, Selasa.
Neonbasu yang juga Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Nusa Tenggara Timur mengemukakan pandangannya tersebut, berkaitan dengan fenomena konflik sosial yang muncul di Indonesia dalam 10 tahun terakhir (2002-2012) yang masih sulit diatasi oleh aparat penegak hukum.
Ia mengatakan konflik tidak bisa diselesaikan dengan menciptakan konflik baru, tetapi jalan termulus untuk mengatasi masalah tersebut adalah membuat refleksi dalam tataran budaya, dan kearifan lokal yang tidak hanya sebatas mengetahui sepak terjang terjadinya berbagai konflik kelompok atau memahami asal usul konflik politik yang berlandas pada alasan multikulturalisme dan pluralisme.
"Yang pantas menjadi titik tolak refleksi kritis adalah realitas sosial kita, di mana realisme kemajemukan terpateri di atas kondisi geografik yang multi kepulauan," ucapnya seraya menambahkan manajemen yang pantas disosialisasi dalam rangka mengeliminir berbagai konflik kultural dan agama, tidak cukup pada menyelesaikan kasus demi kasus dari terjadinya konflik tersebut.
"Akarnya harus kita pelajari dalam dinding sejarah terbentuknya negara dan bangsa. Apakah setelah Indonesia merdeka, adakah program pembangunan yang dengan cerdas mempelajari elemen-elemen multikultural dan unsur-unsur pluralitas di seluruh pelosok tanah air?" ujarnya dalam nada tanya.
Anggota Institut Antropos Jerman itu menambahkan dalam upaya mencari sebuah peta untuk memelihara semangat hidup bersama walau berbeda dalam banyak aspek kehidupan, diperlukan semangat kerukunan dan toleransi yang dalam bingkai antropologi disebut komitmen pada hidup yang harmonis.
Neonbasu yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Arnoldus itu mengatakan hidup rukun dan sikap toleran harus ditunjuk dalam berbagai lini tingkah laku dalam masyarakat.
"Pola hidup rukun dan damai hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak berbagai program pembangunan, bahkan harus ditekankan di sini bahwa pola hidup rukun dan damai mesti menjadi 'conditio sine qua non' bagi masyarakat kini yang semakih mengglobal menuju masyarakat Indonesa baru yang lebih bermartabat," tuturnya.
Ia menambahkan matra yang dituju dalam menjaring garis kehidupan dalam bingkai hidup rukun dan damai sebetulnya sangat sederhana saja, yakni agar semua warga dapat hidup sebagai saudara melalui sikap transparan untuk memberi apresiasi yang tulus bagi unsur-unsur yang berbeda yang ada di kalangan masyarakat.
"Walau berbeda namun kita harus belajar untuk duduk bersama, di mana di dalamnya kita tidak saja mengakui adanya keberagaman di antara kita, melainkan pada kesempatan itulah kita belajar untuk bersikap rendah hati, belajar untuk saling menghargai perbedaan dan belajar untuk membangun harmonisasi di sela-sela keberagaman tersebut," ujarnya.
Neonbasu menegaskan kemajemukan baik dalam arti kultural maupun religi merupakan sesuatu yang hakiki dalam relasi dan interrelasi manusia, sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah porsi hukum harus ditempatkan sebagai hal yang sangat sentral dalam membangun aras relasi sosial yang harmonis pada tatanan yang multikultural dan pluralistik seperti masyarakat Indonesia.
(L003)
Antropolog : Penegak Hukum Lemah Pelihara Spirit Toleransi
Rabu, 7 November 2012 17:01 WIB
Kreativitas para penegak hukum seakan serba kurang, sehingga gagal memelihara spirit toleransi serta tidak mampu meremajakan dalam dada kehidupan setiap warga akan roh solidaritas.