Jenewa (Antara Kalbar/AFP) - Penyelidik hak asasi manusia PBB pada Senin mendesak Myanmar mengungkapkan kebenaran tentang gelombang kekerasan aliran terhadap ribuan warga Rohingya, yang berusaha mengungsi ke negara tetangga.
Saat menyampaikan laporan kepada Dewan Hak Azasi manusia PBB, forum penting hak asasi manusia badan dunia itu, Tomas Ojea Quintana mengatakan masalah itu adalah ujian penting saat Myanmar menuju demokrasi setelah tentara penguasanya mundur.
"Pemerintah harus mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi di negara bagian Rakhine dalam dua gelombang aksi kekerasan sektarian Juni tahun lalu dan Oktober, dan bertangggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia," katanya kepada dewan itu, menunjuk pada tindakan-tindakan pasukan keamanan.
Rakhine, di perbatasan barat dengan Bangladesh, tempat tinggal utama Rohinghya, yang disebut PBB sebagai salah satu dari kelompok-kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Myanmar menganggap 800.000 warga Rohingya yang tinggal di daerahnya sebagai para migran Bangladesh ilegal, menyebabkan mereka tidak memiliki kewarganegaraan.
Aksi kekerasan antara warga Rakhine yang Buddha dan Rohingya yang Muslim menewaskan setidaknya 180 orang dan sekitar 120,000 orang terlantar di Rakhine sejak Juni 2012,dan banyak terancam bahaya sewaktu melarikan diri dengan menggunakan kapal-kapal motor.
Quintana mendesak pemerintah mengurangi pembatasan kebebasan pergerakan kelompok itu di daerah tersebut, terutama di kamp-kamp bagi para pengungsi Rohinyga, sementara musim hujan mereda.
"Situasi di daerah ini ekstrim," katanya.
Selain masalah Rohingya, Quintana menunjuk pada kekhwatiran lain di Myanmar, yang dulu bernama Burma itu.
Diangkat menjadi pemantau PBB untuk Myanmar tahun 2008, ia telah melakukan kunjungan-kunjungan reguler untuk memantau transisi di negara itu, satu kejadian penting di mana tahun 2010 negara itu membebaskan pemimpin demokrasi yang juga pemenang hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi setelah dua dasa warsa dikenakan tahanan rumah.
Pemerintah empat dasa warsa junta berakhir secara resmi tahun 2011 ketika Thein Sein --seorang mantan komandan militer-- menjadi presiden.
Akan tetapi, kini 25 persen dari kursi di parlemen dijatahkan untuk militer, dan konstitusi memberikan perlindungan dari hukuman terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Pemilu parlemen baru menurut rencana akan diselenggarakan tahun 2015, dengan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi diperkirakan akan meraih kemenangan.
(R. Nurdin)
PBB Desak Myanmar Tangani Kekerasan Aliran
Selasa, 12 Maret 2013 15:21 WIB