Jakarta (Antara Kalbar) - "Kita tidak bisa menjadi Katolik paruh waktu," kata Bapa Suci Paus Fransiskus; karena menjadi Katolik bukanlah pekerjaan sampingan untuk memperoleh tujuan-tujuan tertentu, melainkan dedikasi seutuhnya kepada Gereja, Negara dan sesama.
Sudah barang tentu bukan menjadi Katolik saja, menjadi siapa pun di dunia ini memang seharusnya tidak boleh setengah-setengah alias harus nekat terjun dengan segala konsistensi dan konsekuensi yang dihadapi.
Itu pula yang ingin disampaikan penulis Benny Sabdo dalam buku "Kiprah Tokoh Katolik Era Reformasi", buku pertama yang dilahirkannya selama menjajaki perjalanan karir jurnalistik bersama Majalah Mingguan Katolik HIDUP pada 2011 -2013.
Dengan buku setebal 156 halaman tersebut, pria kelahiran Ngawi 17 November 1984 itu ingin memperlihatkan kepada khalayak kemantapan tekad 23 tokoh di berbagai bidang -mulai dari misionaris, aktivis, politisi, praktisi, akademisi, hingga musisi- sampai berujung pada keberhasilan masing-masing tokoh.
Sebut saja Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Italia August Parengkuan yang menganalogikan kemampuan diplomasi dengan wawasan sepak bola.
Dengan modal pengetahuan sepak bola, August dapat segera beradaptasi dengan koleganya di Italia, tempat dia ditugaskan yang juga merupakan negara kedua paling sering menjuarai Piala Dunia setelah Brasil.
Selain itu, ada pula perempuan pertama yang menjadi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati Soeprapto, praktisi bisnis Rhenald Kasali, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Johanes Danang Widoyoko, serta Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai.
Di jajaran politisi ada tulisan tentang kiprah Wakil Sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, anggota Komisi X DPR RI Itet Tridjajati, Ketua Umum Partai Kasih Demokrasi Indonesia Roy Rening, dan politikus Partai NasDem Hermawi Taslim.
Yang mencolok dari antara profil-profil itu adalah sosok Romo Markus Solo Kewuta, SVD atau akrab disapa Padre Marco.
Dia adalah orang Indonesia pertama yang duduk di jajaran Dewan Kepausan di Vatikan. Seorang pastor memangku jabatan di jajaran Staf Penasihat Dewan Kepausan adalah hal lumrah.
Tapi jika pastor itu fasih berbahasa Arab dan mendalami ilmu agama Islam, itu fakta yang membuat orang mengernyitkan dahi seolah bertanya, "Apa mungkin?".
Padre Marco mengampu Desk Islam, dimana dia harus menyelami tradisi Islam dalam kaitannya dengan hubungan antaragama di Asia. Satu hal yang mengikat kisah-kisah tersebut adalah keimanan untuk mau bekerja secara "full-time" (penuh waktu, red.) dengan segala imbalan dan risiko dalam setiap langkah mereka.
Kumpulan tulisan 23 tokoh tersebut menjadi mozaik yang belum sempurna karena sebetulnya masih banyak lagi orang Katolik yang tidak popular namun menyimpan kisah inspiratif bagi masyarakat Indonesia secara umum.
"Katolik itu tidak berarti memilih nama, pakaian, pekerjaan tertentu. Orang Katolik menjadi warga masyarakat yang bersama rekan-rekan lain berusaha melakukan tugas panggilan mereka," kata Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno, SJ.
Resensi Buku - Tokoh Katolik Berkiprah untuk Negara, Gereja
Sabtu, 15 Juni 2013 15:14 WIB