Pontianak (ANTARA) - Asosiasi Guru Sejarah Indonesia menggelar webinar dengan tema "Menguak Tabir Sultan Hamid II dalam Perjalanan Sejarah Bangsa" yang kini sedang menjadi tren topik nasional berlatar sejarah.
"Sejarah harus menjadi panduan dalam kita menentukan arah perjalanan bangsa, masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. AGSI memiliki semangat untuk menjadikan diri sebagai sebuah gerakan intelektual yang mengambil peran aktif dalam mengembangkan kompetensi profesionalisme serta harkat martabat guru sejarah," ujar Presiden AGSI, Sumardiansyah Perdana Kusuma saat webinar, Minggu.
Ia menjelaskan webinar yang digelar dapat menjadi salah satu alternatif media pembelajaran sekaligus bahan pengayaaan bagi guru dan siswa dalam memahami secara lebih utuh berbagai tema sejarah baik teks maupun konteks.
"Kegiatan ini menjadi ruang dialog akademik, bertumpu pada sumber-sumber sejarah, serta diperkaya dengan pendekatan multidimensional untuk menghadirkan pikiran dan kesadaran sejarah melalui pembelajaran di ruang-ruang kelas," jelasnya.
Webinar wasional kesejarahan menghadirkan Sultan Syarif Machmud Melvin Alkadrie IX (Sultan ke-9 Pontianak, Kalimantan Barat--namun berhalangan karena ada tugas yang tidak bisa ditinggalkannya), para narasumber Dr. Mohammad Iskandar (Sejarahwan), Turiman Faturahman Nur, S.H., M.Hum (Peneliti sejarah lambang negara), Dr. Rusdhy Husein (Sejarahwan), Anshari Dimyati, SH., M.H. (Ketua Yayasan Sultan Hamid II--peneliti aspek pidana Sultan Hamid II Alkadrie), serta tamu kehormatan: Prof. Dr Meutia Hatta--guru besar antropologi Universitas Indonesia-mantan Menteri Peranan Wanita.
Jumlah peserta webinar dilihat dari pendaftar mencapai 1.930 dan live disiarkan melalui chanel youtube Asosiasi Guru Sejarah Indonesia dan media online teraju.id (anggota AMSI/Asosiasi Media Online Seluruh Indonesia berkantor pusat di Kota Pontianak-Kalimantan Barat).
Apresiasi di dinding chat para peserta sepanjang webinar 3 jam sangat mengapresiasi yang menjawab terang benderang trending topik nasional, apakah Sultan Hamid II Alkadrie pengkhianat atau pahlawan nasional," jelas dia.
Pembicara pertama selama 15-20 menit Turiman Faturahman Nur, SH, M.Hum menceritakan alur riset ilmiah sejarah lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila.
Pembicara kedua Dr Muhammad Iskandar menggarisbawahi bahwa fakta-fakta sejarah yang otentik sudah jelas mengenai peranan Sultan Hamid II merancang lambang negara. Pakar sejarah ini juga mengulas tetang Westerling dan APRA yang ditelitinya.
Menurutnya dalam kondisi Indonesia saat ini, sejarah perlu ditulis ulang. Tidak semata-mata perspektif Jawa dan sedikit dari Sumatera, tetapi juga dari ilmuan-ilmuan lokal-nasional lainnya di mana selama ini kurang tergali.
Terbukti dengan hasil riset yang dituturkan peneliti sejarah hukum lambang negara, Turiman Faturahman Nur dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, diikuti riset tesis di Magister Hukum Universitas Indonesia fakta-faktanya otentik dan bisa diperiksa ulang otentisitasnya.
Begitulah jika sejarah dilihat secara jujur dan ilmiah. Dr Muhammad Iskandar juga merujuk buku sejarah parlementer jilid 1 hingga 6 terbitan DPR RI tahun 2020.
Di sana tergerai kisah penting kesatuan dan persatuan Indonesia yang belum banyak tergali di buku-buku sejarah yakni periode 1945-1950 di mana peran sentral Sultan Hamid sangat kentara.
Pembicara ketiga Dr Rousdy Husein lebih gamblang lagi. Ia menegaskan bahwa referensi tentang Sultan Hamid sangat banyak--terutama di Belanda. Ia juga membagikan banyak vidio kepada AGSI dan AGSI membagikan kepada seluruh peserta webinar. Menurut Presiden AGSI, total peserta ada 1.930 orang di seluruh Indonesia.
Sementara, Ketua Yayasan Sultan Hamid, Anshari Dimyati, SH,MH juga detail menjelaskan riset ilmiahnya tentang pidana yang dijatuhkan kepada Sultan Hamid.
Menurutnya, putusan primair Sultan Hamid adalah terbukti tidak terlibat pada peristiwa Westerling dan APRA yang menewaskan Letkol Lembong serta total 90-an korban prajurit Divisi Siliwangi.
menurut dia, pada saat APRA meletus di Bandung, Sultan Hamid sedang berada di Pontianak bersama Muhammad Hatta. Keduanya sedang kunjungan kerja, melihat pabrik kopra.
Anshari yang lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan magister hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa selama masa persidangan tentang Sultan Hamid yang dituduh makar hingga saat ini adalah tidak pernah menghadirkan figur sentral Westerling.
Padahal dia menulis di dalam buku biografinya, Mijn Memories, terbit 1952, bahwa Sultan Hamid tidak terlibat pemberontakan yang dimotorinya atas nama APRA.
Anshari menegaskan Sultan Hamid tidak sepemikiran dengan Westerling, tidak pernah melakukan over komando. Jika saja Westerling dihadirkan, bisa jadi putusan perkara Sultan Hamid adalah bebas murni.
Hal janggal dialami Sultan Hamid lainnya adalah penahanannya selama 3 tahun tanpa diadili hanya gara-gara menghadiri upacara ngaben Raja Bali di tahun 1961. Jika ditelusuri secara hukum pidana, apa yang dialami Sultan Hamid adalah pelanggaran HAM berat.
Tetapi Hamid tidak melakukan apa-apa. Dia terima semua itu secara ikhlas dan sabar. Bahkan ketika Soekarno menjelang ajalnya, Hamid datang menyampaikan permohonan maaf, dan kesalahan Bung--katanya--telah saya maafkan.
Anshari mengutip pernyataan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid, Max Jusuf Alkadrie yang melihat dengan mata kepala sendiri kejadian di ujung hayat Bung Karno, dan menuliskannya ke dalam 100 tahun Bung Karno.
Dapat pula disimak pada vidio sejarah Lambang Negara yang diterbitkan oleh Museum Konferensi Asia Afrika. Silahkan cek di Youtube dengan kata sandi "Garuda Pancasila National Symbol of Indonesia.
AGSI gelar webinar bertema "Menguak Tabir Sultan Hamid II dalam Perjalanan Sejarah Bangsa"
Minggu, 5 Juli 2020 19:09 WIB